Iklan Layanan

Cuplikan

Lagu “Aisyah Istri Rasulullah” dalam Kacamata Feminisme dan Etika Jawa

 
Akurat.co
Oleh: Syamsulhadi
 

    Mengenal anak muda zaman sekarang yang dijuluki sebagai generasi milenial atau generasi Z, hampir semua pembahasan tak lepas dari yang namanya percintaan. Dalam lingkup religius, terutama agama Islam, pembahasan mengenai percintaan include dalam strategi dakwah yang bertujuan untuk memaksimalkan strategi tersebut, karena yang dihadapi adalah mad’u dari kalangan milenial. Lagu atau syair-syair yang diiringi alat musik dengan dibumbui kisah-kisah percintaan tak lepas dari salah satu  bagian dari media dakwah.

    Berbicara mengenai lagu dan percintaan, jagad dunia maya digemparkan oleh lagu gubahan Mr. Bie penyanyi asal Malaysia yang berjudul “Aisyah Istri Rasulullah.” Saat ini sedang trending dan banyak kalangan anak muda yang menggandrunginya. Tak tanggung-tanggung, 90% trending Youtube diisi dengan cover lagu dan ulasannya. Semakin hari, semakin banyak kalangan yang berlomba-lomba meng-cover lagu tersebut.

    Menelaah lirik dari lagu tersebut sebenarnya penulis agak bingung, lagu itu masuk dalam genre/kategori lagu religi atau lagu non-religi. Karena, kalau dibilang religi, semua isi lirik dalam lagu tersebut itu membahas romantisme, tidak membahas yang berkaitan tentang tazqiyatunnafs. Jika dikatakan lagu yang bergenre non-religi tetapi yang dibahas dalam liriknya itu (sebagian) kisah dari Rasulullah dan istrinya yaitu Sayidah Aisyah. Mengenai perbedaan ataupun persamaan tersebut menjadikan hal yang dilematis bagi penulis, mungkin pembaca bisa menyimpulkan sendiri.

    Pembaca saya ajak kembali untuk menganalisis lirik lagu “Aisyah Istri Rasulullah” di sini. Kaca mata yang saya pakai adalah feminisme dan etika Jawa.

“Mulia indah cantik berseri
Kulit putih bersih merahnya pipimu
Dia aisyah putri abu bakar istri Rasululloh
Sungguh sweet nabi mencintamu
hingga nabi minum di bekas bibirmu
bila marah nabi kan memanja
mencubit hidungnya
………………………………..”


    Penggalan lirik tersebut dalam pandangan feminisme merupakan sebagai bentuk bukti bahwa diksi yang dipakai ialah diksi yang seksis. Pasalnya ada kalimat “kulit putih bersih merahnya pipimu” menunjukan bahwa pencipta lagu mengorientasikan bentuk tubuh istri Nabi yaitu Sayidah Aisyah. Ini menggiring kelompok partiarkal membayangkan bentuk fisik Sayidah Aisyah, yang tidak menutup kemungkinan seseorang berfikir lebih liar, dan melahirkan kembali embrio objektifikasi kepada perempuan.

    Kate Millet salah satu tokoh Feminisme Radikal mengungkapkan bahwa kegagalan kesetaraan berakar dari dipermalukannya dan dianiayanya perempuan secara seksual baik verbal maupun non verbal. Dari pandangan itu bisa disimpulkan bahwa lirik lagu tersebut adalah representasi dari budaya patriarki sebagai wujud kegagalan kesetaraan, dan secara tidak langsung kembali menempatkan wanita sebagai objek dalam kehidupan sosial.

    Di sisi lain lagu tersebut mengorientasikan bahwa Sayidah Aisyah sebagai istri Rasulullah hanya berperan sebagai wanita yang hanya bermanja-manja. Padahal, perempuan juga selayaknya manusia biasa, yang tidak bisa dinilai dari fisik saja. Perempuan adalah manusia utuh yang juga memiliki akal dan keistimewaan lainnya. Di lagu ini,  kecerdasan, keberanian dan wawasan keilmuan Sayidah Aisyah dinegasikan.

    Begitupula jika dipandang dari kacamata etika Jawa, lirik lagu tersebut tentu tidak dibenarkan. Etika Jawa menjunjung tinggi nilai kesopanan, yang membagi perilaku sosial dalam aspek bahasa maupun tingkah laku, dari yang tua kepada yang muda, dari yang muda kepada yang lebih tua, dari yang awam kepada orang yang diangungkan, tentu memiliki tata cara yang berbeda dalam bersosial.

    Bisa dianalogikan begini, misal ibunya Fulan kebetulan cantik, kulitnya putih dan pipinya merah, kemudian si Fulan memujinya ia mengatakan “Ibu, kulitmu putih, pipimu merah.” Hal tersebut beretika atau tidak jika diutarakan kepada sang ibu? Tentunya tidak.

    Apalagi yang digambarkan di lagu itu ialah orang mulia, yang dijuluki sebagai ummul mu’minin (ibunya orang-orang yang beriman). Dalam etika Jawa memanggil orang yang dimuliakan dengan sebutan namanya saja sudah dianggap tidak sopan, maka dari itu orang-orang Jawa memanggil nama Nabi Muhammad menggunakan istilah Kanjeng yang berarti tuan begitu pun memanggil Sayidah Aisyah, menggunakan sebutan Ndoro yang juga berarti tuan juga. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa dalam pandang dari segi etika lirik lagu tersebut tentunya cukup bersebrangan.

    Yang lebih penting dan perlu diteladani dari Sayidah Aisyah yaitu tentang keilmuanya. Ia juga disebut sebagai panji ilmu karena dia sangatlah cerdas dalam memahami sosial saat itu. Ia juga dikenal seorang wanita yang ahli Al-Qur’an dan hadis. Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqot menghitung sekitar 700 perawi wanita muslimah yang pernah ada, dan Sayidah Aisyah berada di peringkat pertama. Sayidah Aisyah juga menguasai ilmu lain seperti Genealogi, Kedokteran dan Sya’ir. Sayidah Aisyah merupakan wanita yang kaya akan ilmu dan tidak kalah dari sahabat-sahabat yang notabene-nya kebanyakan laki-laki.

    Pembaca yang budiman, di sini penulis ingin sedikit berpesan, terutama bagi muslimin dan muslimah milenial. Alangkah baiknya tidak terjebak pada lirik lagu ini saja. Tapi menjadikan lagu ini sebagai pemacu untuk lebih mempelajari kisah hidup Sayidah Aisyah yang cerdas, taat dan pemberani.

3 comments:

  1. Dan, mungkin, pencipta lagu lupa menyisipkan lirik tentang sayidah 'Aisyah yang pernah memimpin perang. 🤔🤔

    ReplyDelete
  2. saya berbulan2 mencari yang sepemikiran dengan saya akhirnya ketemu di blog ini, saya kok malah merasa lagu ini kurang etis untuk mengambarkan aisyah dan cara rasulullah bercumbu dan bermanja2, pasalnya rasullulah adalah figur seorang manusia yang tidak biasa. saya merasa malah ini seakan2 kayak mengambarkan bagaimana seorang nabi mahluk yang suci dan mulia digambarkan seperti manusia biasa yang bercumbu rayu dan saya rasa tidak tepat, ini yang selalu mengganjal di pikiran saya.

    ReplyDelete

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.