Iklan Layanan

Cuplikan

BUDAYA SEBAGAI PEMERSATU HETEROGENITAS WARGA DUSUN SODONG



BUDAYA SEBAGAI PEMERSATU HETEROGENITAS WARGA DUSUN SODONG
Oleh: Ariny Sa’adah






Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, budaya adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Selain itu pula menurut Andreas Eppink, budaya mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur sosial, religious, dan lain-lain ditambah segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Dari definisi yang dibangun oleh para tokoh tersebut dapat diambil pengertian mengenai budaya, yakni sesuatu yang lahir dan memengaruhi tingkat pengetahuan yang terdapat di pikiran manusia, serta diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Dilihat dari sifatnya, budaya itu bersifat abstrak.
Dikutip dari wikipedia.org bahwa perwujudan budaya manusia dalam keseharian dapat berupa benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Pengaplikasiannya berupa perilaku dan pola yang nyata seperti bahasa, perilaku sosial, religi, seni dan lain-lain. Semua itu tentunya dilangsungkan demi kemaslahatan manusia dalam melangsungkan proses hidup di masyarakat. Sehingga ada pernyataan yang berbunyi budaya adalah barisan fenomena manusia yang tidak dapat dikaitkan dengan warisan genetika.
Di sisi lain, budaya dipengaruhi oleh adanya keberagaman dalam suatu daerah. Masyarakat Dusun Sodong Desa Gelang Kulon kecamatan Sampung Kabupaten Ponorogo, menjadi potret kebhinnekaan secara nyata. Hal ini terbukti dengan dua keyakinan yang hidup secara berdampingan di benak warga, yakni Islam dan Budha. Kedua perbedaan tersebut tumbuh dengan harmonisnya, pun disertai budaya yang turut mewarnai perkembangannya. Beberapa kebudayaan yang berkembang di Sodong di antaranya adalah perayaan dua hari raya, sesaji punden, dan kesenian. Lantas, benarkah kebudayaan-kebudayaan tersebut yang selama ini melatarbelakangi kerukunan antar umat beragama di Dusun Sodong?

Waisak dan Idul Fitri, Dua Kali Perayaan Hari Besar untuk Bersilaturahmi
Waisak menurut wikipedia.org adalah salah satu hari raya umat Budha dari empat perayaan hari besar. Trisuci waisak diperingati atas beberapa anutan yakni kelahiran Pangeran Sidharta, hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan  hari sang Budha mencapai Nibbana (wafat). Sedangkan idul fitri adalah hari besar umat islam yang jatuh setiap tanggal satu Syawal (kalender hijriyah) dan menjadi hari perayaan umat muslim sedunia.
Dari kedua perayaan hari besar tersebut keunikan budaya muncul, dimana warga Dusun Sodong merayakan hari besar sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu ketika hari raya Waisak dan hari raya Idul Fitri. Maksud dari hal tersebut disebabkan oleh kesadaran saling menghormati antar umat beragama. Sehingga ketika perayaan hari Waisak sebagai hari raya Budhis maka umat islam turut merayakan, pun sebaliknya. Modifikasi perayaan dilaksanakan dengan anjangsana ke setiap rumah-rumah tetangga baik umat Muslim maupun Budha. Setiap rumah pun terbuka untuk semua warga ketika perayaan dua hari raya tersebut.
“Budaya silaturahmi juga dilaksanakan ketika hari raya waisak dan idul fitri. Rumah terbuka dan saling maaf-maafan,” jelas Suwandi, tokoh Budha setempat, ketika kami temui di kediamannya sebelah Vihara. Ketua RT setempat, Wahyudi, membenarkan perihal “dua kali” lebaran dalam setahun. “Jadi masyarakat di sini itu istilah nglebur dosanya dengan para tetangga ya dua kali,” jelasnya.
Perilaku ini mewujudkan suatu keterikatan kasih antar sesama manusia sebagai mahluk Pencipta. Tidak memandang ideologi dan keyakinan. Asalkan rukun dan tindak-tanduk terlaksana sesuai tujuan agama yakni perdamaian. Hal semacam itu sudah menjadi kultur sosial, yaitu (kebiasaan) perilaku antar manusia di tengah masyarakat yang dikembangbiakkan baik secara ritual maupun intelektual oleh mayoritas kelompok sosial dalam masyarakat. Kultur sosial sendiri sifatnya abstrak, namun membawa implikasi besar pada perilaku keseharian secara kongkret.

