Iklan Layanan

Cuplikan

Untuk Kami, Rakyat Terpinggir



Untuk Kami, Rakyat Terpinggir
Oleh : Nining Qoirun Nisa




Ada yang berbeda dengan dusun kami. Dusun yang unik, istimewa. Kerukunan dalam perbedaan. Perbedaan dalam kedamaian. Baiklah, cerita penulis akan dimulai dari sini. Prolog yang jauh dari kata indah. Bukan disengaja, tapi tidak tahu harus menulis apa.
-
Lima hari ini bapak enggan meladang padahal badannya baik-baik saja. Sejak orang-orang berseragam yang datang dari Jakarta itu mengukur tanah di sekitar rumah, hampir seluruh petani di desaku menjadi resah. Ladang yang menjadi sumber perekonomian dari warga sekitar. Garut, telo, jagung adalah penyambung nyawa untuk mereka.
Tetangga yang selalu duduk-duduk di warung kopi meskipun matahari masih tinggi, menjadi rutinitas yang mafhum terjadi. Dari obrolan orang-orang tua yang sempat sedikit kudengar, lahan hidup yang sudah digarap berpuluh tahun lalu itu akan dijadikan bandar udara. Nantinya, hamparan sawah juga ladang akan disulap menjadi tempat untuk orang kaya singgah sebelum liburan di kota.
Tak ada lagi tanah becek kotor juga ibu-ibu tua bercaping lalu-lalang di ladang. Itu katanya seorang pria berpakaian necis ketika kumpul di rumah pak dusun Senin Legi lalu.
Bapak yang tak bisa menghasilkan kepeng selain dengan pacul, sabit, pupuk kandang juga pestisida yang mahal harganya, seperti menanggung beban pikiran yang hebat. Pikirnya, anak istriku mau tak kasih makan apa kalau di sini tak ada lagi sawah? Memang semua lahan itu katanya diganti dengan lembaran rupiah berwarna merah. Tapi... Ah... Bapak tak bakal sanggup lagi beli sepetak sawah di tempat lain.
Pak Suryanto, Mbokde Sum, Kang Saimin, Yu Tur, Mbah Yono, Lek Gito, dan semua tetangga satu desa sudah ancang-ancang menolak gusuran. Bagi mereka, tanah ini adalah harapan menyambung hari. Sampai kapan? Sampai apa yang disebut dengan mati datang menghampiri.
Kalau memang tanah ini harus berkalang darah, itu tanda kami tak menyerah. Begitu yang diyakini semua tetanggaku, juga bapakku. Makanya, mulai sekarang tak boleh lagi kami bermalas-malasan mengolah lahan.
Walaupun harus berbagi tempat dengan mobil-mobil yang berseliweran di jalanan kampung, kami tetap akan menggembala sapi, juga kambing untuk merumput di selatan kali sana.
Otakku belum paham betul apa gunanya lahan luas terhampar ini akan ditanami beton. Apa orang sekarang itu tak lagi makan beras –walaupun di dusun memang jarang-, jagung, telo, lombok, terong yang selama ini subur di tanah ini.
Kemarin waktu baca koran, katanya itu untuk kemajuan peradaban. Lah, emangnya peradaban maju tak butuh makan? Lha wong di mana-mana sawah sudah berubah menjadi rumah. Terus yang mau di makan apa?
-
Satu yang pasti, suatu hari, bapak kembali kelihatan bersemangat sejak kita para tetangga, sering bertemu untuk membahas persoalan ini. Tiap pagi bapak sudah bercaping dengan senyum tersungging.
Siang hari menunggu ibu membawa bakul berisi nasi, lauk, dan tentu saja piring. Sesekali mereka berbagi minum dengan Kang Markum, buruh penggarap sawah yang mungkin sebentar lagi menjadi fasilitas umum.
-
Tapi siang itu tiba-tiba kampung mendadak riuh. Orang-orang sudah berkumpul menuju pemakaman desa membentuk benteng manusia. Mereka langsung berhadap-hadapan dengan aparat berbaju cokelat. Ini jelas bukan latihan menghalau demonstran yang pernah kulihat di alun-alun.
Ternyata, semua orang di kampungku menolak rencana bapak-bapak penggarap proyek untuk mengukur tanah kuburan. Mereka beranggapan ini adalah milik leluhur yang sudah mati dan perlu dihargai. Bolehlah mengukur sawah, tapi bukan di rumah jasad yang sudah berpisah dengan arwah.
Simbah yang juga dikuburkan di sana tentu saja membuat bapak belingsatan. Lari terengah-engah menyusul kerumunan ketika tahu apa yang sedang terjadi. Caci maki, sumpah serapah, ditambah tangisan ibu-ibu membuat suasana semakin runyam. Tak ada kesepakatan meski bapak-bapak yang katanya dari kabupaten sudah berusaha memberi pengertian.
Aku semakin bingung dengan kejadian ini. Kalau mau mengukur sawah ya sudah ukur saja, toh yang punya juga masih hidup. Lha ini kok kuburan juga mau diukur. Apa ya besok juga mau digusur? Ah... Entahlah...
Orang kota memang susah ditebak jalan pikirannya. Setelah peristiwa gegeran di kuburan itu, bapak dan tetangga satu desa tetap saja menanam. Meskipun kami tahu suatu saat nanti tetap harus menyingkir, karena dunia itu kikir bagi kami rakyat terpinggir. Tapi paling tidak, kita melawan dengan menanam! Begitu kata bapak.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.