Anti Money Politik
Oleh
Umi Ula
Kali ini aku memesan kopi pahit sembari duduk diatas
tikar yang ada mejanya. Aku sendiri ditemani asap rokok yang
sedikit kutiupkan untuk menghempas kesepian dan kepenatan setelah semalaman aku
berpikir keras perihal negeri ini.
Disudut kanan, kulihat dua pasang mata laki-laki bertatapan seperti
sedang membicarakan suatu hal yang penting. Kulihat kembali disebelah kiri,
bapak-bapak tertawa riang mendapat jatah uang makan
sebulan, terdengar suaranya keras sampai aku ikut meringis dibuatnya.
Aku heran mengapa warung ini begitu ramai, apa yang
sedang mereka bicarakan sepagi ini. Setelah kopiku datang, lantas kutanyakan
kegelisahanku pada penjaga warung itu. “Kenapa begitu ramai pak? tak biasanya seperti ini.”
“Iya, pada bagi-bagi uang.” Jawabnya sambil berlalu.
Pikiranku belum sepenuhnya paham apa arti bagi-bagi uang.
Apa mungkin ini ada kaitannya dengan kejadian semalam?
Semalam, teras rumahku ramai orang, mereka bercerita
tentang pemilihan kepala daerah yang akan menjadi pemimpin kami. Ku dengar
calon nomor 3 lah yang unggul dan uangnya banyak, yang lain menyanggah nomor 1
lah pemimpin terbaik tapi nggak ada uangnya, ada lagi yang mengusulkan pilihlah
yang pakai uang karena itu sudah adat dan kewajiban katanya. Aku hanya tertawa
sembari memainkan catur.
“Nak, kemarilah!” Panggil Ayah di sela-sela aktivitasnya membaca buku di
kursi dekat teras rumah.
“Iya yah.”
“Jangan dengarkan mereka, dunia politik itu kejam nak, kau tak boleh terima uang saat kampanye, itu
uang yang dibuat agar dia menang jadi pemimpin. Pilihlah sesuai hatimu karena
itu memang hakmu, jika nanti kau memilih yang tidak sesuai dengan hatimu kau
akan menyesal jika dalam masa jabatannya dia tidak benar.” Jelas ayah.
“Lalu kenapa, saat kampanye besar-besaran para politikus
itu bilang anti money politik? Padahal di desa kami banyak yang dapat
uang dari mereka.” Tanyaku sembari menatap ayah mengepulkan asap rokoknya.
“Itulah tugasmu sebagai mahasiswa nak, penyambung lidah
antara masyarakat dan pemerintah.” Jawab ayah pergi menghampiri orang-orang yang berada
diteras rumahku.
Pikiranku semakin kacau. Andaikan saja aku tidak memilih
satupun dari mereka, Apa aku salah? Kan sama saja orang yang memilih juga
dengan imbalan uang. Tapi,
bagaimana nasib uang negara ini yang sudah dihabiskan bertrilyun-trilyun hanya
untuk mengadakan pemilu yang hanya dilaksanakan satu hari? Lantas, apa yang
harus aku perbuat sebagai mahasiswa? di kampus ku saja ada yang bermain belakang seperti itu,
meski tidak selalu dengan uang.
Ah,
bagaimana nasib negeri ini kelak? Anakku nanti, cucuku, cicitku. Apa mereka
juga pandai bersandiwara membohongi hatinya demi uang?
Malam
itu, pikiranku semakin kalut, kurebahkan tubuhku sejenak pada sofa ruang tamu
tanpa menggubris orang-orang ramai memanggilku dari luar. Hingga aku tertidur
dengan pertanyaan “anti money politik?”.
Gambar: seputarmakassar.com
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.