Iklan Layanan

Cuplikan

Bukan Negara Kesatuan Lagi, Tapi Negara Kepolisian Republik Indonesia

   
            nakita.grid.id
            Opini Oleh : Syamsulhadi

    Anjing identik dengan dengan sifatnya yang galak. Di samping itu anjing juga memiliki sifat taat kepada tuannya. Maka dari itu tuannya menempatkan anjing di halaman rumah, untuk menjaga rumahnya agar aman. Namun nampaknya anjing yang satu ini sudah tidak taat lagi sama tuannya, mungkin sudah bosan menjadi penjaga, justru malah berbalik menggigit tuannya, ia ingin duduk di sofa yang empuk, sehingga bisa menikmati fasilitas mewah sesuka hatinya.

    Mungkin itu analogi yang pas untuk mencerminkan fenomena pemerintahan pada saat ini, yang menempatkan polisi aktif menjadi penjabat plat merah. Secara tidak langsung tradisi lama (Orde Baru. Red)  kembali lagi. Untuk mensarahkan lebih dalam analogi tersebut, penulis mengajak pembaca untuk flashback dari dinamika politik angkatan senjata era Presiden Soeharto hingga sekarang.

    Pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) angkatan militer atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menduduki jabatan yang strategis. Selain bertugas untuk keamanan negara, ABRI juga berperan untuk memegang kekuasaan dan mengatur negara. Karena ada peran ganda militer, maka gagasan tersebut dijuluki sebagai Dwi fungsi ABRI. Pada masa itu, ABRI diberi kedudukan politik, terlebih lagi ditempatkan di kursi parlemen, tak lain dan tak bukan kekuatan ABRI di parlemen dijadikan lokomotif untuk melanggengkan kekuasaan pada masa Orde Baru yaitu Presiden Soeharto yang sudah menjabat sebagai presiden selama puluhan tahun.

    Namun keberadaan Dwi fungsi ABRI pada waktu itu, sangatlah tidak berpihak kepada masyarakat, karena gerak dan suara rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan kritikan kepada pemerintah sangatlah dibatasi. Sehingga banyak aktivis yang mengkritik tajam pemerintah malah ujung-ujungnya harus berurusan dengan orang-orang ABRI. Bahkan sampai diculik dan akhirnya menghilang, bak ditelan bumi. Seperti kasus Widji Tukul, Marsinah, penembakan mahasiswa Trisakti dan masih banyak yang lainnya.

    Militer yang katanya menjaga kestabilan ekonomi, sosial dan Politik nyatanya cuma omong kosong belaka. Secara sporadis kerusuhan dimana-mana, dan puncaknya pada tragedi 1998 mahasiswa menggruduk gedung parlemen, menuntut kestabilan ekonomi karena krisis moneter yang berujung lengsernya Presiden Soeharto kemudian runtuhlah rezim Orde Baru.

    Setelah runtuhnya Orde Baru, pemerintahan Indonesia bertransformasi menjadi Orde Reformasi, kemudian pada pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur) melakukan sejumlah perubahan, salah satunya perubahan di tubuh angkatan bersenjata. Dilansir dari laman Tirto.id Gus Dur melakukan sejumlah reformasi ABRI. POLRI dipisahkan dari TNI, kemudian doktrin Dwi fungsi ABRI dicabut yang implementasinya melepaskan peran sosial-politik TNI.

    Kini era reformasi berjalan, sudah terhitung 22 tahun reformasi bergulir. Pergantian pemimpin mulai dari BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudoyono sampai pada masa sekarang yaitu era Joko Widodo. Namun pada pemerintahan Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi ini, seolah-olah budaya Orba kembali lagi, khususnya dalam eksistensi angkatan bersenjata.

    Nyatanya pada masa pemerintahan Jokowi sekarang, banyak perwira aktif yang menduduki jabatan di Kementerian Hukum dan Ham, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Tenaga Kerja, juga Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Beberapa diantaranya merangkap menjadi komisaris perusahaan plat merah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Ditambah lagi dengan pengangkatan perwira polisi aktif yang menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini dianggap gagal memberantas tikus-tikus berdasi di Indonesia.

    Padahal dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 28 ayat 3 mengatur, bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari kepolisian, adanya peraturan tersebut sudah sangat jelas, polisi aktif dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian terlebih lagi ber plat merah.

    Adanya fenomena tersebut mengindikasikan pemerintah menggunakan kepolisian sebagai tameng mengendalikan kekuasaan yang berpeluang besar memicu pelanggaran HAM, hal itu tidak omong kosong, tebukti penyiraman air keras Novel Baswedan, anggota kepolisan menjadi tersangka atas insiden tersebut, walaupun kasus tersebut ada dramatisasi yang begitu menjijikkan. Kita masih ingat demonstrasi penolakan RUU KPK dan RKUHP, arogansi aparat masih saja terjadi dan banyak demonstran yang terluka parah, bahkan jurnalis ikut menjadi korban.

    Mestinya pemerintah sekarang kembali bercermin pada pemerintahan Orba, dengan Dwi fungsi ABRI nya pemerintah menjadi militeristik dan sangat merugikan masyarakat. Kemudian bercermin lagi pada pemerintahan Filipina. Dilansir dari Tempo.co pemerintahan Filipina sangat merangkul erat angkatan bersenjata yang mengakibatkan rakyat menjadi korban, dalam kasus melawan narkotika misalnya, puluhan ribu orang tewas ditembak polisi tanpa melalui jalur hukum terlebih dahulu. Hal semacam itu sangatlah berbahaya untuk kestabilan sipil Negara Indonesia.

    Harusnya pemerintah kembali menempatkan peran angkatan bersenjata sesuai amanat undang-undang dan tidak mengembalikan budaya Orde Baru kembali lagi. Kalau pun pemerintah tetap membiarkan atau memberlakukan kebijakan tersebut, terlebih lagi dijadikan tameng bahkan Counter attack terhadap rakyat yang mengkritisi pemerintah. Fix Negara ini sudah tidak layak lagi disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetapi lebih pantas disebut Negara Kepolisian Republik Indonesia.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.