Iklan Layanan

Cuplikan

Mahkota dan Singgasana yang Telah Hilang

    
Sumber Gambar : www.indozone.id
 
Cerpen oleh : Syamsulhadi
 
    Kulihat wajahnya yang ayu, rambutnya hitam pekat dan lurus, pejaman matanya menambah manis di parasnya yang anggun. Kubelai rambutnya dengan penuh kasih sayang, kukecup pipinya dengan penuh harapan. “Oh Tuhan, jagalah permata hatiku ini, hamba tak mau kehilangannya apalagi kehilangan kasih sayangnya. Oh Tuhan jagalah hatinya, jangan berikan celah sedikit pun yang membuat hatinya terluka dan bersedih,” doa ku dalam hati.

    Nampaknya ia sudah tenggelam di alam bawah sadarnya, setelah selesai kubacakan dongeng penghantar tidur, yang rutin aku bacakan setiap malam untuk menghantarkan ia terlelap. Kulihat jam yang menempel di dinding, tak terasa waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam.

    Sejenak aku memejamkan mata, tiba-tiba terlintas wajah istriku yang sudah meninggalkan aku lima tahun yang lalu. Ia tiada saat melahirkan putriku, yang saat ini sedang terlelap di sampingku. Masih teringat saat istriku berjuang menahan sakit, menangis dan merintih. Iya, aku sangat ingat sekali, waktu itu kugenggam tangannya erat-erat. Aku bisikkan kalimat toyibah di telinganya sembari meyakinkannya. “Dik, yakinlah Tuhan bersama kita, begitu pun aku, genggaman tanganku ini sebagai salah satu bukti, aku akan selalu di sampingmu,” sambil kukecup tangannya.

    Tak berselang lama, lahirlah putriku, hal yang sangat aku nantikan, tangisnnya yang renyah membuat hatiku bergetar bahagia. Tetapi nasib yang malang sedang menimpa istriku, setelah mengalami pendarahan yang sangat hebat, nyawanya pun tak tertolong. Tidak menyangka pada saat itu, terakhir kali aku menggenggam tangannya, mengecup tangannya dengan kasih sayang.

    Putriku pun lahir, dengan keadaan yang istimewa, ia lahir berkebutuhan khusus. Indera penglihatannya oleh Tuhan tidak diletakkan pada ke dua bola matanya. Tetapi Tuhan meletakkan indera penglihatan itu di dalam hatinya yang suci.

    Malam ini aku larut pada ingatan itu, sehingga tak sadar air mataku menetes membasahi bantal yang aku pakai. Diriku mulai sadar bukan saatnya meratapi nasib yang telah kualami. Besok masih banyak aktivitas yang harus kujalankan. Aku harus tidur malam ini juga. “I love you. Selamat malam Sayang, semoga mipi indah,” kukecup kening putriku sekali lagi, sebelum mataku terpejam.

***

    Terdengar kumandang adzan yang membuat diriku tersadar, mataku mulai terbuka perlahan. Kulihat langit dari balik jendela, sang fajar sudah memancarkan sinarnya. Kokok ayam pun mulai saling bersahutan, menandakan waktu sudah pagi. Aku pun bergegas untuk mandi dan mengambil air wudlu dan melaksanakan kewajibanku untuk sholat subuh.

    Pagi ini seperti biasa, aku berperan sebagai ibu, memasak, mencuci dan membersihkan ruangan maupun halaman rumah. Melati, putriku juga sudah bangun, kemudian kumemandikannya, kupasangkan pakaiannya, dan kusemprotkan parfum pada tubuhnya, semerbak harum nan segar dari tubuhnya. Makanan yang telah kumasak pagi ini juga sudah siap. Waktunya sarapan pagi untukputri ku tercinta.

    “Ayah, masak apa hari ini?” Tanya putriku.
    “Ayah memasak bubur ayam, sayang, kesukaan kamu.” Jawabku kepada Melati.
    “Wah, pasti enak nih masakan ayah.” Terlihat mimik mukanya yang bahagia.

    Aku menyuapinya dengan penuh ketelatenan, bubur yang masih panas, kutiup agar putriku yang sangat kucintai ini tidak merasakan kepanasan pada lidahnya. Bubur yang kusuapkan kepada putriku, lahap demi lahap sudah hampir habis. Selesai sarapan, aku beralih peran menjadi ayah, yaitu untuk berkebun yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Kebun yang kurawat ialah kebun kopi. Tentunya hasil perkebunan ini lah yang menjadi sumber untuk menghidupi keluargaku.

    Kami bergegas pergi ke kebun, putriku setiap harinya ikut denganku untuk berkebun. Walaupun hanya duduk di gubuk yang sudah tersedia, setidaknya aku bisa mengawasinya. Karena ia tidak bisa melihat, maka setiap pergi ke kebun, aku selalu menggendongnya di belakang pundakku. Setelah tiba di perkebunan, aku suruh putriku untuk duduk di gubuk. Sejenak aku mengehela napas dan bersanding di samping putriku.

    “Ayah, betapa indah ya dunia. Aku jadi ingin melihatnya,” ungkapan putriku.
    “Melihat dunia di bagian apanya sayang yang menurutmu paling indah?” tanyaku.
    “Ingin melihat gunung-gunung, hutan-hutan dan lautan yang indah, seperti dongeng yang ayah ceritakan setiap malam,” jawabnya dengan tingkahnya yang polos.

    Mendengar perkataan putriku, aku tersenyum dan merasa iba terhadapnya. Ia tidak mengetahui, setiap harinya, ekskavator, buldoser, truk-truk besar lalu lalang untuk mengeruk alam di sekitar perkebunanku. Jaraknya dari perkebunanku cukup berdekatan kurang lebih 800 Meter. Hal itu yang membuat persediaan air semakin berkurang, udara yang dahulu sangat lah sejuk, sedikit demi sedikit terkikis oleh asap yang katanya pengolahan panas bumi untuk pembangkit listrik. Ia tidak tahu, alam yang katanya sangat indah ini sedang dilukai. Akupun sedikit merenung.

    “Ayah kenapa diam saja?” tanya melati memecahkan lamunanku.
    “Tidak apa-apa sayang. Mata hatimu sudah lebih dari cukup untuk melihat ciptaan Tuhan yang lebih indah sayang,” jawabku terhadap putri kecilku.

    Kalau kisah ini aku utarakan kepada putriku, saat menjelang tidurnya, mungkin ia merasa terpukul. Karena kisah alam yang aku ceritakan mulanya mendiskripsikan alam yang begitu indah dan damai. Kalau ceritanya berubah seperti alam yang kulihat hari ini, alamnya rusak, tumbuh-tumbuhannya mati, burung-burung kehilangan tempat tinggalnya. Mungkin ia langsung tidak bisa tidur, karena membayangkan alam yang sedang hancur. Aku pun bergumam dalam hati. “Cukup ayahmu saja yang melihat rusaknya alam nak. Karena keserakahan manusia.”

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.