Surga Terakhir
Saya ingin menceritakan satu kisah,
wabilkhusus untuk Bapak Presiden Prabowo Subianto, Mas Wakil Presiden Gibran
Rakabuming Raka, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, atau pada siapa pun itu yang
sedang duduk di atas sana, yang punya kuasa menjalankan segala “perambahan”
terhadap (mungkin) surga terakhir yang kita punya—dan karenanya, semestinya,
juga kuasa untuk menghentikannya, meski saya juga tahu, mereka tidak akan
membacanya. Kalaupun mereka membacanya, saya tahu mereka tidak akan mengerti,
dan kalau toh mereka akhirnya mengerti, saya lebih mengerti bahwa mereka
mungkin akan memilih tak begitu peduli.
Sengaja saya sebut pulau yang selama ini hanya
dapat saya jumpai dari balik layar gawai, dari catatan-catatan perjalanan, dari
foto-foto para turis, atau unggahan wisata kalangan selebritis itu sebagai
“surga”, bukan sekadar sebab gugusan pulau tropisnya yang memesona, perairannya
yang kaya dengan aneka biota, bentangan karst yang megah, serta tutupan hutan
yang rapat dan masih alami. Tetapi, karena memang Raja Ampat, yang masyhur
disebut “Surga Terakhir di Bumi” itu, memanglah serupa “surga” itu sendiri: sesuatu
yang hanya bisa terbayang dalam khayalan, dan mungkin akan selama-lamanya
begitu untuk ke depan.
Saya teringat sebuah cerita pendek, ditulis
lebih dari seratus tahun lalu oleh seorang pengarang bernama O. Henry. Cerita
itu berjudul “The Last Leaf”. Berkisah tentang dua perempuan seniman
yang tinggal di Greenwich Village, New York. Salah satu dari mereka, Johnsy,
jatuh sakit, dan ia percaya bahwa hidupnya segera akan berakhir tepat ketika
daun terakhir pada pohon ivy di luar jendela kamarnya tanggal. Tak masuk akal,
memang. Sangat mengada-ada. Tapi tak ada yang bisa membantah logika duka dan
ketakberdayaan dari seseorang yang, telah bagaikan—jika saya pinjam ungkapan
Subagio Sastrowardoyo—sehelai daun di ranting yang letih itu. Kita tahu,
manusia kadang terlalu lelah untuk berdebat dengan kematian yang diyakininya
sendiri.
Tapi kemudian, sesuatu terjadi. Daun terakhir
itu tak juga gugur. Hari demi hari berlalu, badai demi badai berlalu, angin
menggila, dan daun itu tetap bergeming, di tangkainya. Johnsy pun perlahan
pulih. Ia menemukan secercah harapan—yang datang bukan dari diagnosa seorang
dokter atau ketokceran sejumput obat, melainkan dari sesuatu yang tampak remeh:
sehelai daun yang bertahan. Belakangan, kita tahu, daun itu bukan daun sungguhan.
Daun itu adalah lukisan seorang tetangga tua, pelukis yang hampir tak lagi diperhitungkan.
Di usia senjanya, ia, si tetangga itu, justru melukis kehidupan… untuk menunda
kematian orang lain. Kematian Johnsy. Ironisnya, ia sendiri meninggal karena
dingin malam setelah melukis daun itu. Dan saya lalu bertanya-tanya, “Adakah
Raja Ampat sedang dalam posisi daun terakhir itu?”
Saya membayangkan gugusan pulau yang menawan
itu sebagai daun yang sedang gigih menempel di ranting yang letih. Angin badai
telah datang, bukan dalam bentuk musim hujan atau badai tropis, melainkan dalam
bentuk perusahaan tambang, rencana eksploitasi, dan izin-izin yang diteken dari
balik meja ber-AC, oleh tangan-tangan yang tak pernah belajar dari yang telah
sekian lama merawat. Mereka tak pernah mendengar sunyi laut yang dalam. Tak
pernah memandangi ikan napoleon melintas di balik karang, tak pernah menghirup
udara yang belum dinodai aspal dan oli. Tapi tangan mereka sanggup
menandatangani nasib segugus pulau, juga nasib sekian nyawa makhluk yang
bernaung di bawah ketiaknya yang harum.
Apa yang sedang diperjuangkan Raja Ampat hari
ini, mungkin bukan hanya tentang karst yang akan digergaji atau ikan-ikan yang sisiknya
meranggas kehilangan habitat. Tapi tentang harapan yang mungkin tersisa.
Tentang daun terakhir yang, meski diguncang badai kebijakan dan investasi,
masih bergeming di ranting sejarah kita. Kita, yang duduk jauh di luar sana—di
kota yang hiruk dengan kafe dan rapat, mungkin hanya bisa menatap Raja Ampat
dari layar, dari pameran foto, atau dari brosur pariwisata yang rapi. Tapi
bisakah kita, seperti si pelukis tua dalam cerita itu, mencoba membuat sesuatu
yang, meski mungkin kecil belaka, tapi berarti? Membuat satu “daun” terakhir
tetap melekat? Sebuah aksi, atau entah sekadar keberpihakan? Kita tahu, daun
itu tidak abadi. Tapi bukankah hidup kita juga tak lama? Di hadapan Raja Ampat,
saya merasa kita semua adalah Johnsy—yang terbaring lemah dan kehilangan
harapan. Tapi saya juga percaya, selalu akan ada seseorang, entah siapa, yang
masih sudi melukis daun terakhir itu di tengah badai. Dan barangkali, itu cukup
untuk menyelamatkan satu kehidupan. Atau malah satu surga.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.