Iklan Layanan

Cuplikan

Kontroversi Di balik Berdirinya Tower Sakti Di Kertosari

    


Features oleh : Syarifa

    Pagi dengan nuansa indah menemani, gemulai dedaunan rindang tertiup sepoi angin. Langkah kaki gontai dengan tangan merogoh kunci motor disaku kiri. Menuju motor beat pink di pinggir jalan sepi. Melaju menyusuri jalanan kota Ponorogo, jalanan dengan aspal mulus kanan kiri. Dengan percaya diri dan tentunya berbekal materi kami berangkat dengan mengikuti alur energi, ditemani angin sejuk dan jalanan yang ramai menambah semangat untuk bergegas pergi.

    Matahari mulai terik, hingga memantulkan bayanganku yang sedang mengendarai motor. Pagi ini aku bersama temanku berada di kawasan Jalan Ukel, Kertosari, Babadan, Ponorogo.  Nampak sebuah tower tinggi menjulang di pinggir jalan kota yang tidak terlalu besar. Diapit banyak gang di kanan kirinya. Hanya sedikit orang lalu lalang, serta beberapa warga yang beraktivitas di depan rumah mereka.

    Mendengar kabar simpang siur terkait tower yang tinggi menjulang. Tidak salah lagi itu benar adanya. Di pinggir jalan yang tidak jauh dari berdirinya tower nampak banner penolakan bertuliskan “TOWER SAKTI DITOLAK WARGA TETAP BERDIRI”. Rasa penasaran membuncah di dada, menggerakkan tubuh untuk segera menggali informasi. Mulailah kami menanyakan beberapa informasi tentang banner yang sangat kontroversial itu. Dari warga satu ke warga lainnya kami mendapat jawaban yang seragam. “Tanya pak RT saja,” tutur mereka. Tanpa berpikir panjang kami pun langsung mendatangi rumah pak RT dengan bekal alamat dari warga.

    Setelah menyusuri gang demi gang akhirnya kami menemui sebuah tempat fotocopy  kecil namun tertata rapi. Tak berselang lama, kami bertemu dengan seorang yang kiranya tepat untuk menjadi narasumber. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan, dengan kacamata transparan melekat di wajahnya, masih dengan menenteng sepeda kebanggaannya. Nampaknya beliau baru pulang bersepeda sehat pagi hari. Ia adalah Dudin Siswanto, ketua RT. 04, RW. 03 Jalan Ukel, Kertosari, Babadan, Ponorogo. Pak RT, begitu warga menyebutnya.

    Dengan tampang percaya diri dan lagak sok mengerti, mulailah menggali apa yang nampak tak beres dibenak kami. “Ada yang bisa saya bantu?” Tanya Pak RT. “Banyak hal yang perlu anda bantu,” batin saya yang tak mampu terlontarkan. Setelah dipersilakan singgah, kami duduk di tempat fotocopy-an yang ternyata milik Pak RT. Kami memulai perbincangan dengan segala keluh kesah yang menghantui rasa penasaran kami.

    Banyak titik terang dari penuturan Pak RT, namun tidak luput dengan segala kebingungan yang tidak dapat dipungkiri. Tower yang sudah berdiri menjulang tinggi, ternyata menyimpan banyak misteri juga kontroversi. Kami menggali lebih dalam lagi, ada sebagian kecil warga yang mengaku tak ingin mengerti, juga banyak warga RT. 04 yang menolak setengah mati. Saat itu kami masih berusaha mengamati, mencerna informasi agar kami benar-benar  memahami apa yang sebenarnya terjadi.

    Setelah mendapat penjelasan, akhirnya kami menemui titik inti dari permasalahan tadi. Bapak Dudin menjelaskan terkait penolakan pembangunan. “Kami tidak diberitahu sebelumnya masalah sosialisasi pendirian tower. Serta keadaan di lingkungan yang saya rasa tidak terkendala dengan sinyal, kenapa harus di wilayah ini tower itu dibangun,” ucap beliau dengan nada gusar. Sedikit demi sedikit alasan penolakan mulai tergambar. Lalu alasan penerimaan masih dalam angan, belum menemukan titik terang. Sedikit gambaran bahwa mereka terlampau takut dengan kompensasi penerimaan lantas memilih bungkam.

