Iklan Layanan

Cuplikan

Diskusi LKBH: Dilema UU Pesantren


Foto: Panitia memberikan kenang-kenangan kepada Abdul Mun'im
lpmalmillah.com- Pengesahan UU Pesantren pada tanggal 24 September 2019 masih menyisakan hal untuk didiskusikan. Pada Rabu, (23/10/2019) Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) IAIN Ponorogo kembali gelar diskusi rutin dengan megusung tema “UU Pesantren Kado Terindah atau Justru Sebaliknya.” Auditorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) kampus II menjadi tempat berlangsungnya acara diskusi  dengan menggandeng dua pemateri yakni Lukman Santoso (Dosen Fakultas Syariah) dan Abdul Mun’im (Mudir Ma’had Ulil Absor dan Dosen IAIN Ponorogo).
Acara dimulai dengan sambutan oleh Endrik Safudin selaku Direktur bagian kajian dan pengembangan ilmiah LKBH. Setelah itu, acara dibuka oleh Nurul Umayyah selaku moderator kemudian dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Lukman Santoso dan Abdul Mun’im.
Abdul Mun’im menyampaikan bahwa pendidikan formal di pesantren mengalami perkembangan yang luar biasa, sehingga banyak pesantren yang memiliki sekolah unggulan dan favorit, dan pesantren kebanjiran peminat. “Pada umumnya, perkembangan seperti ini dianggap sebagai hal yang positif oleh mayoritas umat Islam. Tetapi juga ada minoritas yang menganggapnya sebagai kekalahan dunia pesantren dalam menghadapi modernitas, ungkapnya.
Lukman mengatakan, proses pembuatan undang-undang pesantren yang terkesan cepat. Undang-Undang pesantren ini termasuk kilat pemrosesannya, tidak serumit dan selama pembuatan undang-undang yang lainnya,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa Undang-Undang dicurigai beberapa pihak non pesantren sebagai upaya pesantren untuk mencari dana ke pemerintah. Pertanyaannya, apakah pesantren butuh balas budi? Ataukah Negara yang butuh eksistensi dari pesantren?” ujarnya.
Abdul Mun’im menyampaikan, kehadiran Undang-Undang nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren barangkali menandai tahap baru tentang keberadaan pesantren di Indonesia bahwa pemerintah lebih dalam lagi memasuki jantung pesantren. Ia juga menerangkan isi konsideran butir C bahwa perlu adanya peraturan untuk rekognisi (pengakuan), afirmasi (penekanan), dan fasilitasi (terhadap pesantren) berdasarkan tradisi dan kekhasannya. Sehingga, pemerintah telah mewajibkan dirinya untuk memenuhi fungsi-fungsi sebagaimana disebutkan.
Salah satu mahasiswa, Abdul Fakih dari Hukum Keluarga Islam (HKI) mengajukan pertanyaan. Dari setiap pondok memiliki kultur berbeda, apakah kultur tersebut akan berubah dengan adanya undang-undang? tanyanya. Kemudian Abdul Mun’im menanggapi bahwa UU tidak akan mengubah sejeauh itu.
               Diskusi ini menuai tanggapan dari peserta, salah satunya Linda Dwi Kumalasari mahasiswi jurusan HKI. “Sebaiknya mahasiswa itu harus lebih teliti agar lebih bijak dalam memandangundang-undang pesantren yang disahkan oleh DPR,” tuturnya.

               Reporter : Yaya, Zanida

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.