Iklan Layanan

Cuplikan

Perantau Jambi setelah Kuliah di Ponorogo: Ternyata Jauh dari Harapan

 

(Ilustrasi: Robiah)


Di sekretariat LPM aL-Millah, tanpa sengaja saya bertemu dengan Yayan, mahasiswa semester 4 Jurusan Perbankan Syariah di IAIN Ponorogo. Kesan pertama kali bertemu, saya pikir ia mahasiswa lokal: asli masyarakat Jawa. Namun, perlahan kesan itu berubah setelah kami mengobrol. Tidak bisa ditutupi lagi, logat asal Yayan masih cukup melekat di setiap bait kalimat yang terlontar.

Yayan memang bukan orang Jawa, ia berasal dari Jambi. Saya cukup terkejut ketika kami berbincang, aksen Jawa-nya sudah menyerupai penduduk asli. Obrolan kami mulai membahas asal muasal ia bisa tertarik mengunjungi Ponorogo, yang notabene jarang dilirik pendatang luar Jawa. Dan benar saja, kaki Yayan bisa dengan sadar menapak di Kota Reyog ini disebabkan suatu keisengan. Tak sengaja ia ikut ajakan teman untuk berkunjung ke tempat saudara temannya yang ada di Ponorogo.

Setibanya di Ponorogo, Yayan tinggal serumah dengan keluarga saudara temannya yang terletak di Desa Somoroto, Kecamatan Kauman. Selama di sana, ia merasa nyaman dengan suasana yang dingin. Di pagi hari, Yayan sengaja menyempatkan waktu untuk selalu jogging, cocok dengan iklimnya yang sejuk. Selain itu, terdapat hamparan sawah dan sungai yang jarang ditemui selama ia tinggal di Jambi. “Bakal jadi tambah putih kalau Aku tinggal lama di Ponorogo,” ceritanya dengan nada pelan sambil tersenyum. 

Yayan akhirnya memutuskan untuk daftar kuliah di IAIN Ponorogo. Minggu pertama masuk kuliah, ia mulai merasakan hawa panas. Elaknya, mungkin ini hanya musim kemarau saja. Namun setelah ia bertanya pada teman sekelasnya, ternyata memang begini kondisi Ponorogo: panas. Yayan kemudian sadar, ternyata memang dirinya yang kebetulan kemarin tinggal di daerah dingin. Apalagi ia memang tidak pernah keluar jauh selama tinggal di Ponorogo.

Sedikit menyesal, katanya, tapi bagaimana lagi? Sudah telanjur. Waktu libur akhir semester kuliah, Yayan memutuskan kembali pulang ke Jambi. Sesampainya di rumah, ia malah diledek adiknya karena perubahan kulit yang drastis. “Enggak, Bang, kau makin hitam. Sumpah, jelek, Bang,” tambah Yayan tertawa lepas setelah menirukan ledekan adiknya.

Adaptasi Bahasa Semasa Kuliah

Sebagai mahasiswa baru dari luar Jawa, Yayan punya beban sosial yang lebih besar dibanding teman kuliah yang kebanyakan dari masyarakat lokal. Jika sebagian besar mahasiswa lokal hanya perlu beradaptasi dengan budaya di dalam kampus, Yayan tidak. Ia harus bisa beradaptasi, belajar bahasa dan budaya Jawa terutama di Ponorogo.

Di satu pekan selepas masa orientasi mahasiswa, struktur kelas mulai dibentuk untuk mempermudah perkuliahan. Yayan terpilih menjadi ketua kelas, karena ia cukup aktif selama perkuliahan. Pikirnya, menjadi kepala suku dalam kelas tidak begitu sulit, karena memang hanya urusan administrasi aja. Tidak bakal jauh berbeda dengan menjadi ketua kelas di sekolah Madrasah Aliyah atau SMA.

Anggapan Yayan ternyata keliru. Setelah menjadi ketua kelas, baru sadar kalau ternyata lebih sulit. Apa lagi kebanyakan mahasiswanya merupakan anak lokal yang terbiasa bahasa Jawa. Terkadang saat menyampaikan informasi dari dosen, susah menyampaikan ke teman-temannya. Akhirnya, dia mencari teman pengurus yang bisa membantu dalam menerjemahkan bahasanya kepada teman sekelasnya. 

