Iklan Layanan

Cuplikan

Cidro IAIN Ponorogo pada Momentum menuju UIN


Foto: Tim Dokumentasi

 Opini oleh: Hanif

Kabupaten Ponorogo. Namanya memang tidak perlu diragukan dalam hal kesenian. Namun, akan beda ceritanya dalam hal pendidikan. 

Andai disebut “Kota Pelajar” dan “Jawa Timur”, hampir bisa dipastikan, yang pertama terbesit dalam benak adalah Surabaya, Malang, atau Jember. Ya, memang tidak ada salahnya. Khususnya perguruan tinggi, daerah tersebut memiliki kualitas serta akses yang baik dalam hal pendidikan. Terdapat banyak kampus di sana dan sudah terakreditasi A. Tidak heran kalau banyak yang menjadikannya sebagai tujuan melanjutkan pendidikan tinggi. 

Namun, sebentar lagi, bukan tidak mungkin Ponorogo akan menjadi tujuan bagi pelajar untuk mengenyam tingkat tinggi. Salah satu alasannya adalah akan adanya UIN di Ponorogo. Ya, IAIN Ponorogo akan beralih status menjadi UIN.

Memang, peralihan status perguruan tinggi tidak serta merta menjadi jaminan bagi seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dalam hal ini, saya menyatakan kesepakatan. Namun, tidak juga bisa dimungkiri bahwa status perguruan tinggi menjadi salah satu kriteria penting saat akan menentukan jenjang pendidikan selanjutnya.

Namun, sebelum IAIN Ponorogo secara resmi berubah statusnya menjadi UIN, justru terdapat hal menggelitik pada momentum besarnya.

Semarak Cidro menuju UIN

Wacana alih status IAIN Ponorogo menjadi UIN sudah lama didengungkan. Dan, wacana ini semakin nyata adanya sejak pergantian rektor periode 2021-2025. Tidak main-main, alih status dimasukkan dalam program kerjanya.

Keseriusan alih status dimulai sejak Juni 2022 dengan membentuk kepanitiaan. Kemudian pada Februari 2023, dilaksanakan visitasi alih status oleh tim dari  Kementerian Agama. Selain itu, juga sudah dipersiapkan dokumen alih status dari IAIN Ponorogo menjadi UIN bernama Kiai Ageng Muhammad Besari. 

Tidak hanya yang bersifat administratif, persiapan fisik juga telah dilakukan berupa pembangunan gedung. Salah satu yang baru dibangun adalah gedung untuk Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) dalam jangka lima bulan, dimulai 14 Juni 2022 dan selesai pada 31 Desember 2022. 

Proses demi proses tersebut menunjukkan bahwa alih status bukanlah wacana belaka. Seluruh pejabat kampus, saya rasa, benar-benar serius mewujudkannya. Namun, hal menggelitik justru terjadi saat semua proses tersebut mungkin akan segera menuai hasil. Tepatnya, terjadi saat Dies Natalis Ke-53 dengan tagline “Bersinergi Menuju UIN Ponorogo Hebat”.

Dalam rangkaiannya, setidaknya, ada tiga acara berbeda, yaitu dialog tentang perempuan, politik, dan ruang digital; dialog budaya; dan pentas seni. Tebak, mana yang paling meriah? Yap, Anda salah kalau menjadikan dua acara diskusi tersebut sebagai jawabannya. Pentas seni-lah jawaban yang benar.

Terlepas dari antusiasme peserta, mari kita bahas anggaran yang rela dikeluarkan. Kenapa? Karena dari pengeluaran biaya inilah dapat dijadikan ukuran seberapa kuat keinginan untuk mengadakannya. 

Ketiga acara tersebut memang mendapat sokongan dana dari kampus. Namun, dilihat dari pernak-perniknya, saya kira, alokasi terbesarnya adalah pada pentas seni. Pasalnya, Woro Widowati dihadirkan sebagai guest star untuk men-cidro-kan masyarakat. Tentu, biaya untuk mendatangkan seorang yang rajin meng-cover lagu serta manggung di mana-mana itu tidaklah murah. Belum lagi biaya sewa sound system, panggung, lighting, dan biaya tetek bengek lainnya yang tidak sedikit. Ditambah pengeluaran sebesar 2 juta rupiah bagi pemenang lomba konten pada acara pentas seni. 

