Iklan Layanan

Cuplikan

KOORDINASI DAN KINERJA PANWAS TERKESAN MINIM KONTRIBUSI




Oleh: Arini S.

 
Idealisasi republik mewajibkan pemilihan presiden –mahasiswa– melalui jalur pemilu raya. Pemilihan umum yang dilakukan oleh seluruh mahasiswa adalah bentuk dari penerapan demokrasi Pancasila. Tentulah ada badan atau lembaga khusus yang menangani pemilu raya ini. Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa atau disingkat KPUM menjadi badan penyelenggara pemilu mahasiswa yang dibentuk oleh komisioner panitia kongres.
KPUM menjalankan tugasnya dengan merumuskan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap calon ketua pada tahap sosialisasi, dalam hal ini tahap kampanye. Birokrasi mahasiswa yang dijalankan berusaha mengikuti format birokrat negara Indonesia. Sehingga pada Pemilwa atau Pemilihan Umum Mahasiswa sudah menjadi keharusan dibentuknya “Panitia Pengawas”.
Telah kita ketahui bersama bahwasannya pemilu di negara kita diawasi oleh Panwaslu atau Panitia Pengawas Pemilu. Sehingga subjektivitas dalam pelaksanaan tugas Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa dapat diminimalisir secara maksimal. Tindak kecurangan dalam pencoblosan bahkan pemungutan suara juga dapat ditangani sedini mungkin.
Lalu adakah Panwaslu di Republik Mahasiswa IAIN Ponorogo? Jika ada bagaimana prosedur perekrutannnya? Persyaratan apa yang menjadi kewajiban Panitia Pengawas Pemilu? Apakah Panwaslu menjalankan tugas pengawasan dengan benar? Mampukah Panwaslu bersikap independen semaksimal mungkin?
Sesuai dengan aturan dalam Pemilwa Bab 2 pasal 7 tentang keanggotaan Panwas, tercatat anggota Panwas dipegang oleh Wakil Rektor III, Dekan III, Sema dan Dema IAIN Ponorogo. Tertulis pula tugas Panwas di Peraturan Pemilwa bab 2 pasal 6 yaitu; mengawasi proses Pemilwa, menindak tegas pelanggaran di Pemilwa, menerima laporan dugaan pelanggaran tahapan Pemilwa, melakukan terhadap seluruh laporan dugaan pelanggaran tahapan Pemilwa kepada KPUM, melakukan koordinasi dengan KPUM mengenai hal-hal yang dianggap penting, menindaklanjuti laporan yang telah diverifikasi dan memberikan sanksi kepada pihak yang bersangkutan jika terbukti melakukan pelanggaran. Lantas apakah kinerja Panwas yang telah dilakukan telah benar-benar sesuai dengan yang diharapkan?
Sejauh ini Panwas mengaku telah melakukan koordinasi dengan KPUM. Hal-hal teknis dari Pemilwa menjadi bahan yang sering dibicarakan sebagai salah satu fungsinya. Pelaksanaan Pemilwa dari awal hingga menjelang terselenggaranya pemungutan suara, KPUM belum terindikasi melakukan pelanggaran apapun. Asumsi Panwas tersebut terkesan apa adanya. Kinerjanya terlihat kosong dan nganggur padahal semestinya mengontrol secara jeli.
Model pengawasan yang dilakukan di lapangan memang diusahakan dengan melihat dan mendengarkan suara (aspiraai) dari luar terkait kinerja KPUM. Suara dari siapa gerangan? Apakah dari rakyat –mahasiswa– yang tak mengerti apa-apa? Suara yang terkesan acuh terhadap telinga yang terbuka? Lagi-lagi fungsi kontrol terkesan sebatas objek tanpa verba. Teguran diasumsikan akan dilimpahkan, akan tetapi belum sempat terluapkan sebab “bersih tanpa cela”. Benarkah demikian?
Hingga detik ini Panwas memang mengaku belum ada catatan pelanggaran yang masuk. Diteliti atau tidak Panwas bersikukuh melakukan fungsi pengawasan saja. Apabila kesalahan belum tercium ke permukaan, masing-masing anggota Panwas akan stagnan di kursi masing-masing.
Berbicara pengawasan, tentu dipertanyakan pula sanksi yang ditawarkan. Sanksi akan dijatuhkan oleh Panwas kepada KPUM apabila telah dinyatakan melakukan pelanggaran secar riil. Dengan prosedur diingatkan terlebih dahulu selama tiga  kali. Mengeluarkan anggota adalah akhir dari prosedur hingga dijatuhkannya sanksi. Bagaimanakah sesama anggota Panwas memutuskan hal tersebut?
Koordinasi sesama anggota Panwas diberlakukan melalui WhatsApp Group yang telah dibentuk. Respon lambat sesama anggota sering terjadi di media tersebut. Meskipun hal-hal yang dirasa sangat penting dan menuntut solusi maka disegerakan acara pertemuan secara langsung antar anggota. Pertemuan ini hanya akan dilakukan apabila ada sesuatu yang urgen dan dirasa perlu untuk digarap. Tetapi musyawarah di media dirasa cukup, maka rapat secara face to face tidak diperlukan dengan alasan efisiensi waktu. Modernitas komunikasi masa kini sangatlah berpengaruh dan hal ini menuntut untuk “diwajarkan”.
Pertanyaan muncul; mengapa hal tersebut dapat terjadi? Alasan yang dikemukakan adalah komunikasi antara anggota Panwas menjadi kendala pokok. Kesibukan menjadi hal utama yang dipermasalahkan. Pertemuan dengan jajaran elite kampus memang sulit untuk dilakukan. Aktivitas dan jadwal masing-masing membuat Panwas seperti raga tanpa nyawa. Berwujud tanpa perilaku nyata dalam fungsi dan tugasnya.
Tidak dipungkiri, bahwa Dema sebagai anggota Panwas mengatakan bahwa di antara mereka telah melakukan evaluasi untuk menindaklanjuti kesalahan-kesalahan teknis. Seperti kampanye kandidat, persiapan pencoblosan, peralatan pemungutan suara, dan lain sebagainya. Perlukah mahasiswa kritis akan kinerja Panwas?
Di tulisan ini tidak disebutkan secara tersurat atas perlunya kritisisme mahasiswa atas hal-hal yang dibahas tadi, akan tetapi memang sudah selayaknya hal itu diimplementasikan oleh mahasiswa IAIN Ponorogo yang bernaung di sebuah rumah bernama Republik Mahasiswa ini, maka kepekaan terhadap fenomena yang terjadi di negara–kampus–nya sendiri perlu ditumbuhkan kembali. Kinerja Panwas yang terkesan minim kontribusi perlu dilihat kembali melalui kacamata politik kemahasiswaan; benarkah demikian? Jika tidak, apakah yang seharusnya dilakukan?


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.