Iklan Layanan

Cuplikan

Bedah Film dan Diskusi “Tanah Ibu Kami”: Wanita di Garis Depan Keadilan

 

(Foto: Fariq)

lpmalmillah.com - Minggu, (02/05/21) Perhimpunan Pers Mahasiswa Dewan Kota (PPMI-DK) Madiun berkolaborasi dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) aL-Millah dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Metamorfosis Institut Sunan Giri (INSURI) Ponorogo mengadakan Bedah Film “Tanah Ibu Kami”, Ngaji Keadilan, dan Buka Bersama. Evi Muafiah selaku Rektor IAIN Ponorogo dan Murdianto, Penggerak Gusdurian Ponorogo, hadir sebagai pemantik. Acara dilaksanakan di Gedung Pascasarjana IAIN Ponorogo pada pukul 15.00 WIB, dipandu oleh Zainal Abidin sebagai moderator. 

Terdapat alasan tersendiri mengenai pemilihan judul Film “Tanah Ibu Kami”. Hanifa Faizul Huda sebagai ketua pelaksana mengatakan bahwa akhir-akhir ini sedang ramai isu tentang perempuan dan ada beberapa konflik yang saat ini sesuai dengan film tersebut. “Pertama, karena isu perempuan saat ini sedang hot atau ramai dibicarakan, dan yang kedua terkait konflik agraria yang sedang ramai diperbincangkan, contohnya di Wadas. Dari konflik itu kita angkat supaya ada relevansi dari kondisi lapangan dan apa yang kita bedah.” katanya. 

Dalam Film "Tanah Ibu Kami" yang digarap oleh The Gecko Project dan Mongabay, jurnalis Febriana Firdaus menemui 4 wanita di berbagai daerah Indonesia yang terus berjuang untuk mempertahankan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan yang mulai dieksploitasi. Perjuangan mereka diwarnai oleh banyaknya konsekuensi mulai dari kekerasan, hukuman penjara, hingga meregang nyawa ditengah menuntut keadilan. 

Diawali oleh perjalanan Febriana Firdaus di Tanah Jawa, tepatnya di Kendeng, Jawa Tengah. Perjuangan wanita disana bermula dari akan dibangunnya pabrik dan tambang PT. Semen Indonesia yang bisa merusak lingkungan sekitar mereka. Aksi dimulai dengan perempuan di Kendeng berdiri dibaris depan menuntut dibatalkannya pembangunan pabrik. Namun aksi mereka, digagalkan. Sembilan Kartini di Kendeng tidak berhenti disitu saja, mereka menyemen kaki sebagai bentuk protes yang dilakukan di depan Istana Negara. Namun, hasil akhirnya pembangunan pabrik semen tetap berlajut.

Lalu, dilanjutkan menemui pejuang wanita di daerah Pegunungan Mollo, Nusa Tenggara Timur. Febriana bertemu dengan Mama Lodia Oematan, mama-mama lainnya, dan Aleta Baun seorang wanita, anak dari kepala suku. Perjuangan mereka dilakukan dengan menenun di atas pegunungan untuk menghentikan proyek pembangunan tambang yang sedang berlangsung. Di dalam perjuangan yang mereka lakukan, mereka mendapatkan kekerasaan dan caci maki. 

Beranjak ke Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah menemui sosok perempuan tangguh, Eva Bande. Ia memimpin para petani untuk melawan perusahaan sawit yang merusak tanah mereka. Hingga puncaknya petani mulai marah sampai membakar alat berat milik perusahaan. Bahkan, Eva yang tidak ikut dalam aksi membakar itu ditangkap dan dipenjarakan. Dari aksi tersebut banyak para petani mendapatkan kekerasaan, hukuman penjaran, diculik, hingga diancam akan dibunuh. 

Diakhir perjalanannya, Febriana menemui Farwiza, temannya yang berada di Aceh. Farwiza adalah seorang aktivis yang memperjuangkan hutan Taman Nasional Leuser di Aceh dari kerusakan. Berbagai cara ia lakukan seperti speak-up/retelling story tentang pentingnya melestarikan hutan dan apa saja dampak yang diakibatkan jika hutan rusak.

Setelah menonton, acara dilanjutkan dengan sesi diskusi. Evi Muafiah sebagai pemantik memberikan tanggapannya. Ia menuturkan bahwa dalam film ini perempuan ditonjolkan, dikarenakan ingin menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran dalam kegiatan menjaga lingkungan. Lalu, bahwa jangan sampai kemudian apa yang sudah dilakukan perempuan justru hanya menjadi alat bagi masyarakat dan sekelilingnya, mungkin ada yang memang merasakan tidak rela atau ikhlas. Dan, setelah melihat film ini kita bisa melihat apa peran kita dalam menjaga lingkungan dan memperjuangkan keadilan. “Dalam film ini perempuan di tonjolkan dengan alasan, ingin menunjukkan bahwa perempuan (juga) punya peran dalam menjalankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan menjaga lingkungan.” tuturnya.

Lalu, dilanjut Murdianto memberikan tanggapan. Murdianto mengungkapkan bahwa dalam memperjuangkan keadilan harus memiliki dasar-dasar spiritualitas, karena dalam memperjuangkan sebuah keadilan harus menanggung banyak resiko. “Di dalam memperjuangkan keadilan, bagi kita sangat penting untuk menancapkan basis spiritualitas. Karena memperjuangkan keadilan itu resikonya tinggi,” ungkapnya.

Para peserta sangat antusias dalam acara ini, salah satunya Fitria Syahriyah dari Institut Sunan Giri Ponorogo. Ia mengatakan, acara ini sangat menarik, karena di masa pandemi tidak banyak kegiatan yang bisa dilakukan dengan bebas. “Sangat bagus, karena sekarang pandemi tidak banyak kegiatan yang dilakukan dengan bebas. Dan Acara ini dapat menjadi langkah awal untuk mengembalikan semangat muda untuk memperjuangkan keadilan.” ungkapnya.

Reporter: Denies, Mia, Fariq



No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.