Berbanding terbalik dengan dua diskusi tersebut. Jumlah biaya untuk mengadakannya, saya kira, tidak lebih dari setengah biaya untuk mengadakan pentas seni. Bagaimana tidak, keduanya dilaksanakan di dalam gedung yang sebagian besar fasilitasnya tidak perlu menyewa. 

Barangkali ada pertanyaan, apa sumbangsih terbesar kampus kepada masyarakat dalam rangka menuju UIN? Bisa jadi, jawabannya adalah berhasil membuat cidro masyarakat Ponorogo dan sekitarnya. Ya, tidak hanya masyarakat Ponorogo yang berhasil di-cidro-kan, tetapi juga masyarakat dari kabupaten lain. Mereka rela datang dari jauh untuk ber-cidro ria di IAIN Ponorogo. 

Konser Cidro, Meminggirkan Isu Besar dari Dunia Pendidikan

Apa salahnya mengadakan konser di kampus? Memang tidak ada salahnya dan sah saja. Namun, coba kita pertanyakan ulang, hal apa yang diperoleh masyarakat dari konser cidro yang diadakan di kampus? Hal yang mendidikkah atau hal yang membuat masyarakat mletre karena kisah asmara?

Sama sekali tidak ada niat merendahkan para pekerja seni. Namun, sangat klise jika konser cidro dengan anggaran sebesar itu diadakan di kampus pada peringatan ulang tahunnya dan pada momentum menuju UIN. Kalau memang mempertimbangkan antusiasme masyarakat, bukankah dana sebesar itu bisa dialokasikan untuk mengadakan pengajian, workshop, riset, atau acara sejenis lainnya? 

Berkaca dari agenda pengajian sebelumnya yang diinisiasi Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dengan mendatangkan Gus Miftah dan Kyai Marzuqi Mustamar, juga disambut antusiasme yang tinggi dari masyarakat. Lha wong sekelas mahasiswa saja bisa, masa sekelas pejabat kampus tidak bisa, sih? Kalaupun bosan dengan pengajian yang membahas kesabaran seorang hamba dalam menerima cobaan, barangkali diganti bahasan tentang fikih lingkungan. Saya kira, beliau berdua pun cakap dalam membawakannya. 

Sebagai masyarakat Ponorogo, kita sama tahu bahwa persoalan sampah belum menemui titik terang. Dengan demikian, mengadakan pengajian tentang fikih lingkungan sangatlah relevan dengan kondisi masyarakat. Dalam bahasannya, misalnya, diterangkan bahwa  merusak alam seperti membuang sampah sembarangan adalah perbuatan dosa yang dibenci Allah SWT. 

Andaikata kajian keagamaan terlalu biasa karena sudah dibahas dalam keseharian sewaktu kuliah, maka bisa diganti dengan workshop atau pelatihan yang berimplikasi pada tindakan nyata di lapangan. Sebagai mahasiswa IAIN Ponorogo, kita sama tahu bahwa sampai saat ini belum ada pengolahan sampah di kampus. Bahkan, kampus juga menjadi penyumbang sampah di TPA Mrican yang sudah overload. Tentu dengan mengadakan pelatihan seperti tata cara mengelola bank sampah sangatlah relevan, khususnya kepada mahasiswa FEBI.

Tidak hanya itu, bisa juga diadakan riset yang menggandeng mahasiswa Jurusan Tadris IPA. Saya kira, mereka sangatlah mampu untuk berkolaborasi melakukan riset tentang mengolah sampah organik maupun anorganik menjadi sesuatu yang dapat didayagunakan. Seperti halnya yang berhasil dilakukan salah satu mahasiswa Tadris IPA dengan mengolah limbah kulit durian menjadi jenang.

Terakhir, patutlah kita mempertanyakan kembali apa sebenarnya tujuan konser cidro yang menghabiskan anggaran tidak sedikit tersebut pada momentum ulang tahun IAIN Ponorogo yang akan alih status menjadi UIN? Sebagai ajang untuk mempromosikan kampus belaka atau untuk menumbuhkembangkan pendidikan bagi masyarakat? Omong-omong, Woro Widowati kan juga membuka jasa endorse.

Jangan dibaca juga: UIN, UKT Melambung Tinggi, Komersialisasi Pendidikan, Pendidikan: Kuantitas Bukan Kualitas, Pendidikan Layak Hanya Untuk Masyarakat Beruang, dan artikel lainnya…

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.