Iklan Layanan

Cuplikan

Jamu Jati Kendi, Rumus Hidup untuk Menjaga Hawa Nafsu

 

(Sumber gambar: http://id.pinterest.com/)

Esai Oleh: Ubaidillah

Ada peribahasa Jawa yang berbunyi kebat kliwat gancang pincang yang artinya suatu pekerjaan yang dilakukan tergesa-gesa (kemrungsung) pasti ada yang terlewatkan dan hasilnya tidak akan baik. Peribahasa ini memberi pesan kepada kita agar menjaga diri sendiri dan selalu berhati-hati. Jika tidak, maka akan celaka. Meskipun terlihat mudah, sikap hati-hati sangatlah sulit untuk diimplementasikan.

Kemudian penulis pun teringat dawuhipun (ucapannya) guru ahli gerak di daerah Kediri dan untuk kedua kalinya, saat penulis menjadi santri di sebuah pesantren daerah Ponorogo, penulis mendapatkan ingatannya kembali. Pesan tersebut yaitu jamu jati kendi. Jamu jati kendi merupakan sebuah rumus untuk menjaga diri sendiri. Kurang lebih, makna dari pesan tersebut seperti berikut.

Jamu jati kendi berarti: jaga mulut, jaga hati, kendalikan diri. Yang pertama adalah jaga mulut. Kenapa mulut harus dijaga? Karena banyak masalah yang ditimbulkan oleh mulut, baik itu disengaja maupun tidak. Bahkan permasalahan yang besar pun bisa disebabkan karena ucapan yang tidak dijaga.

Sebagai contoh akibat dari salah perkataan yakni, seorang da’i atau penceramah yang mengatakan bahwa aliran A benar, sedangkan aliran B itu salah. Apabila aliran B itu tidak terima, jelas akan timbul masalah yang tidak diinginkan. Hanya persoalan mengatakan selamat hari raya untuk beda agama saja sudah menjadi masalah, apalagi hingga penghinaan agama. Lebih-lebih lagi sampai mengkafirkan orang lain. Karena itulah, menjaga apa yang keluar dari mulut (perkataan) itu perlu. Ingat! Mulutmu adalah harimaumu dan lidahmu itu setajam pisau.

Selanjutnya adalah menjaga mulut dari sesuatu yang masuk kedalamnya. Maksudnya ialah, apa yang masuk ke dalam mulut kita entah itu makanan atau minuman, bahkan hingga yang digemari banyak orang seperti rokok, harus jelas asal usulnya dan baik buruknya. Manusia sudah dibekali dengan akal sehingga mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Jika manusia memakan apa saja, baik itu hasil curian hingga hasil korupsi uang rakyat, lalu apakah ia ingin disamakan hewan yang bahkan mau memakan bangkai dari temannya sendiri? Apa gunanya akal yang dimilikinya sehingga tidak memikirkan apa yang ia makan dan akibatnya? Orang yang tidak memperhatikan baik buruknya makanannya akan seperti binatang. Binatang tidak mempunyai akal sehingga tidak dapat memikirkan apa yang ia makan.

Yang kedua adalah jaga hati. Ada sebuah ungkapan, hati-hati dengan hati. Ungkapan ini bukan tanpa sebab karena hati merupakan tempatnya semua perkara. Dalam hati tersimpan berbagai jenis perasaan; senang, sedih, marah hingga cinta. Semua itu baik, jika dalam kondisi yang pas atau sewajarnya. Akan tetapi yang patut digaris bawahi ialah jika perasaan itu hilang atau berlebihan, maka akan berakibat buruk bagi kita. Misal perasaan marah yang berlebihan, pasti akan memicu pertengkaran atau perasaan cinta yang berlebih kepada manusia hingga tidak memedulikan kondisi dirinya sendiri.

Kalian pasti ingat bagaimana cerita antara Qais dengan Laila. Kisah cinta yang indah antara sepasang kekasih yang terhalang orang tua untuk menjalin cintanya ke jenjang selanjutnya. Karena besarnya cinta Qais kepada Laila, ia rela diinjak-injak, diludahi, dihina, dipukuli bahkan rela mati hanya untuk bertemu dengan kekasih hatinya. 

Selain itu, sebagai umat Islam sudah menjadi kewajiban kita untuk berpuasa Ramadhan. Maka, sudah seharusnya kita berpuasa raga, batin juga pikirannya. Pada siang hari, kita harus menjaga hati agar tidak tergoda dengan es krim yang lumer-lumer. Saat ngabuburit kita harus menjaga hati dari banyak cobaaan seperti es buah yang menggoda, buah-buahan segar, bahkan mbak-mbak cantik yang lewat atau cogan-cogan yang berkeliaran. Sebab seharusnya yang berpuasa tidak hanya raga kita yang menahan lapar, tetapi hati juga harus dijaga dari godaan-godaan hawa nafsu.

Untuk menjaga hati, kita harus menenangkan diri dari segala macam riuh dunia. Menjauhi perkara-perkara dunia yang dapat menipu diri ini. Berdiam diri, bertapa, yoga, bertahanus (menyendiri) dengan tujuan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Mengosongkan hati dari sesuatu yang ada di dalamnya kecuali Allah SWT. Manteb tekad, ngandel bandhel marang gusti.  Kepercayaan yang kuat, iman yang kokoh dan tekad bulat yang dituju hanya kepada Allah SWT. 

Selanjutnya, makna pesan yang terakhir adalah kendi yang berarti kendalikan diri. Artinya, dalam kondisi susah maupun senang, hati tetap harus merasa tenang karena yakin bahwa Allah SWT selalu bersamanya. Seperti kata-kata mutiara Jawa yang berbunyi: jeroning suko eling lan waspodo. Dengan ketenangan hati, kita akan mencapai kemuliaan dan ketentraman serta hidup dalam kebijaksanaan.

Kita harus bisa mengendalikan diri dalam berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi. Tidak peduli rintangan yang menghadang, dengan tekad yang bulat, kita maju menerobos demi tercapainya cita-cita yang luhur. Mencari kebebasan diri serta hati yang tenang dengan menyendiri atau bermesraan dengan Tuhan yang Maha Esa. Jangan sampai karena tidak bisa mengendalikan diri, kita seperti kacang yang lupa kulitnya yang lupa asal dan melalaikan kewajiban utama untuk menyembah Allah SWT.

Mari kita jadikan hari raya Idul Fitri tahun ini sebagai ajang untuk berbenah diri. Belajar dari pengalaman yang telah terjadi sebagai guru terbaik untuk bekal masa depan. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita menjaga apa yang seharusnya kita jaga, yang diberikan Allah SWT kepada kita. Sebagai manusia yang memiliki tugas menyembah Allah SWT, kita mempunyai sebuah tujuan yakni selamat di dunia hingga ke akhirat serta mendapatkan ridho Illahi dengan ketenangan hati dalam menghadapi cobaan kehidupan. 


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.