Iklan Layanan

Cuplikan

Kampus Sedang Baik-Baik Saja (?)

 
Sumber: Instagram febi_iainponorogo
Oleh: Umar A. N.

    Masuknya wabah Covid-19 ke Indonesia menimbulkan guncangan pada semua sektor yang ada, sektor kesehatan utamanya, yang berimbas pada ekonomi, sosial, agama, hingga pendidikan. Semua pemangku kebijakan diuji dalam mengambil sikap. Mampukah memberikan rasa keadilan untuk masyarakat yang bernaung padanya, atau malah sebaliknya. Sebuah falsafah dalam Bahasa Jawa, “Becik ketitik, ala ketara” yang bermakna yang baik akan kelihatan baik, yang buruk akan kelihatan buruk. Seperti halnya sikap seorang pemangku kebijakan dalam  mengambil sebuah keputusan di masa pandemi ini, keputusan tersebut akan mampu menyingkap kemana arah kebijakanya.

    Hingga hari ini sudah banyak kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh pemangku kebijakan. Salah satunya di sektor pendidikan, namun dari kebijakan yang muncul malah menimbulkan sebuah inkonsistensi, hal itu pulalah yang pada akhirnya membuat banyak masyarakat kampus (baca: mahasiswa) bingung, bahkan geram.

    Tertanggal 16 maret 2020, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor: 657/03/2020. Salah satu isi dari SE tersebut adalah “Pimpinan PTKI melakukan pengalihan perkuliahan tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh mulai 16-29 Maret 2020 dan untuk selanjutnya adan dilakukan evaluasi.”

    Sebagai tindak lanjut dari SE Dirjen Pendis tersebut, IAIN Ponorogo juga turut mengeluarkan SE untuk melakukan kuliah daring. Hal inipun disambut riuh keluh dari mahasiswa dan dosen perihal bagaimana model pembelajaran yang akan dilakukan nanti. Pasalnya dalam SE itu tidak dijelaskan perihal metode dan media apa yang dipakai dalam perkuliahan daring ini. Namun para dosen lebih banyak menggunakan WhatsApp Group, Google Classroom, Youtube, ataupun Zoom.

    Hal itupun menimbulkan tanya, mengapa kampus tak menggunakan platform e-learning? padahal kampus sudah memiliki platform tersebut (https://e-learning.iainponorogo.ac.id/). “Belum maksimal (penggunaanya). Karena kejadian kuliah daring saat ini terjadi bukan by design, tetapi karena darurat Corona yang terjadi secara tiba-tiba.” Klarifikasi Muhsin, selaku kepala bagian akademik dan kemahasiswaan (http://www.lpmalmillah.com/2020/04/Peliknya-Pembelajaran-Daring.html).

    Di IAIN Ponorogo, jika dikalkulasikan dalam semester genap ini, mahasiswa melakukan kuliah secara tatap muka hanya setengah semester saja, sisanya online. Masih teringat jelas bahwa dimulainya kuliah secara online tersebut saat mahasiswa sedang berada diujung Ujian Tengah Semester (UTS), bahkan ada beberapa mata kuliah yang belum rampung diujikan.

    Dengan keterpaksaan menggunakan media yang seadanya, tentunya menimbulkan banyak polemik. Tak terkecuali dialami oleh mahasiswa yang senantiasa berkeriau keluh dengan tumpukan  deadline tugas. Banyaknya tugas dan tidak adanya diskusi secara kondusif menjadikan ruang perkuliahan menjelma mejadi ruang kerja yang berisikan tumpukan tugas tanpa terimbangi dengan transfer ilmu pengetahuan atau pembelajaran. Namun hal inipun terus saja ditelateni oleh para dosen dan mahasiswa dengan terpaksa hingga perkuliahan di semester genap berakhir, atau sekitar dua bulan. Namun platform e-learning yang sudah dimiliki kampus tak juga dipergunakan. Entah tak digunakan karena masih belum siap atau tak mau berupaya menggunakanya?

