Merayakan Keberagaman dalam Festival of Diversity UKM SEIYA
Penyampaian materi oleh narasumber |
lpmalmillah.com- Senin (29/10/2019) bertepatan dengan hari Sumpah
Pemuda, UKM SEIYA IAIN Ponorogo menggelar Festival of Diversity. Untuk pertama kalinya, UKM SEIYA
bekerjasama dengan Indika Foundation yang menyelenggarakan seminar nasional
bertajuk “Dialog: Antar Iman, Keberangaman dan Berpikir Kritis”. Acara ini
berlangsung di Graha Watoe Dhakon dengan menghadirkan narasumber dari berbagai
kalangan tokoh lintas agama dan kepercayaan. Mereka adalah Mukhlis Daroini
(Sastrawan & Dosen IAIN Ponorogo), Sunartip Fadlan (Pengasuh Ponpes
Al-Mutawakil), Sumihar Panjaitan (Wakil ketua pengurus Gereja Bamag
Kabupaten Ponorogo), Yosep Sukarni
(Wakil ketua FKUB Kabupaten Ponorogo), Bintang Asiana (Tokoh Agama Budha),
Dharmanto Soeryanegoro (Ketua DPD MLKI), Irfan. L. Sahirndi (Pengasuh PP di
Cianjur).
Sesi pertama dimulai 08.00 WIB diawali
dengan sambutan oleh Agus Wicaksono sebagai perwakilan dari Indika Foundation.
Selanjutnya, acara dibuka oleh Vivi Velanita Wanda Damayanti selaku moderator.
Pemateri pertama, Mukhlis Daroini menyampaikan bahwa untuk membangun kedamain
dalam pluralitas harus berdialog dengan diri sendiri, salah satu caranya dengan
mendamaikan egosentris dalam diri. “Untuk
membangun kedamaian dalam pluralitas ya harus berdialog. Pancasila adalah hasil dari keberhasilan
mendialog-kan keberagamaan secara sepakat dan mufakai,” tutur Mukhlis saat menyampaikan materi.
Pada sesi selanjutnya materi disampaikan
oleh lima narasumber yang merupakan tokoh lintas agama dan kepercayaan yang ada
di Ponorogo. Yosep selaku pemuka agama Katolik berpendapat bahwa sikap apatis
merupakan penyebab konflik dalam keberagaman. “Maka, sesuai dengan agama yang dipercayai beliau (Mukhlis Daroini,
red), salah satu cara untuk menyikapi hal
tersebut adalah dengan berdialog disertai sikap menghormati dan ketulusan,”
ujar Yosep.
Hal serupa juga disampaikan oleh
Panjaitan selaku pemuka agama Protestan. “Sikap
gotong royong dan kerukunan dalam berkehidupan akan membawa umat menuju
kedamaian,” terangnya.
Begitu pula dengan Sunartip yang
mewakili dari agama Islam. Ia menyampaikan tentang puncak agama. “Sesungguhnya puncak agama itu adalah satu
(tauhid),” ucapnya saat menyampaikan materi.
Satu-satunya narasumber wanita yang
berasal dari Sampung, Bintang Asiana menyampaikan konsep duka dalam ajaran
Budha. “Duka itu senang dan penderitaan
yang bergantian. Jika sudah tahu apa
penyebabnya, dirinya akan berusaha melenyapkan duka tersebut dengan mengerti,
berpikir, berusaha benar, dan meditasi mencari Budha,” jelas Bintang.
Sedangkan narasumber terakhir pada sesi
kedua ini adalah seorang penghayat kepercayaan yakni Dharmanto Soeryonegoro. Ia
memaparkan mengenai Memayu Hayuning
Bawono yang berarti memperindah keindahan dunia. “Memayu Hayuning Bawana itu
maksudnya bermasyarakat dengan baik dan menjunjung tinggi adat-adat yang
berlaku di sekitar,” ucapnya.
Irfan, selaku narasumber terakhir
menyampaikan materi mengenai berpikir kritis sebagai puncak sesi pada seminar
kali ini. Irfan menuturkan, berpikir kritis merupakan masalah yang begitu
polemik di Indonesia. “Penyebabnya adalah
miskonsepsi pedagogi yang berlangsung lama di negeri ini, bahwa guru kebanyakan
hanya mendoktrin siswa untuk menghafal, menghafal dan menghafal,” tutur
Irfan.
Namun dalam pemecahan suatu masalah,
siswa tampaknya sedikit kesulitan karena kurangnya skill yang diajarkan. “Akibatnya,
banyak siswa yang hanya mengandalkan google-minded dalam mencari solusi, supaya
tidak ribet, namun itu cara yang kurang tepat,” tambahnya.
Ia melanjutkan, saat ini kebebasan
berekspresi sangat terbuka, termasuk ekspresi dalam beragama dan berkeyakinan. Namun
jika tanpa fondasi sikap kritis yang tepat, jelas tidak akan setimbang. “Tentu ini bukanlah tugas yang mudah, tetapi
kesadaran dalam diri hendaknya mulai digalakkan, kolaborasi antara banyak pihak
mulai dari tenaga pendidik dan utamanya generasi muda Indonesia,” ujarnya dalam penutup.
Dani Nirantara selaku ketua panitia
Festival of Diversity mengatakan harapannya. “Saya berharap kedepannya dapat kembali bekerjasama dengan Indika
Foundation dan membuat acara yang lebih besar lagi,” tuturnya.
Seminar kali ini menuai kesan yang
positif, salah satunya dari Ruli Rojiatul Hamidah Mahasiswi jurusan Tadris
Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FATIK) IAIN Ponorogo. “Saya setuju dengan terselenggaranya acara
seperti ini. Dimana acara ini akan memberi dampak pada diri kita untuk lebih
bertoleransi dan kritis dalam memaknai keberagaman,” jawabnya saat ditemui
oleh crew aL-Millah.
Siswi SMK PGRI 1 Ponorogo, Amanda
mengaku senang dengan adanya acara ini. “Saya
cukup senang karena belum pernah mengikuti acara seminar seperti ini, terlebih
ini lintas agama,” tuturnya.
Reporter: Ervin, Refo, Ika, Zelfany
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.