Iklan Layanan

Cuplikan

Menuju Kepergian

(https://sinauternak.com)

Cerpen Oleh: Hanif


Di hari yang agung itu, rasa bimbang menghampiriku. Tak dapat aku mengerti dan kubedakan. Adakah beda antara kurban dan korban...

Hari masih gelap, sang mentari belum memancarkan sinarnya. Namun, Pak Sedana sudah memikul setumpuk rumput untuk kedua kambingnya, Mendha dan Kendit. Sebagai petani, tentu tidak sulit baginya untuk mendapatkan rumput sebanyak itu. Setelah meletakkan rumput di tempat makan, Pak Sedana selalu mengelus-elus kambingnya. Kedua kambing itu adalah harta yang berharga baginya. Tak heran kalau Pak Sedana sangat menyayangi keduanya. Ia selalu tersenyum saat melihat kambing-kambingnya makan dengan lahap.

“Hari yang agung akan tiba.  Saat hari itu tiba, salah satu dari kalian pasti akan menjadi makhluk istimewa.” Ucap Pak Sedana kepada kedua kambingnya. 

Ketika sinar matahari sudah terasa hangat, Pak Sedana bergegas mengambil cangkulnya untuk berangkat ke sawah. Sebelum pergi, tak lupa ia mengambil minuman untuk kambingnya. Air bercampur sedikit garam yang sangat segar bagi Mendha dan Kendit.

Tiba-tiba Kendit berhenti makan saat Mendha tengah lahap menyantap rumput segar. “Mendha, pastilah saat hari itu datang. Kamulah makhluk yang istimewa itu. Patutlah kamu berbahagia.” Ucap Kendit, si kambing putih dengan tubuh agak kurus dibanding Mendha. 

Sejenak Mendha menghentikan makannya, lalu diam dan berkata. “Mbeeek... Hai Kendit, sesungguhnya apa yang sedang ada di pikiranmu? Bagiku, hari yang agung itu bukanlah kebahagiaan karena aku akan melihat betapa serakahnya manusia.”  

Seketika Kendit terhenyak, hatinya bergetar. “Oiya, Kendit, sahabatku. Sesungguhnya kebahagiaan itu tidak diberikan, melainkan kamu sendiri yang menciptakan. Bisa jadi, kamu akan lebih bahagia karena tidak dipilih oleh empu kita, Pak Sedana.” Kata Mendha setelah meneguk air segar saat Kendit masih tetap berdiam diri. Kendit masih mencoba memahami apa yang dikatakan oleh Mendha, kambing cokelat bertubuh gemuk.

Merasa tertampar oleh perkataan Mendha, Kendit hanya bisa termenung. Ia merasa bahwa bahagia menurutnya itu bukanlah kebahagiaan, melainkan hanya anggapan semu. Barangkali tidak dipilih oleh Si Empu di hari yang agung adalah kebahagiaan lain. Dengan begitu, ia tidak akan melihat keserakahan manusia yang tentu sangat menyakitkan. Mungkin sangat benar bahwa tidak ada yang bisa memberikan kebahagiaan. Melainkan kebahagiaan itu bisa diciptakan sendiri.

---

Hari yang agung telah tiba. Benar, Mendhalah yang dipilih oleh Pak Sedana. Kini Mendha sudah beralih dari kandangnya ke sebelah surau. Di hari yang agung itu, mata Mendha tak pernah berhenti melihat sekelilingnya. Di hari yang agung itu, ia melihat orang-orang mengenakan baju baru nan bersih sepulang dari masjid. Di hari yang agung itu, ia melihat orang-orang berjalan dengan riang gembira. Di hari yang agung itu, terdengar puji-pujian kepada Sang Pujaannya dari surau dan masjid.   

Mendha mengalihkan pandangannya ke Pak Sedana. Seorang petani bertubuh tegap yang kulitnya gelap kecokelatan terkena panas matahari di sawah dalam kesehariannya. Terlihat wajahnya begitu berbinar, sorot kebahagiaan terpancar jelas. Siapa sangka, di tengah paceklik ekonomi Pak Sedana mengikhlaskan kambingnya untuk disembelih. Baginya, berkurban tidak menunggu sampai harta bertumpuk setinggi gunung. Berkurban hanya soal kesempatan dan kemauan. 

Ingatan itu tiba-tiba muncul meski samar. Ketika Mendha dituntun oleh empunya dari kandang menuju surau. Saat perjalanan, Pak Sedana berbicara dengan Mendha meskipun bahasa mereka berbeda. 

“Mendha, hari ini semua orang di kampung sangat bahagia. Begitu pun aku, bahagiaku adalah saat aku dapat mengambil kesempatanku. Dan bahagiamu adalah kamu akan banyak memberi manfaat kepada penduduk kampung. Tak lain hidup hanya ada kesempatan dan kemanfaatan.” Ucap Pak Sedana sambil mengelus-elus bulu cokelat Mendha. 

---

Lamunanku seketika menjadi sebuah kenyataan yang mengerikan. Tak sadar, kini aku sudah berada diantara banyak orang, mereka mengelilingiku. Hatiku bergetar, keempat kakiku bergetar. Aku berteriak sebisa-bisanya. Aku melihat beberapa diantara mereka membawa sebilah pisau panjang. Apakah ini hari yang agung? Hari dimana aku menemui ajalku. Hari dimana aku menangis dan mereka tertawa. Hari dimana aku merasakan sakit dan mereka akan merasa bahagia.

Tiba-tiba, keempat kakiku ditarik. Tak kuasa aku menahannya. Kini tubuhku sudah tersungkur. Tiba-tiba, aku diangkat. Kepalaku sudah berada diatas gedebog pisang. Kulihat dibawahnya sudah digali lubang agak dalam. Tiba-tiba, wajahku ditutup oleh selembar daun pisang dan mulutku dibungkam. Tiba-tiba, leherku terasa dingin. Aku meronta, tapi tak cukup kuat untuk mengalahkan tenaga empat orang dewasa. Aku berteriak, tapi tak cukup keras karena mulutku dibungkam dengan sangat erat.

Dari celah sobekan daun pisang, sangat jelas aku melihat kebahagiaan diwajah orang-orang itu. Sangat jelas terdengar di telingaku suara tawa mereka. Kini, rasa dingin di leherku semakin menjadi-jadi, namun tak kuasa aku berbuat apa-apa. Tak terasa, tumpukan air bening berada di sudut mataku, mereka masih tertawa. Tumpukan air itu mengalir perlahan, mereka masih juga tertawa. Air bening itu mengalir semakin deras dan mereka masih tetap tertawa. 

Sebelum aku melihat cahaya putih nan silau. Aku kembali teringat kata Pak Sedana, hidup hanya soal kesempatan dan manfaat. Mungkin kepergianku adalah kesempatan dan selepas kepergianku adalah manfaat. Oh, Tuhan... Jika boleh aku bertanya, apakah aku kurban Pak Sedana untuk-Mu ataukah aku korban keserakahan manusia demi nafsunya? Kini hanya ada cahaya putih sejauh penglihatanku dan sudah tak kurasakan lagi rasa dingin di leherku.


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.