    Hari berikutnya kami kembali menapaki jalan yang sama untuk menemui titik terang yang lebih jelas. Kawasan tersebut nampak sepi, tidak satu pun narasumber yang dapat digali informasinya. Bahkan untuk sekadar menemui satu orang saja, terasa kian sulit sekali. Keresahan kembali menghampiri hingga tak mampu menghibur diri sampai rasanya ingin gantung diri. Daripada linglung di tempat, akhirnya kami kembali ke rumah Pak RT. Sesampainya di sana terlihat Pak RT duduk santai di depan rumah dengan anak istri. “Assalamuallaikum bapak”, sapa santunku. Dengan tanggapan bijak khas Pak RT dan pastinya bisa membaca gerak tubuh kami, Pak RT mengantarkan kami ke sebuah rumah tua yang tidak terlalu besar. Nampak banyak sekali kertas-kertas bertumpukan di atas meja, berkas-berkas penting pasti isinya. Rumah itu berjarak dua sampai tiga rumah dari rumah Pak RT. Pemilik rumah itu adalah bapak Djuni Santoso, sekertaris RT.

    Tak jauh berbeda dengan Pak RT, dalam perbincangan dengan Pak Juni kami mendapatkan berbagai penjelasan yang semakin membuat hati kami ikut kalut. Mulai dari proses awal pembangunan sampai berdirinya tower terselip polemik yang tak terelakkan. Pada tanggal 22 Januari warga RT 04 mengadakakan rapat darurat untuk rencana demo. Setelah rapat darurat, aksi demo yang direncanakan ternyata gagal dilakukan. Lurah setempat memberi masukan agar menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Akhirnya warga membuat draft pernyataan singkat yang berisi alasan menolak dibangun didirikannya tower tersebut yang ditujukan kepada Kepala Kelurahan Kertosari Kecamatan Babadan.

    Setelah mengajukan draft pernyataan, tower berhasil dihentikan. Namun selang empat setengah bulan, tiba-tiba pembangunan tower dilanjutkan. Hal ini membuat kami tercengang mendengarkan penjelasan dari Pak Djuni. Ternyata surat IMB (Izin Mendirikan Bangunan) sudah dikeluarkan tanpa sepengetahuan warga. Sudah banyak usaha yang dilakukan warga untuk menolak pembangunan namun naasnya, masih kalah dengan kaum elit dengan berbagai alasan yang tak masuk akal. “Kami berusaha mengajukan berbagai lampiran penolakan, nyatanya kenapa kok IMB masih juga tetap bisa keluar,” keluh Pak Djuni.

    Kami ingin berbincang dengan pemilik tanah tempat berdirinya tower tersebut. Namun beliau sangat susah ditemui. Saat kami hubungi ia mengatakan sedang berada dalam perjalanan ke luar kota. 

    Kemudian aku berusaha berbincang melalui Whatsapp untuk klarifikasi jika mungkin prasangka burukku memang salah. Bagai tersambar petir nomerku ternyata di block. Hah.. sungguh pedih rasanya, padahal kami hanya ingin mencari kebenaran di balik keresahan, namun respon tak sesuai prasangka.

    Pembangunan tower sedari awal sudah mengundang kontroversi. Mengesampingkan aspirasi bahkan melupakan dampak radiasi yang mungkin terjadi.  Dalam hati kami merasa miris nan emosi. Benar memang tower belum diaktifkan, dan masih menunggu tanggapan warga sampai tiga bulanan kedepan. Akan tetapi, kami kira tanpa menunggu tiga bulan kedepan kita pasti tahu apa keputusan besar yang kemungkinan ditetapkan.


    Sinar matahari mulai redup, tak terasa senja semakin menampakkan pesonanya. Dengan segala perasaan yang campur aduk kami berpamitan untuk pulang. Di sepanjang perjalanan aku termenung, teringat akan kalimat dari Emha Ainun Najib “Politik diciptakan dan dimanifestasikan berdasarkan filosofi dan tujuan untuk menyediakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, tapi yang terjadi adaalah sama sekali kebalikannya”.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.