Iklan Layanan

Cuplikan

Kado Ultah dari Kakakku

id.pinterest.com

     Cerpen oleh: nrohma

    Aku terduduk di depan Madrasah Al Munawwaroh bersama teman-temanku setelah selesai pelajaran terakhir. Suara adzan Ashar berkumandang merdu. Aku terdiam sambil jari-jariku bermain di atas tanah. Aku mencoret garis-garis sebagai pelampiasan bahwa aku sedang berputus asa dengan pikiranku sendiri. Sejenak kukenang masa saat aku masih SMP. Saat itu usiaku masih 13 tahun. Kenangan 5 tahun lalu yang menjadi bagian diari terindah dalam hidupku.

    Diari 5 tahun lalu itu. Setiap akhir pekan aku selalu bermain bulu tangkis dengan kakakku, Mas Kholiq. Kami bermain di salah satu halaman gedung madrasah milik abah. Setiap sore di akhir pekan permainan bulu tangkis selalu ramai. Apalagi kang-kang santri yang menjadi supporter kami saat main bulu tangkis dengan model main ganda. Aku selalu berpasangan dengan Mas Kholiq. Sedangkan lawan main kami adalah Kang Hasan dan Kang Basri. Mereka berdua adalah teman dekat Mas Kholiq.

    Minggu ini kadang kami menang terkadang pula juga kalah. Tepatnya banyak kalahnya. Meskipun begitu permainan ini sempat membuatku berkeinginan menjadi atlet bulu tangkis. Karna aku dulu begitu mengidolakan pasangan pebulu tangkis Tontowi Ahmad dan Liliana Nasir. Aktivitas ini mejadi kegiatan favoritku. Di sela-sela kejenuhan dhohir batin di bawah asuhan abah yang serba displin terhadap banyak hal. Terutama yang menyangkut syariat agama.

     Suara supporter kang-kang santri menggema memenuhi halaman madrasah. Di antara sekian banyak laki-laki aku hanya seorang perempuan sendiri. Di lantai atas bangunan sebelah madrasah adalah asrama putri yang baru setengah jadi. Sehingga bagian beton atas digunakan untuk menjemur baju. Aku melihat beberapa mbak-mbak santri mencuri pandang untuk melihat permainanku atau mungkin ada yang berniat mengintip ketampanan Mas Kholiq atau mungkin kang-kang santri yang lain.

    Ada pula teman dekatku, Hapsari yang seumuran denganku mengintip terlalu jelas. Hingga aku melambaikan tanganku padanya. Permainan ini begitu seru di saat memasuki poin-poin akhir. Mas Kholiq memberikan servis  pada Kang Bisri hingga akhirnya kami mendapatkan tambahan poin. Aku mulai mengayunkan raketku untuk memainkan kok agar aku juga menambahkan poin tambahan. Dua menit menjadi detik-detik penentu akhir kami berempat berlomba merebut poin.

    Di saat terakhir Mas Kholiq memberikan smash keras dan tanda bahwa aku dan Mas Kholiq menang telak menghadapi Kang Basri dan Kang Hasan. Mas Kholiq memberikan tos padaku. Aku bergembira hingga loncat-loncat sambil mengeluarkan lidahku yang aku tujukan pada kedua teman dekat Mas Kholiq.

      Seiring berjalannya waktu, permainan itu terhenti. Di saat itulah masa-masa aku terpukul atas kepergian pelindungku, temanku, saudara, dan sumber tawaku. Mas Kholiq pergi begitu aku mendengar kemarahan abah yang keras. Aku mendengarnya begitu aku selesai ikut madrasah di sore hari. Aku mendengar tamparan dan ucapan menyakitkan hingga berujung kepergian Mas Kholiq.

    Di saat itu aku sendiri tidak tau menahu akan masalah apa yang sedang terjadi dan bagaimana bisa begitu. Air mataku mengalir pelan dan pilu. Sesak di dada. Begitu keluar dari ndalem aku melihat wajah Mas Kholiq yang merah dan darah yang keluar dari ujung bibirnya. Pipinya merah terlihat habis ditampar. Kakak-kakakku yang lebih tua diam membisu melihat Mas Kholiq. Umi menangis pilu melihat kejadian ini.

      Aku menghampiri Mas Kholiq di kamarnya. Dia memasukkan baju-bajunya ke dalam ransel kesayangannya. Kemudian dia menggendong ranselnya. Dia masih terdiam sambil menyeka sisa-sisa air matanya. Mas Kholiq berjalan menghampiri abah untuk mencium tangan tapi abah masih diam lama. Hingga akhirnya Mas Kholiq paham bahwa beliau tidak mau di-sowani.

