Iklan Layanan

Cuplikan

Bantuan bagi pegawai swasta, apakah bentuk keadilan?


     

 

 Sumber gambar : Dara.co.id

Opini oleh : Rian

    Kondisi ekonomi para pekerja swasta yang kurang lebih hampir empat bulan tidak mendapatkan gaji, ataupun yang gajinya dipotong, membuat daya beli mereka menurun. Sebab dari banyaknya tempat usaha yang pailit ataupun tutup, dan adanya pengurangan jumlah karyawan, akibatnya sebagian pekerja dirumahkan bahkan di PHK.
    Dampak perekonomian di tengah pandemi Covid-19 seperti ini, membuat pemerintah gencar bermanuver untuk memulihkan ekonomi negara. Salah satunya melalui bantuan uang tunai bagi buruh yang terdampak pandemi.
    Pemerintah memberikan insentif uang dengan nilai Rp600.000,- kepada pegawai non-PNS dengan gaji di bawah Rp5.000.000,-. Hal ini dikatakan oleh Menteri BUMN, Erick Thohir ketika diwawancarai di Mata Najwa Trans7 pada 5 Agustus 2020 lalu.
    Erick Thohir mengungkapkan tentang rencana pemerintah dalam pemberian subsidi, yaitu sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. “Salah satu yang harus kita lakukan adalah kita dongkrak daya beli masyarakat,” ungkapnya.
Program stimulus ini merupakan salah satu program yang dilaksanakan selama pandemi ini. Seperti program kartu pra-kerja, bantuan langsung tunai, bantuan sosial berupa sembako dari presiden, dan sebagainya.
    Semua bantuan yang digelontorkan pemerintah pastilah selalu membuat gaduh semua masyarakat, karena bantuan yang diharapkan bisa-bisa tak sampai kepada yang sangat membutuhkan. Karena data yang diambil untuk penyaluran merupakan data lama. Harusnya dilakukan kembali pendataan ulang terkait penambahan atau pengurangan data keluarga yang berhak mendapatkan bantuan.
    Bantuan bagi pegawai swasta ini akan dijalankan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, dengan cara menstranfer langsung ke rekening para karyawan. “(Ditransfer) ke rekening masing-masing pekerja sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan,” kata menteri BUMN dalam keterangan tertulis (06/08/2020) yang  dilansir dari TribunNews.com pada 9 Agustus 2020.
    Dana yang diberikan termasuk besar, yaitu Rp600.000,- per bulan selama empat bulan. Bantuan tersebut akan diberikan mulai September 2020. Tujuan dari bantuan pemerintah ini untuk menggenjot daya beli masyarakat di tengah pandemi covid-19.
    Program bantuan ini merupakan rencana dari pemerintah untuk memulihkan perekonomian negara yang hampir terperosok ke level bawah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pertumbuhan ekonomi Indonesia atau PDB di kuartal ll 2020 terkontraksi cukup dalam, yaitu -5,32% YoY.
    Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dana yang dianggarkan tak tanggung-tanggung, kurang lebih mencapai Rp200.000.000.000,-. Sedang untuk program bagi pegawai swasta ini di anggarkan senilai 31,2 triliun. Rencana PEN sendiri juga telah disampaikan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati yang menurutnya sebagai langkah-langkah pemulihan perekonomian masyarakat agar daya beli menjadi meningkat.
    Akan tetapi, data para pekerja yang mendapatkan bantuan ini diambil dari data peserta BPJS, jumlah yang ditargetkan mencapai 15 juta pekerja formal dengan gaji di bawah Rp5.000.000, padahal jumlah karyawan formal sendiri ada 56 juta orang, dan pekerja informal terdapat 74 juta orang. Mereka yang kemungkinan besar tidak terdaftar di kepesertaan BPJS sendiri harus gigit jari. Di sisi lain, program tersebut hanya menyasar sektor formal, sedang pekerja informal yang mencapai 74 juta orang dengan gaji di bawah rata-rata malah tidak tersentuh bantuan.
    Menurut Sri Mulyani, program bantuan untuk karyawan informal sudah disediakan kartu pra-kerja. “Orang bilang banyak sekali yang pendapatannya di bawah Rp5.000.000,-yang tidak terdaftar BPJS Tenaga Kerja, nah ini kita tampung dalam bentuk kartu pra-kerja,” kata Sri Mulyani yang dikutip dari Narasinewsroom pada 13 Agustus 2020 lalu.
    Di samping itu, program ini juga dinilai diskriminatif, karena hanya mereka yang terdaftar di BPJS yang berhak mendapat stimulus tersebut. Harusnya bantuan tidak hanya menyasar mereka yang menjadi peserta BPJS, tapi juga memberi bantuan bagi para buruh yang tak terdaftar juga.
Dengan kondisi seperti ini, ekonomi masyarakat yang sebenarnya juga mendapat pukulan keras akibat wabah penyakit. Jika masyarakat terus disuntik untuk meningkatkan daya beli di tengah pandemi bisa-bisa hal itu tidak dilakukan, berhubung keadaan ekonomi setiap keluarga juga tidak stabil. Kemungkinan besar tidak untuk meningkatkan daya beli, namun malah terpakai untuk membayar cicilan atau ditabung.
    Dengan kondisi ke depan yang akan terus begitu, mungkin perlu solusi lain agar ekonomi masyarakat dapat digenjot. Stimulus tersebut hanya akan terus membebani negara karena juga membuat keributan terkait bansos yang masif diluncurkan.
    Pemerintah yang terus berupaya di saat kondisi krisis seperti ini, yang telah berusaha melalui berbagai cara dalam bentuk bantuan tunai untuk para pekerja formal dan informal serta UMKM sendiri dan masyarakat berdampak yang lain, harusnya lebih tertuju pada protokol kesehatan yang sangat ketat agar nantinya lebih cepat dalam membuka kembali aktivitas perekonomian di masyarakat. Bukan terus memberikan bantuan kepada 15 juta pekerja swasta yang mungkin belum mampu meningkatkan daya beli.
    Lalu bagaimana nasib jutaan buruh atau karyawan swasta di sektor informal jika mereka juga tidak mendapat stimulus tersebut? Pihak yang terdampak pandemi Covid-19 bukan hanya 15 juta karyawan di sektor formal yang menjadi peserta BPJS saja, tapi semua kalangan turut menjadi korban.
Sikap ini menunjukkan bahwasannya pemerintah mengesampingkan juta-an buruh lainnya. Nilai keadilan yang semestinya ditonjolkan malah seolah tak mau tahu kondisi pegawai buruh lainnya. Apakah keadilan itu berupa pengakuan dari buzer negara? Ah sudah lah...



 

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.