Diamnya Dema UIN Ponorogo: Sebuah Pengkhianatan Mandat Historis
Gelombang demonstrasi pada bulan Agustus kemarin meninggalkan duka dan
keprihatinan hingga hari ini. Dalam catatan Polri, 959 orang telah ditetapkan
sebagai tersangka dengan rincian 664 merupakan orang dewasa, sedangkan 295
lainnya adalah anak-anak. Meskipun begitu, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD)
mengungkapkan bahwa ada berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh polisi. Salah
satunya, beberapa orang yang dituduh menghasut atau melakukan provokasi ditangkap
dan ditetapkan sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.
Selain ‘perburuan’ warga sipil yang terus dilakukan, buku-buku dan zine
kembali disita dan dijadikan barang bukti sebuah kejahatan. Salah satunya
adalah penyitaan buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Tak
hanya penyitaan buku dan zine, kabar terbarunya adalah pencabutan kartu
identitas pers jurnalis CNN yang dilakukan Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI)
Sekretariat Presiden. Tentu, peristiwa pada beberapa minggu terakhir ini
mengingatkan kita pada tahun 1998, yakni pada rezim Orde Baru yang otoriter.
Namun, pada tulisan kali ini, saya tidak hendak mengulas beberapa peristiwa
yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi, pada kealpaan Dewan Eksekutif
Mahasiswa (Dema) UIN Ponorogo dalam merespons isu-isu nasional yang sering
disebut sebagai darurat demokrasi. Sebab dalam narasi sejarah Indonesia,
mahasiswa tidak hanya sekadar entitas akademis, melainkan salah satu aktor inti
dalam perubahan sosial dan politik. Pada hal ini, Dema sebagai salah satu
bentuk organisasi formal tertinggi di perguruan tinggi harusnya mengemban
amanat historis ini.
Sejarah mencatat bahwa peran mahasiswa sebagai “kekuatan moral” atau “agen
perubahan” bukan sekadar retorika kosong. Pada tahun 1966, gelombang intensif
mahasiswa menuntut pembubaran PKI dan perbaikan ekonomi, yang dikenal sebagai
Tritura, berhasil menekan kekuasaan Orde Lama. Lebih dari tiga dekade kemudian,
pada tahun 1998, gerakan mahasiswa menjadi motor utama penggulingan rezim Orde
Baru yang korup dan otoriter. Keberanian, idealisme, dan kemampuan untuk
mengartikulasikan kepentingan rakyat yang terpinggirkan adalah ciri khas yang
melekat pada gerakan mahasiswa.
Dalam konteks ini, Dema sebagai representasi mahasiswa eksekutif idealnya
berfungsi sebagai miniatur pemerintahan mahasiswa yang proaktif: menyampaikan
pidato, menyuarakan kritik, mengorganisir aksi, dan berdialog konstruktif
dengan berbagai pihak. Mandat Dema tidak hanya terbatas pada agenda internal
kampus seperti pengaderan atau kegiatan minat bakat, tetapi juga mencakup
fungsi advokasi dan kontrol sosial terhadap kebijakan publik, terutama ketika
kebijakan tersebut mengancam hak-hak dasar rakyat atau merongrong pilar-pilar
demokrasi.
Akan tetapi, apa yang telah dilakukan oleh Dema UIN Ponorogo? Hanya diam.
Sesekali melakukan doa bersama karena tuntutan birokrasi. Sesekali melakukan
pernyataan sikap yang ternyata hasil dari saduran, mungkin malah cenderung mengopi
pernyataan sikap dari organisasi lain. Barangkali yang menjadi alasan tidak
melakukan apapun adalah karena tidak memungkinkan untuk melakukan demonstrasi
karena adanya konflik horizontal (warga vs warga). Namun, bukankah ada banyak
cara untuk melakukan perlawanan? Saya rasa, perlawanan tidak harus turun ke
jalan. Kita bisa melakukan diskusi maupun kajian akademik. Sebab sekecil apapun
perlawanan, tetaplah perlawanan.
Sekali lagi, apa yang telah dilakukan oleh Dema UIN Ponorogo? Tidak ada
sama sekali. Tidak ada aksi solidaritas. Tidak ada kajian maupun diskusi. Hanya
diam, diam, dan diam. Sialnya, ketika banyak mahasiswa dan beberapa elemen
masyarakat di Ponorogo melakukan konsolidasi untuk melakukan aksi, tiba-tiba Ketua
Dema UIN Ponorogo malah sidang proposal. Sungguh, saya tidak bisa memahami pola
pikir Dema UIN Ponorogo hari ini.
Agaknya, diamnya Dema UIN Ponorogo ini mempunyai konsekuensi yang cukup
vital pada pendidikan politik di kampus. Pertama, Dema melemahkan
kredibilitas gerakan mahasiswa secara keseluruhan. Jika Dema sebagai organisasi
tertinggi tidak mampu menyuarakan aspirasi saat krisis, maka masyarakat akan
kehilangan kepercayaan pada kekuatan gerakan mahasiswa. Kedua, ia
menciptakan preseden buruk bagi generasi mahasiswa berikutnya, menormalisasi
sikap apatis dan kepasifan dalam menghadapi ketidakadilan.
Mahasiswa baru yang melihat ‘kakak tingkat’ mereka bungkam di tengah
isu-isu krusial akan cenderung mengikuti jejak yang sama, memutus rantai
perjuangan dan idealisme. Tentu, hal ini berseberangan dengan tema PBAK 2025
yakni “Meneguhkan Gerakan Mahasiswa sebagai Pilar Intelektual dan Moral
Bangsa”. Ketiga, yang mungkin cukup berbahaya adalah muncul dan
menguatnya rezim otoriter. Ketika tidak ada kekuatan penyeimbang yang berani
menentang kebijakan atau tindakan yang merongrong demokrasi, penguasa akan
merasa lebih leluasa untuk bertindak otoriter tanpa kontrol. Ruang publik akan
semakin menyempit dan suara-suara kritis akan semakin terpinggirkan.
Pada akhirnya, diamnya Dema UIN Ponorogo di tengah kondisi “darurat
demokrasi” bukanlah sekadar kegagalan organisasi, melainkan gagalnya sebuah
pengabdian terhadap kepercayaan dan harapan rakyat Indonesia. Terkhusus di Kabupaten
Ponorogo yang secara turun-temurun sering menjadikan mahasiswa sebagai
mercusuar keadilan. Dema UIN Ponorogo—umumnya mahasiswa UIN Ponorogo sebagai
representasinya—memiliki kekuatan yang lebih: integritas intelektual, idealisme
yang belum terkontaminasi, dan energi yang luar biasa. Jika kekuatan ini tidak
digunakan untuk membela demokrasi, lantas untuk apa?
Editor: Rena
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.