Ironi Sekolah Rakyat: Solusi atau Sebatas Ambisi Belaka?
Isu pendidikan di Indonesia acapkali dijadikan
topik utama dalam forum-forum formal maupun informal, seperti forum diskusi
para akademisi. Hal ini membuktikan begitu kompleks masalah pendidikan di Indonesia
yang belum mencapai pada solusi yang mengakar terhadap masalahnya. Terlebih,
baru-baru ini pemerintah mencetuskan program kerja terkait pembentukan lembaga
pendidikan baru yang kemudian diberi nama “Sekolah Rakyat”.
Sekolah rakyat merupakan lembaga pendidikan
yang setara dengan lembaga pendidikan formal pada umumnya. Lembaga ini
menyediakan tiga jenjang pendidikan; mulai dari SD, SMP, dan SMA. Bagi yang
menempuh pendidikan di sekolah rakyat ini tidak dipungut biaya atau gratis.
Akan tetapi, tidak semua masyarakat bisa mendaftar di sekolah ini. Dilansir
dari Tempo.com, sekolah rakyat diperuntukkan pada masyarakat yang mengalami
keterbatasan ekonomi, yang dilihat dari golongan desil satu atau miskin
esktrem, berdasarkan pada Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Program ini diinisiasi oleh Kementerian Sosial
atas program kerja dari Presiden Prabowo Subiantio yang berdasarkan pada
Intruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2025. Konsep dari sekolah rakyat hampir
serupa dengan sekolah negeri atau swasta pada umunya. Namun, bedanya sekolah
rakyat ini mengambil konsep boarding school atau sekolah asrama, yang
mana peserta didik diwajibkan untuk menetap selama masa pendidikan. Kurikulum
yang dipakai di sekolah rakyat mengadopsi pada kurikulum standar nasional di Indonesia,
yang kemudian memuat mata pelajaran pada sekolah umum seperti IPA, IPS,
Matematika, Bahasa Indonesia, dan masih banyak lagi.
Selain itu di sekolah rakyat ini peserta didik
diberikan keleluasaan dalam mengembangkan keterampilan yang dimiliki oleh
setiap siswa. Hal ini dibuktikan adanya program pendidikan vokasi,
kewirausahaan dan keterampilan, serta penguatan karakter dan kepemimpinan. Program
ini memberikan kemudahan pada masyarakat yang kurang mampu untuk menempuh
pendidikan. Hal ini juga sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi
kemiskinan, mengingat kemiskinan merupakan salah satu permasalahan besar di Indonesia.
Namun, terlepas adanya program sekolah rakyat,
apakah bisa secara keseluruhan dapat mengurangi kemiskinan? Apakah program ini tidak
menyebabkan adanya ketimpangan sosial di masyarakat karena perbedaan dari
derajat lembaga pendidikan? Apakah program ini nanti tidak menimbulkan masalah
baru dalam bidang pendidikan, seperti melebarnya anggaran atau yang lain? Saya pun
menjadi skeptis hal ini dapat memecahkan masalah kemiskinan. Alih-alih akan menjadi
solusi dalam pendidikan, melainkan menjadi ancaman pendidikan di Indonesia.
Kiranya pemerintah juga harus mempertimbangkan
anggaran yang digunakan untuk menyukseskan program ini. Dikutip dari detik.com,
pengalokasian dana untuk sekolah rakyat ini berkisar 100 miliar per sekolah dan
pemerintah menargetkan sebanyak 200 sekolah rakyat dibuka pada tahun 2026 nanti.
Dari jumlah 200 itu sebanyak 53 sekolah rakyat akan beroperasi pada tahun
ajaran baru 2025/2026 ini, yang akan dibuka pendaftaran mulai bulan Juli. Dari
jumlah keseluruhan sekolah rakyat yang akan dibangun, bukankah ini menjadi
pemborosan anggaran? Dengan nominal 100 miliar dari setiap pembangunan sekolah
rakyat. Terlebih, adanya patokan anggaran dari sekian banyaknya akan menjadi
pintu baru untuk melakukan korupsi, bukan? Hal ini sangat disayangkan apabila
terjadi.
Target pemerintah dalam membangun sejumlah 200
sekolah rakyat pada tahun 2026 terlihat ambisius. Mereka menutup mata pada
pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang seharusnya menjadi
prioritas utama dalam pemerataan pendidikan. Bagaimana nasib bangunan sekolah
yang bertembok bambu, atapnya bocor ketika hujan, bangku dan kursi yang sudah
rapuh? Apakah ini semua akan terlantarkan ketika ada program sekolah rakyat ini?
Ketika hal ini benar terjadi, maka bentuk monumen ketidakpedulian pemerintah
terhadap pendidikan memang benar adanya.
Dalam hal ini, pemerintah harus bijak dalam
menentukan solusi atas masalah pendidikan. Merumuskan solusi harus dipikirkan
ulang bagaimana efek atau dampak yang terjadi ketika program yang dilaksanakan
bisa terealisasikan secara nyata. Tidak hanya sebatas penggunaan pola “Ganti
presidan; Ganti sistem” atau “Ganti menteri; Ganti program”. Tentu hal ini
menjadi sebatas ambisi belaka, yang hanya bertahan lima tahun saja. Pendidikan tidak
bisa dianggap sebelah mata. Karena adanya pendidikan, generasi penerus bangsa
akan tercipta.
Solusi yang sebenarnya bukan pengadaan program
baru dan melupakan program lama. Melainkan bagaimana memperbaiki program lama untuk
mencapai kesempurnaan, salah satunya penyempurnaan program Kartu Indonesia
Pintar (KIP) sebagai upaya untuk mengentas kemiskinan. Program KIP merupakan
program pemerintah yang memberikan bantuan tunai kepada anak-anak usia sekolah
yang tergolong dari keluarga miskin.
Secara tidak langsung program KIP ini solusi
yang efektif dalam menurunkan angka kemiskinan. Terlebih jika program ini disempurnakan
dari pemberian anggaran yang ditingkatkan atau peningkatan pada proses penyeleksian secara ketat, yang hanya
diperuntukkan kepada masyarakat yang miskin. Namun, agaknya pemerintah enggan
terhadap hal ini. Mereka mementingkan pengadaan program baru dari pada memperbaiki
program yang sudah ada. Semoga sekolah rakyat ini bisa berjalan sesuai impian Indonesia,
sebagai solusi mengentas angka kemiskinan. Sekian.
Editor: Rena
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.