Di Jambi, tempat Yayan tinggal memang sudah banyak kampung atau dusun berisi orang Jawa. Sebagian kata dalam bahasa Jawa sudah sudah tidak asing di telinganya. Pengetahuan tentang tingkatan bahasa juga sudah ia ketahui. Namun ketika di sini agak kaget, karena bahasanya jauh berbeda  dengan yang biasa ia temui ketika tinggal di Jambi. Salah satu contohnya, ia baru tahu penyebutan kata ‘sampean’ (dalam bahasa Indonesia berarti kamu) yakni ketika di Ponorogo. 

Kebanyakan teman kuliahnya juga masih menjunjung tinggi tata krama orang Jawa. Memanggil orang di Jawa itu tidak sembarangan. Kalau belum kenal harus panggilnya pakai ‘sampean’. Beda lagi ketika lawan bicaranya lebih tua, memanggilnya pakai ‘panjenengan’ atau biasa diringkas menjadi ‘njenengan’. Pernah sekali Yayan mengobrol dengan orang yang belum kenal, lalu Yayan memanggilnya dengan sebutan ‘kowe’. Eh, ternyata respons wajahnya berubah. Setelah itu, baru Yayan diberi tahu temannya bahwa ada tata krama dalam kasta penyebutan di bahasa Jawa.

Kendala berbahasa Jawa juga tidak hanya terjadi di bangku kuliah. Selama nongkrong pun, kesulitan berbahasa masih terpengaruh. Namun, kadang keterbatasan bahasa yang dialami orang-orang luar Jawa, khususnya Yayan, justru menjadi sebuah kelucuan tersendiri. “Kadang itu yang lucu gini. Di sana sibuk ketawa, aku sibuk mikirin tapi sambil mesam-mesem. ‘Iki opo to seng di bahas?’ Setelah dijelasin,  ‘Oh, iyo!’ Terus ikut ketawa,” jelas Yayan sambil mengisap rokok di tangan kanannya.

Rokok menjadi Kunci dalam Berteman

Kehidupan tongkrongan di Ponorogo sendiri lebih ramai. Di manapun tempatnya, tidak bakal kebingungan cari angkringan yang murah meriah. Sungguh berbeda dengan tempat tinggalnya di Jambi yang jarang Yayan temui angkringan, kecuali tempat tertentu saja. Kebanyakan tempat nongkrongnya di Jambi merupakan cafe, dan itupun ia pasti cari yang paling murah.Kalau di sini (Ponorogo), masih banyak yang jual kopi cangkir. Hampir semua tempat [harga kopi cangkrinya] Rp 3.000 standar angkringan,” sahutnya. 

Perihal berteman, tidak membuat Yayan kesulitan. Sebab, budaya tongkrongan laki-laki serupa. Dalam ilmu tongkrongan, sebungkus rokok itu bisa mempermudah mencari teman. Meski Yayan kesulitan dalam berbahasa Jawa, berkat sebungkus rokok, ia bisa tetap mendapat banyak teman. Sudah paten. Di manapun tempatnya, perihal rokok dalam tongkrongan, tetap sama prinsip yang dipakai.

Menurut pengamatan Yayan, orang Jawa terutama masyarakat Ponorogo, lebih banyak mengkonsumsi rokok kretek dibandingkan rokok filter. Hampir di setiap tongkrongan yang ia singgahi, banyak orang menghisap berbagai jenis rokok kretek. Bahkan sebelumnya, yang ia tahu  tentang varian rokok kretek hanya ada Dji Sam Soe dan Sampoerna Aga, produk dari PT Hanjaya Mandala Sampoerna tbk. Setelah lama hidup di Ponorogo, ia mengerti ternyata ada banyak varian rokok kretek seperti Nalami dan Dados.

Setelah tinggal dan menetap kurang lebih dua tahun di Ponorogo, Yayan kini memiliki banyak teman dan sudah fasih berbahasa Jawa. Ia juga turut aktif di beberapa organisasi kampus yang bisa mengembangkan potensi dan relasinya. Kendati demikian, adaptasi Yayan atas perbedaan kultur Jambi dan Ponorogo masih tetap ia lakukan. Dalam prinsipnya, Yayan mengamini bahwa, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung tinggi”.

 

Penulis: Dimas Wahyu Gilang

Buruh di Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)

 

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.