Iklan Layanan

Cuplikan

Buruh dan Stigma Buruk yang Seharusnya Tak Disematkan

 

(Foto: pexels.com)

Esai: Alifah

Peringatan Hari Buruh setiap tanggal 1 Mei tidak hanya diperingati di Indonesia saja, melainkan juga diperingati secara internasional. Peringatan Hari Buruh bertujuan untuk menghormati sekaligus mengingat perjuangan buruh melawan pelanggaran hak-hak para pekerja, yang mana pelanggaran ini tidak jarang dilakukan oleh para pemilik perusahaan atau industri.

Di Ponorogo sendiri baru-baru ini telah terjadi Seruan Aksi Tolak One Way. Aksi yang dilakukan oleh aliansi masyarakat, mahasiswa, serta para ojek online (ojol) tersebut mengaku resah dengan adanya kebijakan jalan satu arah yang beberapa waktu sebelumnya diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ponorogo. Beberapa jalan yang dijadikan satu arah adalah Jalan Gajah Mada, Jalan Sultan Agung, dan Jalan K.H. Ahmad Dahlan.

Kebijakan perubahan arus lalu lintas menjadi satu arah ini cukup merugikan banyak pihak, khususnya para pedagang dan pengojek online. Berdasarkan ungkapan salah satu aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dikutip dari laman www.lpmalmillah.com, ada dua hal yang menandai kerugian tersebut. Pertama, pedagang mengeluh karena omsetnya mengalami penurunan sebanyak 70%. Kedua, modal para pengojek online untuk membeli bensin naik menjadi 30% setelah diberlakukannya kebijakan one way.

Bisa dilihat betapa sulitnya masyarakat kecil dan para pekerja menyuarakan keresahannya melalui aksi tersebut. Kebijakan yang seharusnya menyejahterakan masyarakat malah menjadikan masyarakat geram dan resah. Tidak heran apabila setiap tanggal 1 Mei banyak aksi yang dilakukan oleh para buruh untuk terus memperjuangkan kesejahteraan bagi mereka.

Sejarah Buruh di Indonesia

Mari kembali pada tahun 1830, masa di mana Indonesia masih di bawah kekuasaan para Penjajah Belanda. Pada masa itu, para pekerja dan buruh sering mengalami eksploitasi dan penindasan oleh majikan Belanda. Kondisi kerja yang sangat tidak manusiawi, upah rendah, dan tidak ada jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, membuat para pekerja serikat buruh merasa perlu untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Tahun 1905 didirikan Staatsspoorbond (SS Bond) oleh para pekerja kereta api. Dianggap tidak berkembang, para buruh kereta api mendirikan organisasi lain pada tahun 1908 yang bernama Vereeniging van Spooor-en Tramweg  Personeelin Nederlandsch Indie (VSTP)  yang menjadi cikal bakal  dari munculnya berbagai organisasi buruh lain di kemudian hari.

Lompat pada masa kemerdekaan, pada tahun 1945 gerakan buruh mulai menapakkan kakinya dalam perpolitikan, ditandai dengan berdirinya partai buruh pertama di Indonesia bernama Partai Boeroeh Indonesia (PBI). Naasnya, pada tahun 1965 terjadi peristiwa G30S yang mengakibatkan gerakan buruh digadang-gadang dekat dengan golongan komunis yang dimusuhi oleh negara dan masyarakat.

Tahun 1968, Presiden Soeharto menghapus kebijakan Orde Lama yang memberikan panggung bagi para buruh dalam memperingati Hari Buruh Internasional setiap tanggal 1 Mei. Di era Presiden Soeharto berkuasa, buruh menjadi korban stigma masyarakat yang berujung dikecam karena dicap identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut Presiden Soeharto pada masa itu, aksi untuk memperingati Hari Buruh selalu dikaitkan dengan ideologi komunis dan dikategorikan dalam aktivitas subversif. Selama 30 tahun Presiden Soeharto menghapuskan peringatan Hari Buruh di masa jabatannya, tidak ada yang berani merayakan Hari Buruh atau menikmati hari libur setiap tanggal 1 Mei.