    Di tengah polemik tersebut, ada sebuah angin bahagia yang sedikit meringankan beban pikir mahasiswa. Angin itu datang dari Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) berupa surat edaran nomor B-752/DJ.I/HM.00/04/2020 tentang instruksi kepada seluruh rektor PTKIN untuk mengurangi besaran UKT/SPP mahasiswa minimal 10 persen guna membantu perekonomian orang tua mahasiswa karena adanya Covid-19. Hal itupun disambut riang ria oleh para mahasiswa.

    Namun sebelum angin kebahagiaan itu dirasakan mahasiswa, pada 20 April 2020 angin tersebut ditarik kembali oleh Kemenag RI lantaran harus berhemat sebesar Rp2,6 Triliun karena keuangan negara yang semrawut akibat Covid-19. Kemenag RI mengeluarkan surat nomor B-802/DJ.I/PP.00.9/04/2020 yang menginstruksikan seluruh rektor PTKIN untuk tetap menerapkan UKT/SPP sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) yang sudah berlaku. Sontak hal itupun menjadi trending topic dengan tagar #kemenagjagoPHP hingga #kemenagprank.

    Adanya pembatalan pemotongan besaran UKT/SPP menjadi pertanyaan besar bagi mahasiswa, pasalnya mahasiswa tidak menggunakan fasilitas kampus secara keseluruhan, namun tetap membayar UKT/SPP penuh sesuai dengan KMA yang berlaku.

    Hal di atas pun menimbulkan spekulasi bahwasanya tidak ada kepedulian serius kampus kepada mahasiswa guna menjamin berjalannya perkuliahan daring yang kondusif, serta membantu meringankan beban orang tua mahasiswa di masa pandemi Covid-19 ini. Dilansir dari kanal berita idntimes.com yang tertanggal 01 Mei 2020, lagi-lagi spekulasi di atas dibantah oleh Kemenag RI. “Kami sedang diskusikan dengan para rektor, kita harus mencari ikhtiar dan solusi agar mahasiswa tetap kita bantu. Jadi kami tidak tutup mata, kami tidak melupakan semuanya, kami sedang diskusikan kira-kira apa yang bias kita berikan pada mahasiswa,” ucap Kamaruddin Amin selaku Pelaksana tugas  (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI.

    Diskusi tersebut menghasilkan opsi yang kembali membuat mahasiswa mutung, bahkan muak. Opsi tersebut berisikan penurunan level pembayaran UKT/SPP mahasiswa. Namun hal itu tetap dikembalikan lagi kepada kebijkan rektor di masing-masing perguruan tinggi. Dalam hal ini mahasiswa dapat mengajukan penurunan besaran UKT/SPP kepada rektor jika dirasa itu memberatkanya. Namun dalam penerapannya nanti apakah rektor atau pihak kampus mau menampung aspirasi mahasiswa perihal penurunan UKT tersebut? Apakah mau ribet-ribet mengurusi hal tersebut? Harusnya mau, karena itu merupakan salah satu bentuk pelayanan kepada mahasiswa yang notabenenya sudah membayar dan tidak mendapatkan potongan pembayaran.

    Kayu telah menjadi debu, nasi telah menjadi bubur, hal di atas hanyalah kenangan sayat luka tempo hari. Sudah tak berarti apa-apa lagi, hanya opsi penurunan pembayaran UKT/SPP tersebut yang dapat diharapkan mahasiswa, mungkin. Dalam masa pandemi dan dengan ketidakpastian tersebut ibadah Ramadhan pun telah selesai dijalani, dan lebaran idul fitri pun masih terasa hingga kini.

    Namun ada yang berbeda dengan mahasiswa semester enam yang akan menginjak semester tujuh, yang mana masa ini adalah masa pelaksanaan KPM (Kuliah Pengabdian Masyarakat) atau KKN (Kuliah Kerja Nyata) kalau di kampus umum. Dikejutkan dengan adanya instruksi untuk tetap melaksanakan KPM meski sedang #dirumahaja, yang dikenal dengan KPM-DR (Kuliah Pengabdian Masyarakat Dari Rumah). Hal ini pun tentu langsung membuat panik mahasiswa, kegaduhan pun terjadi perihal bagaimana model pengabdiannya, metode yang dapat diterapkan bagaiamana, apakah mereka harus KPM sendiri-sendiri tanpa kelompok dan tanpa DPL, karena tidak tidak ada ketentuan yang jelas jika mengacu pada pedoman yang diberikan pihak LPPM.

