Iklan Layanan

Cuplikan

Kain Merah Abimanyu [Cerpen]



Sejak Abimanyu mengenal orang-orang itu, Ningsih tak pernah merasa tenang. Ada sesuatu yang mengganjali hati seperti duri yang tak mau dicabut. Terlebih saat Abimanyu pulang dengan membawa segepok uang dan memberikannya pada Ningsih setiap hari, setiap matahari hampir turun ke peraduannya. Tak hanya uang, Abimanyu juga bermurah hati membelikannya gincu dan pakaian bagus, meski Ningsih tak pernah memintanya.

“Biar mbak yu cantik dan ada yang mau melamar.” Ujar Abimanyu singkat saat ditanya. Lelaki dua puluh tahun itu hanya tersenyum ketika ditanyai lebih jauh.

Matahari belum sampai menyentuh horizon barat ketika Abimanyu mendadak pulang. Ia memberikan Ningsih selembar kain merah yang ia bawa entah darimana, untuk kakaknya cuci. Perempuan itu hanya mengernyit heran, sampai lupa pada kegiatannya menyapu pelataran. Sambil menerka kain merah tersebut, Ningsih bertanya-tanya dan tak membiarkan Abimanyu lepas dari hadapannya.

“Aku sedikit heran dengan pekerjaanmu akhir-akhir ini, dik. Kelayapan seperti anak musang. Pekerjaan saja tak jelas. Tahu-tahu pulang bawa uang atau beras.” Sindir Ningsih sambil mencubit.

“Ah. Mbak Yu bisa saja. Tapi nasib kita sekarang masih lebih baik, daripada saat aku jadi kuli di pasar dulu. Pekerjaanku Cuma membikin teh dan bersih-bersih. Orang-orang baik itu menolong kita saat harga sembako sedang gila-gilanya.” Ujar Abimanyu enteng, sambil menyeruput wedang ronde buatanku. Siapapun tak akan menyangka, penampilan Abimanyu yang lebih mirip preman pasar memiliki pekerjaan yang membuat semua orang rela bersujud untuk mendapatkannya. Meskipun hanya pembuat teh dan tukang sapu.

Tapi Ningsih tidak bisa membungkam jejerit hatinya yang kian gelisah. Di sisi lain, dirinya membenarkan ucapan Abimanyu. Jika dahulu mereka bersusah payah dan harus berhutang sana sini untuk sekedar makan, kini tampaknya kecukupan yang mereka miliki membuat mereka berani mencemooh nasib. Periuk tak pernah absen diisi nasi. Ayam goreng mulai sudi menjamah meja makan. Hutang perlahan dilunasi.

Ketika Ningsih membentang kain merah lebar-lebar, gambar palu dan arit tercetak mentereng di bagian tengahnya.
Soekarno dikabarkan dekat dengan PKI, begitulah yang Ningsih dengar dari radio tengkulak ikan di pasar. Sementara perang dingin berkecamuk antara blok barat dan blok timur. Mahasiswa mengganas seperti kawanan singa, menuntut presiden untuk memecat menteri korup, memperbaiki nilai rupiah yang longsor, dan membubarkan PKI.
Kegelisahan Ningsih menemui titiknya.
***
Kabar lain muncul seperti badai yang mengamuk, menggoncang hati Ningsih dan rakyat Indonesia lain. Kabar keganasan PKI diserukan lewat radio berulang kali. Menghitung Panglima yang dibunuh dan dibuang di Lobang Buaya. PKI dikutuk oleh penyiar radio sebagai kafir, predator, partai sundal.
Ningsih berlarian menyusuri jalan becek pasar ikan. Langkahnya terpiting oleh roknya yang membebat. Kekhawatirannya bertambah seiring langkah di atas jalan penuh bangkai ikan yang ia lalui. Sesuatu yang ada di dalam dada menggumpal hingga menyesakkan jantung. Tak Ningsih sadari, bibirnya berseru membisikkan nama Abimanyu.
Perempuan itu takkan pernah tahu.
Perempuan itu takkan pernah bisa menemukan adik semata wayangnya.
Perempuan itu takkan pernah tahu pada alur sandiwara Tuhan yang mencandai ketakutannya.

Bila Ningsih bertanya pada para tengkulak di sudut pasar, maka ia juga takkan pernah menemui jawaban. Pria-pria tengkulak akan berkata, orang-orang bertubuh kekar dan berbaret hijau menangkapi Abimanyu dan kawan-kawannya yang bekerja di tempat orang-orang PKI. Bersama orang-orang biasa, mereka menyeret Abimanyu ke truk-truk seperti hewan liar. Tentara berbaret hijau itu akan membawa mereka jauh dari sini dan menggiring mereka menemui takdir, kata mereka. Parang-parang akan berkuasa di sana dan leher akan jadi persembahannya.

Sayang, perempuan itu takkan pernah mengetahuinya. Ia akan pulang ke rumah sendirian dengan hati yang tak penah lega, dan bendera merah yang terus didekapnya. (Chandra.crew)

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.