Iklan Layanan

Cuplikan

Tabir di Balik Demokrasi Semu

(Sumber Gambar: assets.pikiran-rakyat.com)

Cerpen oleh: Cantrisah

  Kelamnya malam menyelimuti ruangan bernuansa biru muda dengan sedikit cahaya lampu belajar di sudut ruangan. Rintik hujan seakan melukiskan perasaan sesosok manusia yang sedang mencengkeram erat botol minuman di tangan kanannya. Kedua netra hitamnya seakan tidak berkedip melihat gawainya yang berada di tangan kiri.

"Damn," Untuk kesekian kalinya, dengusan kesal keluar dari mulut Panji. Ia kembali meminum air dan meletakkan botolnya dengan kasar, berikut juga gawainya. Perasaan tidak terima atas kabar yang baru saja ia terima kembali muncul.  Atensinya berpindah pada stopmap biru di depannya, lalu dengan cepat mengambil benda pipih dan mengetikkan sesuatu dengan cepat pula. Sambil menunggu nada sambung, Panji mendekatkan gawainya ke telinga, sedangkan jari tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja belajar dengan tidak sabaran.

"Gas–"

"Aku ga bohong, Ji. Aku dapet langsung dari pihak mereka. Regulasinya berubah dan itu resmi." Ttutt–

Panji menghela napas berat. Seharusnya ia sedikit menahan diri untuk tidak menelepon Bagas, anak itu pasti juga kesal dengan kabar ini. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Menerawang, memikirkan segala hal yang bisa ia pikirkan. Mungkin salah satunya adalah kemungkinan apa saja yang menyebabkan regulasi itu berubah. Sungguh, ia tidak bisa menerima hal ini. Sudah jauh-jauh hari, bahkan bulan, ia mempersiapkan segala hal demi waktu ini tiba. Tapi usahanya seakan sia-sia saat Bagas memberitahukan hal ini.

Dalam kesibukannya bergelut dengan berbagai pemikiran, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Sesosok laki-laki yang lebih tua darinya keluar dari balik pintu. Dia adalah kakak Panji, namanya Panca. Tahun ini memasuki semester 4, dia merupakan seorang aktivis di kampus. Panca menanggalkan jas kebanggaannya dan meletakkan tas di atas meja belajarnya. Melihat raut Panji yang kusut, Panca langsung beringsut ke kasur adiknya.

"Ada masalah, Dek?" tanyanya sambil membuka lock screen gawainya. Tiba-tiba senyum manis terukir di wajah Panca begitu ia melihat notifikasi terbaru di layar gawainya. Panji menghela napas berat. Baru saja ia memalingkan wajahnya ke arah kakaknya, ia sudah disuguhi wajah cengar-cengir Panca. Panji mendengus kesal, spesies manusia freak di diri kakaknya mulai muncul.

"Regulasinya berubah, Mas." Perkataan Panji membuat Panca mengalihkan atensinya penuh ke arah adiknya. Tidak, Panca tidak terkejut dengan bagaimana cepatnya Panji mendapatkan informasi. Laki-laki itu tidak akan meragukan relasi yang dimiliki adiknya. Ia lebih terkejut ketika melihat dengan jelas sebuah bandana merah muda yang melekat di kepala adiknya.

"Kamu ngapain pakai pinky-pinky ginian?" Panji kembali mendengus. Bukannya fokus pada apa yang ia katakan, Panca malah menatap horor kepalanya.

"Gara-gara main sama Jia, terus kalah. Jadi dipakein ginian." Melihat Panji yang bersungut-sungut kesal, Panca meledakkan tawanya. Jia adalah adik bungsu mereka, gadis itu baru berusia lima tahun.

Tak lama, Panca meredakan tawanya dan menatap datar adiknya. "Rapat tadi bahas soal ini." Kalimat pembuka dari Panca menarik seluruh atensi Panji. "Tapi kamu tahu sendiri, mas ga bakal pernah cerita masalah ini. Ingat! Ketika kamu mau mengetahui suatu hal, teliti dan cari dengan caramu sendiri." Panji kembali mendengus kesal, sangat sulit mengorek informasi dari kakaknya.

"Tidurlah, persiapkan dirimu saat hari itu tiba," Panca mengusak kepala adiknya, lalu keluar dengan gawai yang sudah menempel di telinga kirinya. Tepat ketika Panca menutup pintu kamar, sapaan khas orang yang baru menerima telepon ia tunjukkan pada seseorang di balik teleponnya.

Saat kesunyian menyapa, Panji kembali gusar. Rasa tidak terima masih melekat kuat di benaknya. Pada dasarnya, Panji bukanlah sosok mahasiswa yang ambisius. Namun, melihat kakaknya yang sering pulang larut membuatnya penasaran. Bukan hal yang asing lagi saat rasa penasaran muncul, maka sebisa mungkin segala kemungkinan harus dimungkinkan. Dan hal itu juga berlaku pada Panji dan dunia barunya.

Panji baru memasuki semester 2 di dunia perkuliahan. Dunia dengan label tertinggi dalam pendidikan, namun tak jarang isinya malah menjenuhkan. Namun, pemikiran itu seketika lenyap kala ia mendapat informasi bahwa adanya perhimpunan mahasiswa tingkat jurusan yang biasa dimandatkan untuk mahasiswa semester 2. Jiwa-jiwa produktifnya seketika menggebu, pun rasa penasaran yang muncul gara-gara kakaknya juga bisa terpenuhi.