    Menyusul instruksi tersebut, dengan panduan yang masih mentah itu pihak LPPM menggelar sosialisasi secara online melalui media Zoom pada hari jumat 28 Mei 2020 kemarin. Sosialisasi tersebut memperlihatkan baiknya kampus kepada mahasiswa, karena memberikan keluwesan pada mahasiswa dalam melasanakan KPM-DR ini. Ketua LPPM Evi Muafiah mengatakan bahwasanya “Tidak usah mempersulit diri, mengajar adik atau tetangga belajar dan mengaji saja sudah termasuk KPM,” (http://www.lpmalmillah.com/2020/05/KPM-DR-Bentuk-Pengabdian-Saat-Pandemi.html). Namun pernyataan tersebut masih menimbulkan tanya dan spekulasi.

    Tanya dan spekulasi tersebut seperti mengapa tidak ada DPL? Mengapa tidak ada pendanaan dari kampus untuk KPM-DR ini jika dilakukan dari rumah? Adakah kerjasama antara pihak kampus dengan pihak desa tempat tinggal mahasiswa? Seperti halnya tulisan opini yang dimuat oleh LPM aL-Millah (http://www.lpmalmillah.com/2020/05/kpm-dr-hanya-sekadar-branding.html).

    KPM-DR yang dilaksanakan tanpa adanya DPL, tidak adanya kerjasama antara pihak kampus dengan desa, menjadikan KPM-DR ini hanya seperti langkah untuk menggugurkan kewajiban kampus hanya sekadar branding dalam menyelenggarakan kegiatan KPM. Seolah kampus lepas tangan dengan pengabdian mahasiswa tersebut, karena tidak adanya pendampingan dan pemantauan langsung dari pihak kampus, hanya mewajibkan mahasiswa menyusun dan memberikan laporan akhir saja. KPM-DR ini apakah sudah memenuhi substansi pengabdian sesuai dengan tujuan adanya KPM?

    Dengan berbagai problem yang dituliskan di atas, apakah kampus sudah sepenuhnya berupaya menyelenggarakan kuliah daring yang sesuai? Sesuai mungkin, dengan yang dibutuhkan/diinginkan mahasiswa dan dosen atau sesuai dengan keadaan yanga ada? Apakah kampus kita baik-baik saja?

4 comments:

  1. Saya kira apa yang dilakukan pihak kampus sudah sewajarnya, karena memang pandemik ini terjadi secara tiba tiba dan sistem pendidikan di Indonesia sebelumnya tidak ada aturan pendidikan ditengah wabah, yang akhirnya ketika wabah terjadi semuanya dilakukan secara spontan sebagai solusi. Walaupun KPM tahuun ini tidak seperti biasanya, saya mengerti output nya tidak akan semaksimal KPM sebelumnya. Itu juga tidak boleh dipaksakan harus KPM seperti biasa, karena pasti khawatir bila mahasiswa malah terjangkit COVID19. Dengan KPM DR,kita bisa lebih maksimalkan untuk mengapdi dengan orang tua kita ataupun lingkungan tempat tinggal.Tidak perlu melakukan hal yang sulit, karena kita terbatasi olah pandemik ini. Bukan berarti pihak kampus tidak berkerja sama dengan desa, kitalah yang menjadi bentuk kerjasama itu dengan membawa nama baik kampus.cukuplah kita mengapdi sesuai arahan kemarin,DPL kita adalah tetua di desa, bisa juga orang tua. Semoga pandemik segera berakhir.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apologis. Wong tidak menggunakan status KPM saja mereka juga --sebagian-- sudah seperti itu. Tidak usah diberi status DPLpun mereka kesehariannya juga seperti itu.

      😆😆

      Delete
  2. Iya mas Aziz.... di situ penulis menorehkannya berdasarkan sudut pandangnya sendiri. Wajar saja masing-masing orang mempunyai cara pandang yang berbeda. Semoga pandemi Covid-19 segera berakhir

    ReplyDelete
  3. Iki wong-wong PERS ki gak curiga to, yen anggaran KPM rawan dikorupsi opo piye ngono?

    ReplyDelete

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.