Sesaji Punden Sebagai Wujud Relasi Manusia dengan Alam Semesta
Selain budaya silaturahmi yang unik, juga terdapat budaya sesaji yang dilakukan pasca sholat Idul Fitri baik dari umat islam maupun Budha secara serentak.  Sesaji ini  digelar di Punden yang terletak di RT 02 RW 02 Dusun Sodong. Dilansir dari sabdalangit.com sesaji berasal dari kata saji, sajian, sesajian, maknanya sama dengan hidangan. Sesaji yakni sesuatu yang dihidangkan. Secara umum sesaji dibuat sebagai wujud sedekah. Sedekah tidak terbatas dilakukan pada antar sesama manusia, melainkan bisa dilakukan kepada tumbuhan, binatang, bahkan mahluk halus. Nilai esensial dari sedekah sendiri yakni bentuk nyata kasih sayang atau welas asih antar sesama mahluk penghuni jagad raya ini.
Sedangkan punden menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu bangunan atau tempat keramat yang sangat dihormati. Punden seperti yang tercatat di kamusparanormal.com merupakan bangunan yang dianggap suci oleh masyarakat setempat zaman dahulu bahkan berlanjut seterusnya. Sekaligus dijadikan tempat pemujaan terhadap leluhur serta dipercaya sebagai tempat singgahnya mahluk-mahluk lain penghuni semesta.
Sesaji yang dilaksanakan di punden tepatnya di Dusun Sodong adalah sebuah tradisi ritual yang secara turun temurun telah dilakukan oleh masyarakat setempat. Sesuai dengan definisi yang telah disebutkan, membuat kegiatan ini menjadi aktivitas wajib setahun sekali, yakni di bulan Syawal (kalender Hijriyah) tepatnya setelah sholat Idul Fitri. Sebagai tempat yang dihormati, punden ini dipercaya sebagai tempat manusia untuk menjalin relasi dan hubungan baik dengan alam dan mahluk lain.
Dalam hal ini Wahyudi kembali angkat bicara, bahwasannya sesaji yang dilakukan dua umat tersebut bukanlah penyimpangan. Bahkan menurut Suwandi, pelaksanaan ritual sesaji bukanlah untuk memuja punden ataupun roh halus, akan tetapi bertujuan memuwudkan keseimbangan alam. Suwandi menambahkan ritual ini hanyalah untuk berdoa selain di tempat sembahyang masing-masing, masjid dan vihara. Ia mengatakan, “Orang luar mungkin bilang kalau sesaji itu menyimpang dan tidak baik. Tapi sebenarnya tujuan warga kita melakukan ini hanyalah berdoa,” terang Suwandi.
Manusia perlu menyadari bahwasannya ia menjalani kehidupan ini tidaklah sendirian. Akan tetapi ada makhluk-makhluk lain ataupun kekuatan lain di bumi ini selain manusia. Tujuan lain dari sesaji tersebut adalah supaya alam tetap tentram dan Tuhan merestui hubungan manusia dengan alam. Ini juga merupakan bentuk kreativitas masyarakat akan kesadaran kosmologis bahwa manusia itu tidak hidup sendirian, akan tetapi ada kekuatan dan mahluk lain di sekitarnya yang wajib diyakini keberadaannya.
Apabila kegiatan ritual tersebut tidak terlaksana, masyarakat percaya bahwa bumi akan ditimpa musibah ataupun wabah penyakit. Hal ini bukanlah suatu hal yang keluar dari koridor kebenaran, akan tetapi bentuk penyampaian doa untuk alam semesta beserta isinya. Dari sini dapat dipahami bersama bahwa melestarikan budaya sesaji di punden bagi warga Sodong adalah bentuk prosedur panjatan doa kepada Yang Maha Kuasa. Doa merupakan permintaan hamba kepada Tuhan untuk keselamatan dan kebahagiaan bersama dalam menjalani aktivitas menghamba.

