Cuplikan

Mengenang 21 Tahun Kepergian Munir Said Thalib melalui Diskusi dan Nobar Film ‘Kiri Hijau Kanan Merah’

Foto: Arifin

lpmalmillah.com - Sejumlah mahasiswa dan aktivis menghadiri pemutaran film dokumenter di Kedai Kaisar Ponorogo. Acara berlangsung pada Kamis (11/09/2025) pukul 19.30 WIB dengan tajuk “Diskusi dan Nobar Film Kiri Hijau Kanan Merah”. Kegiatan tersebut diinisiasi oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) aL-Millah dan Smart Street Institute (SSI) untuk memperingati 21 tahun kepergian Munir Said Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM).

Film produksi Watchdoc Documentary tersebut menampilkan perjalanan hidup Munir, mulai dari masa kecil, perjuangannya sebagai aktivis HAM, hingga peristiwa kematiannya ketika berada di pesawat dalam perjalanan menuju Belanda untuk melanjutkan studi. Selama pemutaran, peserta tampak menyimak kisah yang ditampilkan dalam film berdurasi sekitar 48 menit tersebut.

Usai pemutaran film, acara berlanjut dengan sesi diskusi yang menghadirkan tiga pemantik, yaitu Ulil Arzaq, Miftahul Munir, dan Seventeena Veby. Dalam diskusi tersebut, pembahasan diarahkan pada pemikiran dan kiprah Munir dalam memperjuangkan HAM. Para pemantik juga menyinggung relevansi gagasan Munir dengan kondisi saat ini. Selain itu, diskusi menyoroti peran generasi muda, khususnya mahasiswa, dalam melanjutkan semangat perlawanan yang pernah diperjuangkan Munir.

Salah satu pemantik, Ulil, mengangkat pandangan Munir terkait persoalan buruh yang kerap kurang mendapat perhatian. Ia menegaskan bahwa Munir tidak hanya membela isu-isu HAM secara umum, tetapi juga konsisten menyuarakan ketidakadilan yang dialami buruh. “Di lain sisi soal HAM, Munir keras juga berbicara soal upah buruh. Buruh tidak merasa bahwa gajinya telah dieksploitasi. Buruh tidak merasa bahwa kerjanya setiap hari itu hanya untuk menguntungkan pemilik modal,” ujarnya.

Ulil menambahkan bahwa pengorbanan Munir menjadi bukti keberanian dalam berjuang demi menyadarkan masyarakat yang berada dalam kondisi ketidakadilan. “Nah, ini yang saya kira menjadi gambaran besar untuk memahami sosok Munir dan dampak pemikirannya bahwa Munir menjadi martir. Dia rela menjadi martir untuk meledakkan pikiran-pikiran rakyat. Untuk meledakkan (menyadarkan) bahwa saya sedang berada di posisi yang tertindas,” jelasnya.

Sementara itu, Seventeena menyampaikan refleksi mengenai bagaimana gagasan Munir tetap hidup dan terus relevan hingga saat ini. Ia mempertanyakan apakah mahasiswa saat ini mampu mengambil peran yang serupa. “Apakah mahasiswa sekarang itu mau dan juga mampu untuk menjadi sosok Munir? Meskipun memang tubuhnya telah mati, tetapi saya rasa untuk gagasan, untuk keberanian, ini tidak akan pernah mati. Bahkan sampai sekarang pun sudah 21 tahun ketika Munir dibunuh, film ini masih kita tonton,” tuturnya.

Lebih lanjut, Seventeena menyampaikan bahwa semangat perjuangan masih relevan dengan kondisi saat ini. Ia menilai bahwa meskipun Munir telah tiada selama lebih dari dua dekade, berbagai persoalan yang dulu diperjuangkan masih tetap hadir. “Berarti masih ada semangat dan juga seharusnya api perlawanan yang memang harus dilanjutkan, yang memang harus kita perjuangkan. Karena kondisi sekarang terkait impunitas, terkait kekerasan itu, saya rasa sekarang masih ada,” katanya.

Acara ini menjadi ruang refleksi bersama bagi mahasiswa dan aktivis untuk mengingat kembali perjuangan Munir. Melalui film Kiri Hijau Kanan Merah serta diskusi yang digelar, peserta diajak menegaskan kembali pentingnya melawan impunitas, menegakkan keadilan, serta menjaga demokrasi dari berbagai bentuk pengekangan.


Reporter: Arifin
Penulis: Arifin
Editor: Rena

Tidak ada komentar

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.