Iklan Layanan

Cuplikan

Mataraman Bergerak Membincang Permasalahan Buruh


    lpmalmillah.com-Selasa, (03/12/19) telah diadakan diskusi publik oleh komunitas yang mengatasnamakan Mataraman Bergerak dengan tema "Komoditi Objek Rezim Otoritarianisme: Meningkatnya Represifitas Negara Terhadap Suara Demokrasi Dan Lahirnya Kebijakan Yang Menindas Rakyat Kecil Terutama Buruh Dan Buruh Tani." Diskusi ini dihadiri oleh beberapa elemen yang cukup vokal terhadap masalah – masalah yang ada dalam lingkup buruh dan buruh tani. Acara ini dimoderatori oleh Lohanna Wibbi Asiddi (Sekjend PPMI DK Madiun) dengan narasumber Aris Budianto (Kasbi Madiun), Nur Habib (Solo Bergerak), dan EM Khoiri (Omah Shoro Institute). Peserta diskusi dari berbagai organisasi yang ada di Ponorogo dan sekitarnya satu-persatu memenuhi Warung Kopi Djangkrik malam itu.

    Aris Budianto selaku pendiri Kasbi Madiun pada tahun 2013 mengangkat tema Negara di atas rakyatnya. Negara mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang cukup membuat para rakyat kecil merasa sengsara di rumah sendiri. UMK di Karesidenan Madiun merupakan yang terendah dibandingkan dengan daerah lain. Hal tersebut tidak serta merta mencukupi kebutuhan para buruh. Karena pemberian upah dari perusahaan bahkan lebih kecil daripada UMK yang ditetapkan oleh pemerintah. Aris mengatakan, “UMK di Ponorogo pada tahun 2019-2020 ini hanya Rp. 1.900.000,-. Itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga.”

    Ia mengatakan, keadaan tersebut diperparah dengan “todongan” BPJS. Masyarakat disuruh untuk iuran untuk mendapatkan pelayanan BPJS. Padahal dalam UUD1945 Pasal 28H menjelaskan bahwa setiap warga negara harus mendapatkan pelayanan kesehatan dan sosial yang baik. Seperti yang diutarakan oleh Aris.“Harusnya itu (BPJS.red) merupakan tanggungan negara. Tapi kalau iuran itu namanya jaminan sosial. Kalau saya membahas akan secara kasar, ini namanya perampokan. Rakyat kecil  hanya berupah rendah masih harus membayar kepada negara” ujarnya.

    PP No.78 Tahun 2015 juga merupakan bentuk represif pemerintah terhadap masyarakat kecil terutama buruh dan buruh tani. Karena pada PP yang sebelumnya kriteria kelayakan upah didasarkan pada 60 acuan. Namun dipangkas menjadi hanya pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kemampuan perusahaan.

    Selain tindakan rezim yang represif terhadap masyarakat kecil, perlakuan perusahaan juga menyumbang kesengsaraan untuk masyarakat kecil. Seperti saat buruh konsolidasi tentang upah yang di bawah UMK, pihak perusahaan akan berdalih akan merugi. Padahal perusahaan membuka cabang di mana-mana. Dengan adanya PP No.78 Tahun 2015, Korporat dapat semena-mena memberikan upah kepada buruh tanpa memandang kelayakan upah yang diberikan sehingga banyak buruh yang hidupnya terbebani.

    Di samping itu, sepanjang jalan Madiun yang mengarah ke Surabaya sudah banyak industri dibangun di atas tanah persawahan yang produktif. Hal ini menyebabkan banyak dari buruh tani yang kehilangan satu-satunya mata pencahariannya.

    Jeratan kombinasi korporat dengan rezim juga mencekik rakyat di perbatasan tiga kabupaten (Ponorogo, Magetan, dan Wonogiri) tepatnya di Desa Sayutan, Parang, Magetan. Khoiri menyampaikan, buruh tani di sana memiliki kondisi yang tak lebih baik. Terdapat lima titik tambang pasir galian tipe C. Hanya satu tambang mrngantongi izin resmi, sedangkan tambang lain tidak jelas legalitasnya.Tambang tersebut menyebabkan suplai air terhambat. Hal itu mengakibatkan hasil penjualan dari panen selalu tidak membawa keuntungan."Jangankan untuk mengairi sawah, untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat sudah susah," ujar Khoiri.

    Mahasiswa sebagai suara dari masyarakat tidak tinggal diam melihat nasib rakyat kecil terutama buruh dan buruh tani, seperti yang terjadi di Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Habib bercerita, PT RUM yang berada di Sukoharjo didatangi oleh sekumpulan mahasiswa Surakarta. Perusahaan tersebut didatangi karena mengeluarkan limbah buangan yang menimbulkan bau tidak sedap. Hal tersebut membuat masyarakat resah.

    Ia melanjutkan, sebelumnya masyarakat sudah meminta pihak PT. RUM untuk menghilangkan bau busuk limbah, namun tidak ada respon positif dari pihak PT. Akhirnya mahasiswa turun untuk menyuarakan aspirasi rakyat lebih keras kepada PT. RUM. Tak ayal, aksi tersebut mendapat respon langsung dari Bupati Surakarta. “Setelah aksi, bupati menerima tuntutan mahasiswa dan membuat surat berisi pembekuan perusahaan selama 18 bulan dan memperbaiki pembuangan limbah berbau busuk tersebut," tutur Habib.

    Setelah mendapat surat tersebut, PT tak mengindahkan dan seakan enggan mengangkat tangan. Bau busuk limbahpun lebih menyengat daripada sebelumnya. Akhirnya warga menuntut PT. RUM ditutup,namun sampai sekarang PT. RUM masih tetap beroprasi.

    Acara tersebut ditutup oleh moderator pada pukul 22.25. Peserta diskusi kembali disibukkan dengan kegiatannya masing-masing.

Reporter: Refo, Ali

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.