Cuplikan

Kritisi Pemberian Gelar Pahlawan kepada Suharto, Aliansi BEM Madiun Adakan Diskusi Publik

Foto: Arifin

lpmalmillah.com - Tepat pada peringatan Hari Pahlawan Nasional, Senin (10/11/2025), Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Madiun menggelar diskusi publik bertajuk “Pahlawan Bukan Soal Pangkat–Menolak Lupa, Menolak Suharto Diberi Gelar Pahlawan”. Kegiatan tersebut dimulai sekitar pukul 19.00 WIB di Warung Garasi, Kelurahan Manisrejo, Kecamatan Taman, Kota Madiun.

Diskusi ini menjadi bentuk refleksi kritis terhadap makna Hari Pahlawan, di tengah upaya pemutihan sejarah melalui pemberian gelar pahlawan kepada Suharto. Pemberian gelar pahlawan tersebut menimbulkan polemik di kalangan masyarakat, sebab sosok Suharto dinilai memiliki banyak catatan kelam dalam sejarah Indonesia.

Ismail Hamdan, Koordinator Aliansi BEM Madiun sekaligus Presiden Mahasiswa BEM Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Bhakti Husada Mulia menyampaikan bahwa meskipun Suharto memiliki sejumlah kebijakan yang dinilai baik, tetapi rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia di masa pemerintahannya tidak dapat diabaikan. “Penghormatan terhadap hak asasi manusia harus dijunjung tinggi, bukan justru diabaikan,” ujarnya.

Kegiatan diskusi yang digelar merupakan inisiatif untuk membuka kembali ingatan sejarah bagi para mahasiswa di Madiun dan membangkitkan semangat pergerakan mahasiswa agar tidak padam. “Melalui diskusi ini, para mahasiswa Madiun diharapkan dapat kembali membuka kesadaran sejarah serta menumbuhkan semangat gerakan kritis agar pergerakan mahasiswa di Madiun tetap hidup dan tidak pernah padam,” jelas Ismail.

Poin penting dari diskusi ini mengenai pentingnya mengingat sejarah bangsa, khususnya peristiwa-peristiwa kelam yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam diskusi tersebut, ditegaskan bahwa sejarah tidak boleh dilupakan ataupun dihapus karena menjadi bagian penting dari perjalanan bangsa.

Selain itu, Aliansi BEM Madiun menegaskan sikapnya untuk menolak pemberian gelar pahlawan kepada Suharto. Mereka juga menyampaikan harapan agar Prabowo Subianto, Presiden RI mencabut keputusan penobatan gelar pahlawan bagi Suharto karena dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan moral sejarah bangsa.

Foto: Aliansi BEM Madiun

Septian Dwi Kharisma dari Historie van Madioen menyampaikan pandangannya terkait pentingnya pemahaman sejarah Orde Baru bagi generasi muda, khususnya mahasiswa. Ia menilai kegiatan yang dilakukan para mahasiswa menjadi sarana pembelajaran yang menarik sekaligus bentuk kesadaran baru terhadap sejarah bangsa. “Generasi sekarang perlu lebih melek terhadap peristiwa masa lalu agar mampu menilai secara kritis kebijakan dan dinamika politik pada masa Orde Baru,” jelasnya.

Lebih lanjut, Septian menyoroti bahwa masa kepemimpinan Suharto diwarnai banyak kontroversi yang dinilai merugikan rakyat. Pemberian gelar pahlawan seharusnya mempertimbangkan integritas dan moralitas seseorang secara menyeluruh. “Ketika beliau menjadi presiden itu banyak kontroversi. Terutama pelanggaran hak, kebebasan sipil, kejahatan politik, dan sebagainya,” jelasnya.

Menurut Septian, penyematan gelar tersebut bukan hanya mengaburkan makna sejati pahlawan, tetapi juga menunjukkan lemahnya standar moral dalam penentuan gelar kehormatan negara. “Secara moral namanya pahlawan, jika moral itu sudah rusak, ya artinya penyematan gelar pahlawan itu artinya adalah pengkhianatan terhadap pahlawan itu sendiri,” ungkapnya.

Pemberian gelar pahlawan kepada Suharto dianggap lebih bermuatan politik daripada mencerminkan penghargaan terhadap nilai moral dan perjuangan sejati seorang pahlawan. “Artinya gelar pahlawan itu untuk kepentingan politik, bukan untuk standar moral,” kata Septian.

Saiful Rimas Santoso, salah satu peserta diskusi yang juga mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Madiun menilai pembahasan tersebut penting dilakukan agar masyarakat dapat memahami sejarah Indonesia secara lebih utuh. “Kesan saya terhadap jalannya diskusi sangat positif. Diskusinya berjalan dinamis, terbuka, dan memberikan ruang bagi peserta untuk menyampaikan pandangan secara objektif,” katanya.

Saiful juga menyampaikan bahwa keputusan tersebut perlu dikaji lebih mendalam. Suharto memiliki catatan kelam terkait pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru. Ia juga menyambut positif sikap Aliansi BEM Madiun. Penolakan tersebut menunjukkan kepedulian mahasiswa terhadap integritas sejarah dan nilai keadilan.

Ismail menyampaikan harapannya agar pemerintah mengevaluasi kembali keputusan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Suharto yang diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan. “Harapannya dari teman-teman Aliansi BEM ini tetap yang pertama untuk mencabut kembali, menimbang kembali, mengevaluasi kembali terhadap gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada Bapak Suharto yang tepat pada 10 November beliau dinobatkan sebagai pahlawan nasional,” harapnya.

Terakhir, Septian juga memberikan pesan utama yang menegaskan pentingnya bagi masyarakat untuk tidak melupakan dosa dan kesalahan para pemimpin di masa lalu. “Pesan utama yang saya sampaikan, kita jangan melupakan beberapa dosa para pemimpin kita, ya. Jangan jadikan akomodasi politik,” pungkasnya.


Reporter: Arifin, Naufal
Penulis: Naufal
Editor: Rena

Tidak ada komentar

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.