Kesenian Reyog Dan Karawitan, Sarana Menggalang Kerukunan
Selain kultur sosial yang mampu mengejawantahkan tingkah laku individu dan kelompok di masyarakat, terdapat kemenarikan lain pada jiwa penduduk Sodong, yaitu kesenian. Kesenian merupakan keindahan yang digemari oleh sejumlah masyarakat, termasuk warga Dusun Sodong. Karena seni mampu mempersatukan keberagaman menjadi kebersamaan. Reyog dan karawitan menjadi salah satu contoh nyata di Dusun Sodong.
Reyog “Singo Wono” yang dibentuk pada tahun 2016 lalu, menurut Kirmani selaku ketua RW 02, adalah model kampanye dari salah satu anggota DPR partai PAN (Partai Amanat Nasional), Sunarto. Kurang lebihnya ada 20 jiwa dari kalangan muda sampai tua warga Dusun Sodong yang turut serta menjadi anggota paguyuban Reyog tersebut. Antusiasme diwujudkan dengan meramaikan latihan di kediaman Yatno setiap Senin malam dan Jumat malam. Kirmani mengaku meskipun sering latihan, kondisi paguyuban masih terbilang baru, maka kemampuan pun masih sangat perlu dikembangkan.
Di sisi lain, Dusun Sodong juga memiliki seni karawitan yang sudah terlihat perkembangannya. Membaca dari sejarahnya, Wahyudi mengatakan bahwa seni ini sudah ada sejak lama. Akan tetapi sempat mati karena tidak ada yang menghidupkan, serta peralatannya pun terbengkalai, dan akhirnya banyak yang rusak. Pada tahun 2016, ketua RT Wahyudi beserta warga sekitar memrakarsai kembali seni peninggalan leluhur tersebut. Salah satu caranya adalah dengan memusyawarahkannya bersama pemerintah, sehingga mampu mencairkan dana untuk membeli lagi alat-alat yang rusak. Meskipun mendapat bantuan dari pemerintah, swadaya dari masyarakat pun dibangun untuk mencapai target.
Para pemain karawitan ini terdiri dari kalangan anak-anak dan orang dewasa serta orang tua. Selain itu terdiri dari tokoh-tokoh Islam dan Budha yang berbaur menjadi satu dalam kesenian ini. Bahkan pada bulan Mei 2017 lalu diadakan pentas yang disebut “pentas kebersamaan untuk tali silaturahmi. Dinamakan pentas kebersamaan karena pentas itu dipersiapkan dan dilaksanakan oleh kedua umat; Islam dan Budha. Bahkan dalam pentas seni juga menampilkan ciri khas masing-masing, seperti karawitan dengan lagu-lagu sutra Budha, lagu-lagu isami (sholawatan), dan lagu jawa yang dilengkapi dengan tarian-tarian.
Mengutip perkataan Wahyudi, “Lewat kesenian kita bisa mempersatukan masyarakat dari segi apapun,” ujarnya. Pernyataan yang lebih menyentuh lagi adalah ketika Wahyudi berasumsi bahwa mempersatukan warga dengan seni itu akan sangat membahagiakan. “Karena seni itu hiburan, maka mempersatukan warga dengan seni itu rasanya menyenangkan,” jelasnya.
Melalui seni masyarakat semakin mampu mempererat persaudaraan antar umat beragama. Ini sebagai ajang silaturahmi meski sebelumnya persaudaraan itu sebenarnya sudah terjalin sejak lama. Gotong royong membangun kesenian adalah langkah jitu untuk menerapkan masyarakat yang solid.
Kesadaran akan seni sebenarnya menunjukkan bahwa tingkat pola pikir masyarakat telah maju. Letak geografis di kaki gunung sebenarnya tidak melulu dihuni masyarakat yang kolot. Salah satunya terbukti di Sodong, kesenian dipercaya mampu mempersatukan perbedaan. Karena seni pada dasarnya adalah ilmu sehingga seni terjadi dalam proses peradaban manusia. Dengan seni, cinta dan kasih tercipta secara realita tanpa skeptisistik atau keragu-raguan.

Bhinneka Tunggal Ika Ciptakan Solidaritas Beragama
Berbagai kebudayaan yang tumbuh di Dusun Sodong telah mewarnai kehidupan sosial masyarakatnya. Pun di sana pluralisme terjalin secara harmonis. Heterogenitas latar belakang agama dijadikan keunikan dan kekayaan budaya sosial. Kesenian diklaim warga sebagai wadah pemersatu persaudaraan. Masyarakat hidup rukun berdampingan dan saling gotong royong untuk meringankan beban saudara sesama mahluk Tuhan. Di dusun inilah, multikulturalisme tumbuh subur dan merias indahnya keragaman dalam sebuah kesadaran akan persatuan. Lalu bagaimana dengan konflik yang tak berkesudahan di Indonesia yang selalu saja mempersoalkan perbedaan ideologi dan keyakinan?
Indonesia dengan heterogenitas masyarakatnya memunculkan banyak persepsi dan kontradiksi. Fenomena multikulturalisme di negeri ini selalu saja dipermasalahkan meskipun sudah menjadi asimilasi secara kultural dari nenek moyang terdahulu. Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang multisuku, multibahasa, multibudaya, multiras, itu semua bisa menjadi sebuah senjata ataupun pegangan super bagi negara. Karena telah kita ketahui bahwa keberagaman di negri ini mencirikan keunikan dan kekayaan bangsa dalam kancah dunia.
Seharusnya daerah-daerah lain di Indonesia belajar dari masyarakat Sodong. Mereka telah membuktikan, meski  terdapat di daerah pelosok namun mereka mampu menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini terwujud dengan pemahaman yang mendarah daging tentang solidaritas dalam beragama. Sehingga menciptakan bentuk masyarakat yang fleksibel. Konsep solidaritas kemasyarakatan tercipta di dusun ini. Ibnu Khaldun dalam bukunya “Mukaddimah” mengatakan tanpa solidaritas masyarakat mustahil terbentuk.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.