Iklan Layanan

Cuplikan

Kartini Sekarang Berbeda dengan Kartini yang Dulu

(Gambar: www.serbakuis.com)

Cerpen oleh: Cantrisah


Selamat memperingati Hari Kartini!

Habis Gelap Terbitlah Terang!

Perempuan Punya Kebebasan!

Aku membaca setiap tulisan di pamflet hari ini dengan saksama. Begitu banyak instansi, bahkan orang-orang yang secara khusus memperingati Hari Kartini ini dengan menggebu lewat pamflet-pamflet mereka. Bahkan, tak sedikit temanku sendiri yang mengunggah lima pamflet sekaligus di akun media sosialnya, dengan ucapan yang sama persis. Tak lain karena ia mengikuti banyak organisasi, tentu saja.

Meski tidak aku mungkiri bahwa kelima pamflet itu memiliki desain yang menarik, tapi dengan isi yang sama, apakah tidak cukup hanya mengunggah satu pamflet saja? Ah, manusia memang suka berlebihan. Serakah. Namun, kemudian ada sisi lain yang membuatku berpikir lebih luwes.

"Ya, mungkin mereka sedang menunjukkan loyalitas di organisasi yang tengah mereka geluti," ucapku impulsif pada diriku sendiri.

Aku mematikan ponselku. Beranjak dari kamar untuk menuju ke ruang keluarga, di mana ada ibu dan adik perempuanku yang terlihat sedang sibuk dengan beberapa serakan pakaian zaman baheula.

"Sedang apa?" tanyaku basa-basi.

"Memilihkan pakaian untuk adikmu. Besok harus mengenakan pakaian adat. Memperingati Hari Kartini katanya," jelas ibu dengan tangan yang sibuk menyibak beberapa tumpuk pakaian.

"Zil, yang ini saja mau?" tanya ibu kepada Zila dengan nada sedikit frustasi. Kelihatannya mereka sudah melakukan kegiatan ini agak lama, sampai ibu dibuat berkeringat di beberapa lengkung wajahnya.

"Ibuu, itu terlalu mencolok. Ibu ingin lihat anaknya sendiri seperti ondel-ondel?" sewot Zila. Dia masih duduk di bangku sekolah menengah. Aku paham jika penampilan masih menjadi hal penting menurutnya. Ya, masih fase remaja. Itu wajar.

"Memang besok akan ada agenda apa sampai harus memakai pakaian adat?" tanyaku penasaran sambil ikut memilah pakaian yang cocok untuk adikku satu-satunya itu.

"Tidak ada. Hanya disuruh memakai pakaian adat saja, sebagai ganti seragam." Aku mengernyit, agak bingung dengan maksud Zila.

"Memakai pakaian ini dan sekolah seperti biasa? Hanya begitu saja?" tanyaku bermaksud memastikan.

"Iyaa, Kak Tyas. Hanya begitu saja," jawab Zila lalu menggembungkan pipinya. Ia benar-benar sebal. Pakaian yang cocok tak kunjung ketemu.

"Gurumu aneh," ucapku sarkas. Namun, malah dibalas anggukan oleh Zila.

"Aku setuju," ucapnya enteng.

"Seharusnya mereka membuat kegiatan yang bisa membangkitkan lagi semangat Kartini untuk generasi sepertiku. Apapun itu, terserah mereka konsepnya akan bagaimana. Tapi tidak dengan menyuruh anak didiknya memakai pakaian adat sebagai seragam dan bersekolah seperti biasanya. Itu hanya akan menghasilkan foto-foto dan capek saja. Benar kan, Bu?" Ibu membalas protes Zila dengan anggukan.

"Ibu kira, makin berkembang teknologi, gurumu juga makin berkembang pengetahuan dan inisiatifnya. Nyatanya sama saja pemikirannya dengan guru ibu dulu. Pemikirannya segitu-gitu saja," tambah ibu tak kalah menyebalkan.

"Kau tidak mengatakannya pada gurumu, Zil?" Ya, setidaknya jika Zila protes, itu tidak hanya sekadar di mulut kecilnya saja.

"Kamu yakin mereka akan mengacuhkan aku, Kak? Aku pernah mendebatnya dalam pelajaran yang salah ia sampaikan saja, ia tak mau mendengarkan. Apalagi soal peringatan seperti ini, aku yakin mereka akan menganggap muridnya ini sok tahu.” Zila benar, beberapa hari yang lalu ia sempat cerita kejadian itu padaku. Mengeluh akan gurunya yang tidak mau berdialog interaktif dengan muridnya.

"Sudah, tidak perlu dilanjutkan lagi. Lebih baik kamu bantu adikmu mencari pakaian yang cocok, Yas." Ibu menengahi pembicaraanku dengan Zila. Memutuskannya agar tidak berkelanjutan lebih buruk lagi.

"Ini saja, cocok dengan pakaian Kartini di lukisan-lukisan ruang kelasmu," ucapku sambil menyodorkan baju putih tulang ke depan Zila. Gadis remaja itu tertawa. Ia menempatkan baju yang kurekomendasikan tadi di depan tubuhnya seraya berkata.

"Dan dengan rambut yang disanggul, kurasa aku sudah cocok dipanggil Kartini Milenial," celetuk Zila sambil menaik-turunkan alisnya untuk menggoda. Aku dan ibu tertawa melihat kelakuan perempuan kecil kami. Tepat saat ini, aku menemukannya, kurasa Kartini sekarang memang berbeda dengan Kartini yang dulu.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.