Belenggu Narasi Identitas Mahasiswa di PBAK 2025
Kepada segenap kawan-kawan mahasiswa baru, saya ucapkan selamat datang di
kampus hijau tercinta ini, sebuah kampus yang baru saja bertransformasi menjadi
Universitas Islam Negeri. Tentu saja kalian adalah mahasiswa baru yang pertama
merasakan ke-UIN-an ini. Namun sayangnya, tidak bagi mahasiswa lama, tiada
bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya. Meski begitu, saya yakin bahwa kalianlah
yang bakal mengubah kampus ini menjadi lebih baik. Seperti yang telah
dicita-citakan segenap Sivitas Akademika dan Mas-Mbak Dema pun panitia PBAK,
bahwa kalian adalah agent of change.
Hal itu termaktub dalam tema PBAK “Meneguhkan Gerakan Mahasiswa sebagai
Pilar Intelektual dan Moral Bangsa.” Tentu saja agent of change atau
agen perubahan adalah cita-cita yang mulia nan berat. Sedihnya, apakah kampus
benar-benar bisa mengawal proses dan memastikan bahwa kalian benar-benar
menjadi agen perubahan? Saya kira tidak. Sebab, kalian akan menemui hal
normatif di kampus, yang mungkin tanpa kalian kuliah pun bisa kalian lakukan.
Tak hanya perihal normatif, kalian juga akan menemukan perdebatan ideologi,
kutipan-kutipan dari kaum Marxisme atau perdebatan panjang tentang kapitalisme
dan sosialisme. Apakah itu sesuatu yang buruk? Tidak sama sekali, kawanku.
Buruknya adalah ketika apa yang saya sebut tadi hanya menciptakan romantisme
kelas intelektual, membuat kalian merasa bahwa dengan memahami banyak teori
bisa membuat kalian menjadi agen perubahan atau membuat kalian beranggapan
bahwa revolusi hanya bisa dilakukan oleh kaum akademik. Tidak sama sekali.
Memang, secara historis gerakan mahasiswa diakui sebagai salah satu
kekuatan moral dan politik yang paling vital dalam mendorong gelombang
perubahan sosial di berbagai belahan dunia. Dalam konteks Indonesia, peran mahasiswa
sebagai agen perubahan telah terukir dalam narasi-narasi besar, mulai dari
perjuangan kemerdekaan hingga reformasi politik. Mahasiswa sering kali
dipandang sebagai kaum intelektual yang tidak terbebani oleh modal kepentingan
maupun birokrasi, sehingga memungkinkan mereka menyuarakan idealisme murni dan
kritik terhadap struktur kekuasaan yang opresif.
Namun, pengakuan historis ini harus diuji melalui lensa struktural yang
lebih tajam. Sebagai agen perubahan yang menjanjikan, sejauh mana gerakan
mahasiswa mampu mentransformasikannya dari sekadar perubahan politik dangkal ke
perubahan struktural mendasar? Sayangnya, idealisme mahasiswa—meskipun berani—sering
kali bersifat abstrak dan terpisah dari kebutuhan material mendesak yang
dialami oleh kelas pekerja.
Gerakan mahasiswa cenderung fokus pada isu-isu politik, di mana mereka
memiliki kepentingan langsung seperti kebebasan berpendapat atau birokrasi.
Namun, ketika bergerak ke isu-isu ekonomi kelas pekerja—seperti upah minimal,
kondisi kerja, kepemilikan alat produksi—keterlibatan mereka sering kali
bersifat simpatik, bukan organik.
Tentu keterbatasan ini bisa menciptakan ilusi agitasi, bahwa mahasiswa bergerak
untuk perubahan, tetapi perubahan yang mereka tawarkan sering kali hanya
bertujuan mengganti elite politik tanpa menyentuh mode produksi yang
eksploitatif. Akibatnya, mereka berisiko hanya menjadi ‘elite pengganti’ atau ‘teknokrat’
yang pada akhirnya akan diserap kembali oleh sistem yang mereka kritik.
Jika dalam gerakan mahasiswa hari ini kita menggunakan kacamata Marx, ada
pertanyaan serius yang layak dilontarkan untuk menilai kualitas gerakan
mahasiswa hari ini. Apakah gerakan mahasiswa benar-benar mampu memfasilitasi
kesadaran kelas proletariat?
Agaknya, gerakan mahasiswa hari ini, termasuk di UIN Ponorogo banyak yang
menganggap bahwa pengetahuan adalah motor perubahan utama. Mereka percaya bahwa
dengan memberikan analisis dan kritik yang benar, masyarakat akan ‘tercerahkan’.
