Long March Women’s March Ponorogo 2020 Tuntut Hak Perempuan dan Buruh
lpmalmillah.com - Minggu (08/03/2020) tepat pada Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) gerakan Women’s March Ponorogo perdana melakukan Long March di Jl. Suromenggolo. Peserta aksi adalah mahasiswi dari berbagai kampus, Keluarga Besar Buruh Migran (Kabar Bumi) Ponorogo dan Serikat Buruh Madiun (SBM). Mereka menuntut hak perempuan dan buruh.
Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual terhadap wanita dan anak semakin marak terjadi. Terbukti sepanjang tahun 2018 tercatat 406.178 kasus dan mengalami peningkatan hingga mencapai angka 431.471 kasus di tahun 2019. “Perempuan masih belum aman,” ungkap Nadila Yuvitasari selaku Koordinator Women’s March.
Gerakan ini merupakan wujud pernyataan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, RUU Ketahanan Keluarga, kekerasan berbasis gender dan menuntut perlindungan terhadap buruh migran. Selain itu, massa menuntut untuk segera disahkannya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan dibentuknya Perda yang mengatur mekanisme pelayanan kasus kekerasan pada perempuan yang ramah korban. “Kami menuntut segera disahkannya RUU PKS dan menolak RUU Ketahanan Keluarga,” teriak Ina Imroatul saat berorasi.
Buruh yang tergabung dalam aksi mengkritik bahwa regulasi yang dikeluarkan pemerintah merupakan sebuah diskriminasi terhadap perempuan. Tertulis Pasal 93 Bab IV tentang Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja ayat (1) mengatur ‘upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan’. “Undang-undang itu mendiskriminasi perempuan, padahal pada UU pasal 81 ayat (1) perempuan berhak cuti saat haid, namun karena pasal 93 itu membuat hak perempuan untuk cuti dihilangkan,” ujar Kristin, Koordinator Kabar Bumi Ponorogo.
Ia menambahkan, meski Hak Cuti Hamil dan Melahirkan ada pada pasal 83 UU No. 13 Tahun 2013 namun masih banyak terjadi kasus buruh wanita yang keguguran. Sebanyak 14 kasus keguguran dan 6 kematian bayi baru lahir akibat jam kerja yang tanpa batas di pabrik es krim Aice. “Seharusnya wanita hamil dilarang kerja sampai lembur,” tegas Kristin.
Mereka juga menuntut kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam upah bekerja. “Upah buruh perempuan dan laki-laki berbeda, padahal kerjanya sama,” tegas Anggi Anggraini anggota Kabar Bumi.
Anggi juga menambahkan bahwa negara Indonesia seperti Anti Rakyat. Dilihat dari regulasi yang menyesatkan dan menindas. Negara tidak menciptakan lapangan pekerjaan, dan lebih berpihak pada kaum kapitalis serta memangkas upah buruh. “Nyatanya banyak yang menjadi pengangguran, pemerintah malah menyerahkan buruh ke sektor swasta untuk dikirim ke luar negeri,” paparnya.
Aksi ini mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat Ponorogo. “Bagus dan menginspirasi, lebih keren dibandingkan yang tidak bermanfaat,” ucap Al Abidatul Laili seorang pelajan kaki di CFD.
Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual terhadap wanita dan anak semakin marak terjadi. Terbukti sepanjang tahun 2018 tercatat 406.178 kasus dan mengalami peningkatan hingga mencapai angka 431.471 kasus di tahun 2019. “Perempuan masih belum aman,” ungkap Nadila Yuvitasari selaku Koordinator Women’s March.
Gerakan ini merupakan wujud pernyataan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, RUU Ketahanan Keluarga, kekerasan berbasis gender dan menuntut perlindungan terhadap buruh migran. Selain itu, massa menuntut untuk segera disahkannya RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan dibentuknya Perda yang mengatur mekanisme pelayanan kasus kekerasan pada perempuan yang ramah korban. “Kami menuntut segera disahkannya RUU PKS dan menolak RUU Ketahanan Keluarga,” teriak Ina Imroatul saat berorasi.
Buruh yang tergabung dalam aksi mengkritik bahwa regulasi yang dikeluarkan pemerintah merupakan sebuah diskriminasi terhadap perempuan. Tertulis Pasal 93 Bab IV tentang Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja ayat (1) mengatur ‘upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan’. “Undang-undang itu mendiskriminasi perempuan, padahal pada UU pasal 81 ayat (1) perempuan berhak cuti saat haid, namun karena pasal 93 itu membuat hak perempuan untuk cuti dihilangkan,” ujar Kristin, Koordinator Kabar Bumi Ponorogo.
Ia menambahkan, meski Hak Cuti Hamil dan Melahirkan ada pada pasal 83 UU No. 13 Tahun 2013 namun masih banyak terjadi kasus buruh wanita yang keguguran. Sebanyak 14 kasus keguguran dan 6 kematian bayi baru lahir akibat jam kerja yang tanpa batas di pabrik es krim Aice. “Seharusnya wanita hamil dilarang kerja sampai lembur,” tegas Kristin.
Mereka juga menuntut kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam upah bekerja. “Upah buruh perempuan dan laki-laki berbeda, padahal kerjanya sama,” tegas Anggi Anggraini anggota Kabar Bumi.
Anggi juga menambahkan bahwa negara Indonesia seperti Anti Rakyat. Dilihat dari regulasi yang menyesatkan dan menindas. Negara tidak menciptakan lapangan pekerjaan, dan lebih berpihak pada kaum kapitalis serta memangkas upah buruh. “Nyatanya banyak yang menjadi pengangguran, pemerintah malah menyerahkan buruh ke sektor swasta untuk dikirim ke luar negeri,” paparnya.
Aksi ini mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat Ponorogo. “Bagus dan menginspirasi, lebih keren dibandingkan yang tidak bermanfaat,” ucap Al Abidatul Laili seorang pelajan kaki di CFD.
Pada puncak acara, Nadila meminta masyarakat ponorogo untuk menandatangi banner sebagai wujud dukungan untuk Ponorogo yang ramah perempuan dan anak, mulai dari masyarakat hingga birokrat. Sembari itu, massa menyanyikan lagu Gugur Bunga sebagai penghormatan kepada buruh-buruh yang sudah melawan, dan bentuk solidaritas untuk buruh perempuan yang dieksploitasi hingga mengalami keguguran. “Bangkit, melawan penindasan, berjuang sampai menang!,” ucap massa dengan lantang sebelum membubarkan aksi.
Reporter:
Zanida
Foto: Zanida
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.