Cuplikan

Munir Said Thalib: Simbol Perlawanan yang Terus Hidup

Foto: Tempo.co

Dua puluh satu tahun telah berlalu begitu saja tanpa ada pengadilan yang jelas dari negara. Berdasarkan hasil liputan Tempo yang saya baca, Munir Said Thalib meninggal di ketinggian 40 ribu kaki di langit Eropa dalam perjalanan menuju Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Munir tewas setelah meminum jus jeruk yang telah dicampuri senyawa arsenik oleh Pilot Garuda Indonesia, Pollcarpus Budihari Priyanto.

Angka 21 bukan hanya sekadar durasi waktu yang diukur, melainkan sebuah penanda bahwa negara belum benar-benar bisa menghapus impunitas yang menyelimuti kasus ini. Negara hanya bisa menciptakan janji-janji yang diwariskan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo. Bagi saya, kematian Munir bukan hanya merenggut nyawa seorang pejuang HAM, tetapi juga menelanjangi wajah gelap oligarki yang masih bersembunyi di balik tirai reformasi.

Munir Said Thalib bukan hanya aktivis HAM yang heroik dan lantang—sangat lantang—menyuarakan kebenaran, tetapi ialah simbol perlawanan yang layak dijadikan patron. Namun, sialnya, perkenalan saya dengan Munir bisa dibilang cukup terlambat. Agaknya, perkenalan saya dengan Munir baru satu dekade terakhir, lewat arsip-arsip majalah, buku, hingga film dokumenter. Dan ada banyak perubahan yang saya rasakan setelah kenal dengan Munir.

Bukan karena persamaan nama, melainkan gagasan, sikap, dan perilaku Munir. Bagi saya, Munir Said Thalib adalah representasi dari integritas dan keberanian yang luar biasa. Seseorang yang tidak pernah gentar menyuarakan kebenaran di tengah-tengah ancaman dan intimidasi. Munir seperti arsitek di balik upaya-upaya pencarian orang hilang di era kekuasaan Orde Baru. Dalam masyarakat Islam pun, Munir juga memberi pengetahuan tentang komitmen berislam. Hal ini terekam jelas di film dokumenter yang digarap oleh Watchdoc.

Dalam film yang berjudul ‘Kiri Hijau Kanan Merah’ tersebut, Munir menyampaikan, “Islam itu kan membuat orang tidak kufur. Memerangi kekufuran agar orang tidak kufur, adalah memerangi kemiskinan, supaya orang tidak miskin. Bukan orang miskin yang diperangi.” Secara tidak langsung, Munir telah menanamkan benih-benih perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan, impunitas budaya, dan amnesia sejarah.

Ironisnya, Munir Said Thalib sebagai simbol perlawanan justru dibunuh secara terstruktur dan keji. Namun, ini adalah titik awal bagaimana Munir bertransformasi menjadi martir dan menjadi monumen dari sebuah perjuangan yang belum selesai. Terlebih, kegagalan sistem hukum di negara ini untuk menuntaskan kasusnya secara menyeluruh. Hal ini diperkuat dengan belum ditangkapnya dalang di balik pembunuhan Munir, yang kemungkinan besar terdapat benteng tebal impunitas yang melindungi.

Saya rasa, Munir sebagai simbol perlawanan ini memaksa kita untuk terus menuntut akuntabilitas, tidak hanya untuk kasusnya, tetapi juga untuk seluruh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih digantung oleh negara. Namun, Munir sebagai simbol perlawanan telah menjadi katalisator bagi kesadaran moral dan inspirasi bagi generasi selanjutnya. Ia telah berhasil membangkitkan penolakan untuk patuh terhadap kesewenang-wenangan. Munir juga mengajarkan bahwa perlawanan bukan hanya tentang kekuatan fisik, melainkan juga teguh dalam memegang prinsip, kejernihan pikiran, dan keberanian moral.

Di tengah lanskap politik dan sosial yang terus berubah dan tidak bisa diduga, menjaga Munir simbol perlawanan adalah sebuah tantangan. Bagi saya, perlawanan seperti yang dilakukan Munir, berarti keberanian untuk melawan narasi-narasi yang diciptakan untuk menundukkan dan menguasai masyarakat. Sekali lagi, Munir adalah simbol yang mengingatkan kita bahwa perlawanan bisa dilakukan dalam berbagai bentuk. Ia mendorong kita agar tidak menjadi manusia yang apatis dan menyerah pada pesimisme. Munir adalah obor yang harus terus menyala di tengah kegelapan.

Bagi saya, Munir Said Thalib bukan hanya seorang pahlawan, melainkan sebuah simbol perlawanan yang tak lekang oleh waktu. Ketidakadilan yang tuntas atas pembunuhannya adalah luka berdarah yang terus mengingatkan kita akan pekerjaan rumah demokrasi yang belum selesai. Namun, di balik tragedi itu, Munir telah meninggalkan warisan yang jauh lebih besar: sebuah inspirasi untuk tidak pernah menyerah, sebuah kompas moral untuk selalu berpihak pada kebenaran, dan sebuah seruan untuk terus melawan segala bentuk ketidakadilan dan impunitas. Dua puluh satu tahun adalah pengingat bahwa warisannya bukan hanya milik masa lalu, melainkan milik kita semua di masa kini dan masa depan, untuk terus diperjuangkan dan dijaga nyalanya. Munir adalah janji yang belum terpenuhi, sekaligus harapan yang tak pernah padam.


Penulis: Munir
Editor: Rena

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.