Iklan Layanan

Cuplikan

Percakapan di Tengah Online

 

Sumber Gambar : portonews.com

Cerpen : nrohma

    Aku terduduk sambil menaikkan kakiku di atas kursi belajarku. Rambutku acak-acakan. Aku mengenakan jaket yang sengaja kubalik, sehingga tudung jaketku berada di depan. Aku memanfaatkannya untuk meletakkan cemilan di dalamnya. Di depanku laptop sudah standby. Ponselku berdering, ada pesan WhatsApp dari temanku Kiya.

    “Malika, jangan lupaa. Kamu harus nonton streaming PBAK di kampus tempat kita diterima loch.” Oceh Kiya.
    “Haisst,, bocah ini. Cerewet!”  omelku.
 

    Aku begitu kesel sama temanku Kiya. Bagaimana tidak, dia itu si Ratu antusias, sedangkan aku tidak begitu tertarik masuk kampus. Kalau bukan paksaan orang tua mungkin aku tidak akan kuliah. Kenapa? Gimana mau pengen kuliah coba kalau aku ini dasarnya pemalas. Kalaupun gak nurut orang tua, semua fasilitasku dicabut. Ya Tuhan gimana aku bisa bayangin kalau aku hidup tanpa fasilitas.

    Sedikit flashback, begitu dinyatakan lulus SMA. Kiya mengajakku untuk mendaftarkan diri di sebuah perguruan tinggi di kota yang jika dari kota kelahiranku aku harus melewati dua kota.

    Kiya, dia temanku sejak aku masuk SMP. Dia wanita yang cerdas yang ahli di bidang akademik. Sedangkan aku hanya tertarik hal-hal yang berkaitan dengan seni dan sastra. Tetapi kami berdua begitu tertarik dengan cerpen yang berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku" karya Seno Gumira Ajidarma.

    Lewat cerpen ini kami menjadi dekat. Kami saling berdiskusi mengenai sastra. Aku mengagumi dia. Karna dia itu ibarat kunci jawaban dari setiap pertanyaan di otakku. Bagian terbaik dari cerpen karya Seno Gumira Ajidarma yang menjadi favoritku adalah bagian ini.
 
Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak dimasukkan dalam buku sejarah kebudayaan manusia Alina. 

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih mendengar pendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.

    Saat ini aku sedang menonton video di Youtube mengenai pembacaan cerpen yang dibaca dengan ekpresi dan emosi yang baik oleh artis papan atas, Abimana Aryasatya. Berulang kali aku nonton ini. Hingga tak kenal bosan. Ponselku berdering lagi. Pesan dari kiya.

    “Cepet nonton! “
    “Hiya-Hiya,,,” tulisku sambil menggerutu.


    Jariku mulai menari lagi di atas laptop. Aku ketikkan kata kunci di bagian search. PBAK Online 2020. Tanpa menunggu lama aku langsung meng-klik video yang terkait. Sambil ngemil aku melihat pembukaan PBAK. Kulihat pemukulan gong sebagai tanda bahwa acara PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan)  telah dimulai. Pukulan itu diiringi penampilan seni Reog. Selanjutnya ada sambutan-sambutan dari para rektorat yang wajahnya terlihat baru di mataku. Aku memandanginya sambil ngemil. Yaahh, aku mengikuti PBAK di awal tahun masukku ini secara online. Kenapa? Karena pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Ponselku berdering lagi.

    “Masih streaming? “ kubaca pesan dari Kiya sambil mengetikkan tanggapanku.
    “Heem. Kenapa?”
    “Ingin memastikan saja”
    “Apa kau ini malaikat yang mengawasi kegiatanku? Hee!” tulisku.
    “Mungkin. Hehehe,,,”
    “ Jangan usilll,” aku memperingatkannya.
    “Usilanmu bikin aku tambah pengen menjitakmu”
    “Yaaahh,,, dasar kau”
    “Hahaha,,,”


             Di tengah-tengah aktivitas online-ku. Jariku sibuk membalas sambil tersenyum menanggapi kekonyolan Kiya. Begitu kata-kata habis di tengah jalan aku lanjutkan lagi untuk streaming dari channel pihak kampus yang sudah menerima mahasiswa seperti aku ini. Aku simak di setiap penyampaian mereka. Menyerap hal-hal yang mungkin aku bisa untuk mengembang diri dari bakatku melalui layanan-layanan kampus yang ada. Sesekali aku meresapi tentang mimpi apa yang harus aku asah dahulu di awal tahunku di perguruan tinggi ini.

    “Nduk, jangan lupa Mandi! “ teriak ibuku dari balik pintu kamarku.







No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.