    Kemudian Mas Kholiq mencium umi yang masih menangis tersedu. Mas Kholiq mencium penuh ta’dhim tangan umi. Umi melepas berat. Setelah berpamitan dengan kakak-kakak, kini giliran aku. Aku menagis, Mas Kholiq mengusap air mataku sambil memberi isyarat agar aku berhenti menangis. Dia berjalan menghampiri kedua temannya, memeluk mereka sambil membisikkan sesuatu. Kemudian berjabat tangan kas pertemanan mereka. Banyak santri yang menyaksikan kejadian ini.

    Saat Mas Kholiq pergi tanpa menoleh ke belakang kedua tangku mengepal sambil air mataku tak kunjung berhenti. Aku berlari kencang mengikuti Mas Kholiq yang sudah keluar gerbang pesantren. Di saat itulah Mbak Ziyana menarik tubuhku. Aku menangis kejer. Hatiku perih, lukanya terasa dalam hingga untuk sekian tahun lamanya aku tidak pernah tahu masalah Mas Kholiq. Efek enam tahun lalu menjadikan aku sosok yang dingin, cuek, tertutup, dan aku menjauhi seluruh saudaraku begitu juga abah dan umi. Aku hidup sendirian dalam dunia yang aku jalani. Aku tidak sekalipun perduli dengan kakak-kakakku dan adik-adikku. Aku tahu inilah yang selama ini membebani keluargaku.

    “Di beritahukan kepada seluruh santri atas nama Hasika Rumi untuk menuju ke kantor keamanan.”

       Aku menghentikan kegiatanku begitu mendengar suara pemberitahuan dari keamanan. Aku berlari menuruni tangga menuju kantor pengurus. Aku menantikan hari ini. Hari ulang tahunku dimana setiap tahunnya aku mendapat paketan dari Mas Kholiq. Menuju kantor keamanan, Mbak Ananda pembimbingku tersenyum melihat kegembiraanku. Dia menyerahkan sebuah amplop coklat dengan garis merah biru di pinggirnya. Aku berlari menuju tempat favoritku yaitu di bawah pohon flamboyan.

       Di balik senja berwarna merah jambu dan langit biru. Serta bunga flamboyan merah yang bunganya mulai berguguran, aku membuka amplop itu. Sebuah blank notebook. Aku membuka lembaran demi lembaran dengan terburu-buru mencari sesuatu dan aku menemukan sketsa wajahku di bagian acakan lembaran kertas. Sketsa itu tergambar aku yang mengenakan jilbab serta raket yang aku pegang di belakang kepalaku. Gambar kok memenuhi gambarku yang tersenyum ceria. Aku menangis haru dengan sketsa Mas Kholiq. Aku menarik amplop coklat dan mengeluarkan amplop yang berisi surat.

    Assalamualaikum…
    Adikku Hasika Rumi, pemilik senyum manis di balik malam yang indah.  Bagaimana kabarmu adikku? Maaf ya kadonya telat sehari di hari ultahnya adik. Mungkin pak posnya belum siap untuk melihat senyum ayumu dik. Di usia Hasika yg ke 18 semoga ujian madrasah di pesantren lancar dan tahun ini lulus. InsyaAllah impian adik untuk kuliah dapat terkabul. Serta dapat ridho Abah dan Umi.
Mas di sini baik alhamdulillah sehat dan semua urusan mas lancar. Terima kasih sudah dengerin permintaan mas. Sebenarnya mas kangen sanget. Sanget lan banget. Tapi, mas belum bisa ketemu adik. Ada banyak pertimbangan dan alasan dik. Mungkin mas belum siap dan mantep untuk menghadapi abah.
   Salam juga ya buat umi dan buat mas-mas dan adik-adiknya mas. Insyaallah mas sowan kok.
    Wassalamualaikum…


     Aku peluk surat singkat Mas Kholiq. Aku menangis, tapi juga bahagia. Setiap ulang tahunku terasa istimewa karena surat dan kadonya Mas Kholiq. Karena obat rinduku adalah setiap ulang tahunku.

     Namun aku berhenti mengirim surat ke Mas Kholiq. Saat itu aku mengirim surat dan dapat balasan untuk tidak mengiriminya surat-surat lagi. Sebagai ganti rindu kami adalah sepucuk surat dan kado dari Mas Kholiq yang aku terima setiap tahunnya. Itu pun aku juga tidak diperbolehkan membalas suratnya. Itu janjiku. Meski ingin tapi aku harus menahannya.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.