Padahal, bagi Marx, kesadaran muncul dari pengalaman materi dalam perjuangan
sehari-hari, bukan dari ceramah atau pamflet akademik semata, apalagi doa
bersama. Sebagai contohnya, kita bisa melihat bagaimana perlawanan masyarakat
Pati bekerja.
Gerakan mahasiswa, yang sering kali beroperasi di lingkungan kampus yang
relatif steril dari pabrik dan lini produksi, menghadapi risiko gagal paham
dengan kedalaman materialisme historis. Ketika gerakan mahasiswa mengadvokasi
buruh atau petani, mereka sering melakukannya dari posisi intelektual yang
unggul. Hal ini menciptakan jarak yang menghalangi terbentuknya kelas bagi
dirinya yang otentik. Sialnya, gerakan mahasiswa UIN Ponorogo hari ini belum
pernah sampai pada advokasi terhadap buruh dan petani. Menyedihkan.
Jika gerakan mahasiswa tidak mampu menjadi saluran di mana pengalaman
material proletariat dapat diartikulasikan dan diorganisir menjadi kekuatan
politik revolusioner, mereka akan tetap berada di pinggiran perubahan
struktural. Peran mereka, dalam skema terburuk, hanyalah menjadi 'juru bicara'
yang pada akhirnya akan bernegosiasi dengan kekuasaan, alih-alih menjadi
kekuatan peleburan yang memicu kesadaran kolektif massa pekerja.
Maka, untuk melampaui keterbatasan ini dan benar-benar merealisasikan
potensi mahasiswa sebagai agen perubahan, gerakan mahasiswa harus melakukan
penyesuaian ideologi dan taktis yang mendalam. Pertama, mahasiswa harus
berhenti bertindak sebagai kelompok moralis yang mengajar massa, tetapi harus
berjuang bersama dan belajar dari pengalaman proletariat material. Ini berarti
mengalihkan fokus dari pemaksaan simbolis di pusat kota menuju pengorganisasian
di pabrik, kawasan industri, dan komunitas agraria. Perjuangan untuk upah,
keamanan kerja, dan hak buruh harus diinternalisasikan sebagai perjuangan
utama, bukan sekadar isu sampingan.
Kedua, menghancurkan hegemoni intelektual. Mahasiswa harus memahami bahwa
peran mereka adalah membantu menciptakan hegemoni tandingan (kontra-hegemoni).
Mereka harus menggunakan analisis kemampuan akademis mereka untuk mengungkap
ideologi borjuis yang mengikat proletariat, tapi harus melakukannya dalam
bahasa dan kerangka yang muncul dari perjuangan massa sendiri. Intelektual
harus menjadi ‘intelektual organik’, bukan ‘intelektual menara gading’.
Ketiga, setiap gerakan mahasiswa harus dipertanyakan: apakah ini hanya
memperbaiki struktur, ataukah ia berkontribusi pada perubahan hubungan produksi
di basis? Perjuangan untuk demokrasi di kampus tidak akan berarti jika tidak
dihubungkan secara ideologis dengan perjuangan untuk demokrasi ekonomi di
tempat kerja. Sebab, sekali lagi, gerakan
mahasiswa yang memang memiliki sejarah gemilang sebagai katalisator perubahan.
Sayangnya, sering kali gerakan mahasiswa bertindak sebagai barometer moral
masyarakat.
Gerakan mahasiswa secara sadar dan kritis harus berupaya meleburkan posisi
kelasnya yang cenderung borjuasi mungil, serta mengintegrasikan perjuangannya
secara material dengan tuntutan kelas proletariat. Jika tidak begitu, potensi
transformatif mereka akan selalu terbatas pada reformasi elite dan perubahan
dangkal dalam struktur.
Akhirnya, revolusi bukanlah hasil dari idealisme yang mengobarkan api,
melainkan hasil dari tercapainya kesadaran kelas yang muncul dari materi
konflik. Selama gerakan mahasiswa hanya menyajikan kritik abstrak dan gagal
menjadi instrumen organik proletariat untuk mencapai kelas bagi dirinya, mereka
akan tetap menjadi pelengkap yang penuh dengan narasi kapitalisme. Mereka tidak
akan menjadi kekuatan yang mampu meruntuhkan ketimpangan kelas dan membangun
tatanan sosial yang benar-benar baru. Untuk menjadi agen perubahan sejati,
mahasiswa harus menyadari bahwa perjuangan mereka bukan tentang moralitas,
melainkan tentang materialitas dan pengorganisasian kesadaran masyarakat.
Editor: Rena
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.