Setelah bertahun-tahun gagal mengembalikan peringatan Hari Buruh pada tanggal 1 Mei, akhirnya pada tahun 2013 di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonno (SBY), tanggal 1 Mei dinobatkan kembali sebagai hari libur nasional yang berlaku pada tahun 2014 hingga sekarang.

Stigma Buruk yang Melekat pada Buruh 

Kebijakan-kebijakan yang ada pada Orde Baru dan wacananya yang kuat mengenai buruh sangat mempengaruhi pandangan masyarakat. Terlebih, buruh selalu dikaitkan dengan ideologi komunis yang mana mengingatkan pada peristiwa G30S.

Mayoritas masyarakat memandang buruh sebagai suatu pekerjaan untuk para kelas sosial menengah ke bawah, sehingga masyarakat mengartikan buruh sebagai pekerjaan “rendahan”. Anggapan ini, baik disadari atau tidak, juga berpengaruh pada kesejahteraan buruh: timbulnya rasa kurang percaya diri dan tidak aman apabila memperkenalkan status pekerjaannya pada rekan ataupun saudara. Tak heran apabila mereka memilih untuk diam atau bahkan menutup-nutupi status pekerjaannya sebagai seorang buruh.

Menilik pada indikator rata-rata upah minimum buruh, besarannya masih rendah, yakni di bawah Rp 3 juta per bulan. Tak ada separuh dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia bagi buruh yang memiliki upah minimum di atas  Rp 3 juta per bulan. Di wilayah Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah bahkan mendapatkan upah minimum di bawah Rp 2 juta per bulan. Di Ponorogo sendiri, Upah Minimum Kabupaten (UMK) saat ini adalah Rp 2.235.311,00.

Sistem pengupahan bagi buruh yang asal-asalan menjadi masalah mendasar penyebab makin tertekannya posisi buruh saat ini. Hal ini berkaitan dengan pasca berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, yakni UU Nomor 6 Tahun 2023. Memang, setiap tahunnya gaji buruh mengalami peningkatan. Namun, gaji buruh juga tidak berimbang dengan kenaikan harga bahan pokok di setiap tahunnya.

Di samping itu masifnya penggunaan teknologi membuat posisi buruh kian terpinggirkan. Tekanan PHK mengancam keberadaan buruh lantaran teknologi dinilai lebih efektif dan efisien bagi sebuah perusahaan. Munculnya teknologi-teknologi baru menggeser eksistensi buruh dengan Artificial Intelligence (AI) yang lebih menguntungkan. Sehingga, banyak dari pekerja kehilangan pekerjaannya setelah terjadi kemajuan teknologi.

Selain upah, alasan lain mengapa buruh disebut belum sejahtera ialah minimnya kepemilikan jaminan sosial. Melansir dari data BPS 2021, baru sekitar 36,8% pekerja di sektor industri yang memiliki jaminan sosial yang meliputi jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

Di sektor jasa, kepemilikan jaminan sosial bagi para pekerjanya mencapai 49,4%. Bisa disimpulkan, bahwa mayoritas buruh industri harus menjamin keselamatan dirinya sendiri jika terjadi suatu musibah, baik pemutusan hubungan kerja, sakit, hingga kematian. Situasi sulit seperti ini makin memojokkan posisi buruh, bersamaan dengan ketidakadilan upah yang mereka terima.

Mengingat masih banyak yang harus dibenahi agar buruh bisa mendapatkan kesejahteraannya, sejatinya peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberi jawaban dan tindakan. Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap nasib dan kesejahteraan buruh masih belum memadai. Dukungan dari publik juga belum sebegitu berpengaruh untuk memberikan perhatian yang cukup bagi buruh. Bagaimanapun, buruh merupakan aset bangsa yang berjasa dalam keberlangsungan industri dan perekonomian di negeri ini.

Para buruh berhak mendapatkan kesejahteraannya, mendapat pekerjaan yang layak, rasa aman, jaminan sosial, dan keadilan. Sebagai pihak yang turut prihatin atas kesejahteraan buruh, perlu juga memberikan tindakan yang bisa mengurangi narasi-narasi buruk tentang buruh agar tidak makin menjadi. Sehingga, hal ini dapat berbanding lurus dengan harapan-harapan agar kabar indah segera terwujud bagi para buruh. Selamat Hari Buruh.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.