Iklan Layanan

Cuplikan

Langkah Kepahlawanan Para Sastrawan


nusantaranews

Oleh : Muhamad Riza Ardyanto
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Sepenggal sajak yang berjudul “Sebatang Lisong” ini menyiratkan realitas lapangan tentang pertanyaan-pertanyaan protes ketidakadilan yang hanya jadi angin belaka, hilang dan dijawab oleh kesewenangan pemerintah. Pendidikan yang menjadi kunci majunya negeri ini juga menjadi barang langka pada tahun 1977 tepat saat WS Rendra menulis sajak itu. Sampai saat ini pun sajak tersebut masih relevan karena masih banyak rakyat yang menuntut ketidakadilan di setiap daerah namun tidak pernah didengar oleh penguasa seperti aksi Kamisan.
Tidak hanya WS Rendra yang dalam puisinya seringkali menyuarakan ketidakadilan. Wiji Thukul, Seno Gumira, Pramudya Ananta Toer dan Chairil Anwar pun turut andil dalam menyuarakan ketidakadilan dengan berbagai karya sastra mereka. Suara itu tidak akan hilang dalam liang selama ketidakadilan masih subur di dunia ini.
Sastrawan memperjuangkan kebenaran dan selalu memberi warning kepada pemerintah yang berkuasa. Oleh karenanya, pantas kita memberi gelar Pahlawan pada mereka. Tidak perlu dengan pengakuan pemerintah atau lisensi dari lembaga terkait, tapi lebih pada sikap menghormati dan meneladani sikap heroik mereka.
Ini barisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Setelah itu Mati
            Sepenggal sajak ini digambarkan oleh Chairil Anwar betapa tangguhnya Diponegoro dalam memimpin perang Jawa pada periode tahun 1825-1830. Rekam perjuangan pahlawan merupakan suatu hal yang penting dalam sejarah. Ketika Soekarno mengatakan jangan sekali-sekali melupakan sejarah, maka sastra turut andil pula dalam merekam dan mencetak sejarah.
            Semua orang bisa  membuat sejarah, hanya orang hebat  yang mampu menuliskannya,” tegas Oscar Wilde seorang penulis dari Irlandia. Dalam konteks ini sastrawan mempunyai nilai sendiri dalam merekam jejak fenomena sosial pada masanya. Seno Gumira Ajidharma seorang wartawan yang dalam sela-sela tugasnya juga selalu menulis cerpen-cerpen yang menggambarkan realitas sosial orde baru tentang pembunuhan, pemerkosaan dan fenomena yang lain ditulis pada 1994-1998. Hingga terbit salah satu buku antologi cerpennya yang berjudul “Iblis Tidak Pernah Mati” pada tahun 1999.
             Sezaman dengan Seno, dari kalangan aktivis terdapat Wiji Thukul yang masif menyuarakan hak-hak rakyat melawan pemerintahan orde baru yang dinilai fasis. Wiji menyuarakan tuntutannya dengan puisi-puisi perlawanan rakyat kepada tirani agar Indonesia menjadi lebih baik. Hilangnya Wiji Thukul pada 27 Juli 1998 menjadi puncak perjuangannya. Hingga tulisan ini diterbitkan masih misterius keadaan dan keberadaannya. “Karena kebenaran akan terus hidup. Sekalipun kau lenyapkan kebenaran takkan mati.” Sajak ini menjadi bagian dari sejarah sastra dan pemantik untuk memperjuangkan kebenaran karya Wiji Thukul.
            Delapan belas tahun sebelum itu Pramudya Ananta Toer menerbitkan buku Bumi Manusia yang langsung masyhur. Buku tersebut berisi tentang pentingnya pendidikan pada era kolonialisme dan menarasikan perlawanan bangsa pribumi kepada Belanda. Satu tahun kemudian (1981), buku ini dilarang penerbitannya oleh pemerintah orde baru karena dianggap menyebarkan paham kiri.
            Nama pahlawan nasional yang diakui negara dan ditulis sebagai nama-nama jalan, ditampilkan di uang kertas dan dijadikan hafalan anak-anak SD karena mereka berjasa mengusir penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan. Guru diakui sebagai pahlawan tanpa tanda jasa karena ia memberikan sumbangsih bahu pikir untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Sedangkan sastrawan bisa dikatakan pahlawan karena turut andil memberi simbol peringatan pada seluruh elemen kehidupan, khalayak umum, dan utamanya pada penguasa agar tidak sewenang-wenang dalam menentukan kebijakan.
            Tidak hanya para maestro penyair seperti WS Rendra dan Wiji Thukul yang dapat dilabeli pahlawan dalam dunia sastra. Musisi yang memuisikan fenomena sosial pada bait-bait lagu yang mereka nyanyikan bisa dikategorikan pahlawan. Salah satunya adalah Iwan Fals yang sudah malang melintang dalam dunia permusikan dan dengan masif mengkritik pemerintahan orde baru. Iwan banyak menelurkan karya fenomenal seperti lagu Umar Bakri, Wakil Rakyat, Serdadu, Bento, Bongkar dan Tikus Kantor.
            Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.” Sastrawan akan terus beregenerasi dengan tujuan kepahlawanan mereka. Langkah sastrawan sebagai kontrol sosial dan memperjuangkan kebenaran demi tanah air ini patut menjadi pahlawan. Aku, kamu, kita, dia, mereka adalah pahlawan selanjutnya.***

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.