Hari ke hari hanya bisa Panji lalui dengan perasaan suntuk sejak kabar dari Bagas memenuhi pikirannya. Perubahan regulasi menjadi pemandatan untuk semester 4, yang dari tahun ke tahun kemarin adalah untuk semester 2, masih mengusik pikiran Panji. Sampai saat ini, di mana besok adalah hari perekapan suara, Panji tetap belum bisa menemukan dalang di balik perubahan regulasi tersebut.

Ketika sedang jenuh menunggu notifikasi terbaru dari gawainya, atensi Panji teralihkan pada Panca yang baru saja membuka pintu kamar. Masih sama, Panca selalu pulang dengan jas kebanggaan dan tas hariannya. Namun sedikit yang berbeda, raut wajah Panca terlihat lebih cerah dari biasanya. Dengan tatapan curiga, Panji tidak menahan lagi keinginannya untuk bertanya.

"Kesambet, Mas?" Mendengar itu bukannya kesal, Panca malah makin cengengesan. Ia segera beringsut di kasurnya yang memang bersebelahan dengan milik Panji.

"Enggak. Kamu sendiri lagi ngapain sampai kusut banget mukanya?" tanya Panca yang melihat raut buruk dari adiknya. "Mikirin besok?" lanjut Panca seakan tahu dan tentu saja dibalas anggukan oleh Panji. Tanpa sepengetahuan Panji, Panca tersenyum samar. Ia lalu melanjutkan kalimatnya.

"Perlahan tapi pasti, coba ubah mindset kamu, Dek." Ucapan Panca seketika membuat Panji menaikkan satu alisnya.

"Maksudnya, Mas?"

"Hidup yang kamu kira sederhana, pada dasarnya gak akan sesederhana itu. Dunia yang kamu kira itu-itu aja, nyatanya ada banyak tabir di baliknya. Sesuatu yang kamu kira baik-baik aja, faktanya memiliki banyak apa-apa. Jahat, belum tentu jahat. Baik, belum tentu baik. Semua hal akan berubah pada masanya. Tipiskan pemikiran bahwa dunia yang kamu jalani saat ini adalah dunia yang sederhana, karena nyatanya dunia perkuliahan juga gak sesederhana itu." Panca mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum miring. Sedangkan Panji tiba-tiba terdiam demi segala kemungkinan yang tiba-tiba mendobrak masuk ke dalam otaknya.

"Istirahatlah, siapkan dirimu agar masih kuat berdiri untuk besok." Pungkas Panca sambil berlalu dari kamar untuk mengangkat gawainya yang berdering, menandakan sebuah panggilan masuk.

"Gimana, Dhil? Besok aman? Soal re–"

Blam!!

Suara Panca yang samar-samar didengar oleh Panji terpotong dengan suara pintu yang tertutup. Tidak, tidak lagi. Pikiran Panji sekarang sudah sangat keruh akibat kalimat kakaknya. Ia segera mengambil gawainya yang baru saja berdenting menandakan adanya notifikasi pesan terbaru. Dilihatnya nama "Yudha | Sayap Kiri" tertera dengan jelas.

"Bagus, Ji. Silakan overthinking untuk malam ini. Besok adalah harimu untuk gagal napas."

Panji terdiam, larut dalam pesan yang baru saja ia terima. Tak lama, kilasan setiap kata yang keluar dari mulut kakaknya tiba-tiba muncul bagaikan kaset yang diputar. Otaknya kembali dipenuhi pemikiran yang mulai memuakkan diri. Deru napas Panji kian menginterupsi. Detak jantungnya yang mengencang seakan ikut membatasi dirinya untuk bisa merasakan nikmatnya hidup.

Kini di tengah kerumunan massa, Panji berdiri dengan perasaan gelisah. Berulang kali ia berjalan mondar-mandir demi menunggu kedatangan temannya. Bagas yang melihat tingkah temannya jadi kesal sendiri. Tapi, ia biarkan Panji melakukan hal sesuka laki-laki itu. Dirinya hanya perlu bersabar sedikit lagi.

Pembawa acara untuk acara rekapitulasi hari ini sudah memulai aksinya. Tak lama kemudian, Yudha datang dengan wajah datar yang menjadi kebanggaannya. "Yudh, siapa?" todong Panji tidak sabaran. Yudha tersenyum miris melihat wajah kelimpungan di depannya.

"Dia bakalan pidato sebentar lag–"

"Terima kasih untuk semua suara yang kalian mandatkan. Meski ada rasa tidak pantas, tapi saya akan berusaha menjadi sosok yang dapat mewakili suara kalian yang bisa diandalkan." Sederet kalimat yang lantang terdengar dengan jelas ke arah telinga Panji. Tunggu, ia kenal suara ini. Dengan cepat, Panji segera menghadapkan tubuhnya lurus pada sosok di atas podium itu. Meski samar dan sebentar, Panji bisa merasakan senyum licik yang mengarah padanya itu.

"Sedikit kalimat untuk hari ini. Tipiskan pemikiran bahwa dunia yang kamu jalani saat ini adalah dunia yang sederhana, karena nyatanya dunia ini juga gak sesederhana itu. Terima kasih." Riuh tepuk tangan yang bersusulan seakan menggema di telinga Panji.

Benar. Persis yang orang itu katakan semalam, "Dunia yang kamu kira itu-itu aja, nyatanya ada banyak tabir di baliknya." Dan bagusnya, Panca–kakaknya–adalah dalang di balik tabir yang sangat menyiksanya.


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.