Iklan Layanan

Cuplikan

Distorsi Peran Media di Indonesia

Sumber; Pemiluupdate.com
Oleh : Umar Alix

Era ini, tidak ada yang tidak berhubungan dengan media, semua berhubungan mulai dari pagi hingga pagi lagi, mulai dari urusan uang, pengetahuan, hingga agama. Manusia seolah-olah tak berdaya tanpa media. Di Indonesia terdapat banyak sekali media massa, mulai dari media cetak, media elektronik, hingga media online yang kini bertebaran di gawai kita masing-masing. Namun di samping itu, masihkah media netral atau setidaknya layak kita simak?

Media merupakan sarana atau saluran alat komunikasi untuk menyebarkan berita atau pesan, serta informasi kepada masyarakat luas. Media memilki peran yang sangat penting terhadap pemberitaan, media menjadi alat yang sangat efektif digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh berita disuatu negara secara akurat dan aktual. Saat ini mudah sekali kita untuk mendapatkan berita. Namun saat ini media terasa sangat berbeda dengan media beberapa dekade sebelumnya.

Pada awalnya, di masa kolonialisme media menjadi alat perjuangan dan perlawanan untuk membentuk atau membuat suatu kekuatan dan gerakan revolusioner. Banyak dari tokoh-tokoh pejuang Indonesia yang menggunakan media sebagai alat perjuangan, seperti yang dilakukan oleh Tirto Adhie Soerjo, orang yang kita kenal sebagai bapak Pers Indonesia. Ia merupakan salah satu pejuang yang menyampaikan gagasan dan penolakan terhadap kesewenangan kolonial dengan getol di media. Tirto juga mendirikan media cetak pertama dengan Bahasa pribumi. RA. Kartini, tokoh revolusioner perempuan Indonesia yang juga aktif menulis di media untuk menuangkan gagasanya. Serta Ki Hajar Dewantara yang kita kenal sebagai bapak pendidikan juga pernah bergelut di media.

Namun kini media sudah tak dimanfaatkan seperti awal-awal media itu ada (diciptakan). Media saat ini seringkali terkooptasi untuk menciptakan kepentingan pasar. Seringkali media melakukan penggiringan opini hanya untuk kepentingan elit yang ada, baik secara politik maupun ekonomi. Tak jarang juga media digunakan penguasa untuk menggiring opini publik agar masyarakat mendukung peraturan penguasa yang sebenarnya demi kepentingan elit penguasa itu sendiri didistorsikan seolah-olah demi kepentingan masyarakat.

Terkadang media juga membuat suatu isu yang tidak penting menjadi penting, seperti infotaiment yang sama sekali tak mencerdaskan. Seperti akhir tahun 2019 kemarin, penyimak media disibukkan dengan isu Sunda Empire dan Keraton Agung Sejagad seolah menutup mata dan telinga dari isu pelemahan KPK  dan Omnibus Law yanglebih krusial dari raja-rajaan tersebut. Hal semacam inilah yang berakibat pada pendangkalan cara berfikir sahabat milenial saat ini.

Banyak media di Indonesia bermunculan yang dibuat oleh para bebisnis besar, mereka rela menginvestasikan milyaran rupiah untuk mendirikan media. Mayoritas mereka bukanlah latar belakang pekerja media, sehingga dapat ditebak kemana arahnya, ujung-ujungnya pasti berorientasi pada profit, politik serta kekuasaan.

Noam Chomsky dalam bukunya Politik Kuasa Media menuliskan, “media menjadi alat propaganda penguasa untuk mengendalikan opini publik”. Di masa Wodro Wilson yang memenangkan kontestasi politik Amerika pada tahun 1916, Wilson memanfaatkan  media sebagai alat propaganda, dengan merekrut intelektual agar mengemas isu sedemikian rupa untuk menggiring masyarakat supaya terjebak pada opini yang diberikan. Masyarakat Amerika yang pada awalnya tak suka perang atau anti pertumpahan darah dalam jangka waktu enam bulan berubah menjadi  masyarakat yang haus akan perang akibat propaganda media yang dilakukan. Hingga pada akhirnya Amerika bertarung dengan Jerman pada saat itu untuk melawan ideologi komunis. Media memang menjadi kekuatan ampuh propaganda penguasa. 

Di Indonesia, media yang awalnya menjadi alat perjuangan juga berubah menjadi alat propaganda untuk menumpas habis faham ideologi komunis. Pada tahun 1965 ketika terjadi peristiwa pembunuhan enam jendral (G30S), melalui propaganda media, Soeharto menuding partai komunis sebagai pelaku di balik kejadian itu. Propaganda itu disebut sebagai kampanye hitam. Sebelumnya,  dipersiapkan skenario yang telah digodok dalam badan intelejen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI secara besar-besaran dan serentak. Dilukiskan terdapat kerjasama erat dan serasi antara pemuda rakyat dan gerwani serta anggota ormas PKI lainya dalam melakukan penyiksaan para jenderal dengan menendang, menyeret hingga menorah silet di wajahnya. Semua diceritakan dengan sangat tragis oleh media massa yang telah dikuasai AD, yakni RRI dan TVRI serta koran Berita Yudha pada tanggal empat Oktober 1965. Sementara, seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober. Hingga saat ini mampu membuat langgeng opini publik yang berkesimpulan bahwa PKI atau faham komunis itu berbahaya dan kejam.

Sejak peristiwa itu hingga tahun 1999 kegiatan media masih diintervensi oleh penguasa orde baru. Selian itu, banyak media yang dibredel karena berseberangan dengan penguasa, pun tidak ada kebebasan berekspresi maupun berpendapat. Pada akhirnya itu semua menjadi salah satu faktor tumbangnya kejayaan orde baru selama 32 tahun berkuasa.

Ini menjadi titik terang bagi media di Indonesia. Pers berkembang dan memiliki kebebasan untuk berpendapat, didukung dengan diterbitkannya UU Pers. Dalam UU Pers pasal VI tentang Peran Pers, yang salah satu peran pers adalah mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Namun dengan berkembangnya media dan munculnya banyak media online, perjuangan mengungkap kebenaran dan akurasi semakin luntur. Media kini hanya menjadi alat bisnis, kepentingan politik serta kekuasaan yang semakin kesini semakin nampak jelas, seolah jadi perrtanda bahwa media telah kehilangan ruhnya.

Semenjak reformasi itu pula industri media di Indonesia mulai berkembang pesat setiap tahunnya, Saluran televisi semakin bertambah, koran, surat kabar makin banyak jumlahnya, iklan tersebar dimana-mana, perkembangan internet semakin pesat. Namun, di balik semua itu ada bahaya yang mengintai. Dari sekian banyak perkembangan media itu ternyata hanya dimiliki oleh segelintir perusahaan yang berorientasi pada keuntungan, lebih dalam lagi sebagai alat politik penguasa. 

Perusahaan media di Indonesia dimiliki oleh para kaum oligarki sekaligus politikus Indonesia. Ross Tapsell dalam bukunya Kuasa Media di Indonesia – Kaum oligarki Warga, dan Revolusi Digital menuliskan, terdapat delapan oligarki media yang punya tendensi perpolitikan di Indonesia. Surya Paloh dengan Media Group-nya (salah satunya Metro TV), Jacob Utama (Kompas Gramedia), Eddy Suriatmaja (Emtek) pemilik saham SCTV, Abu Rizal Bakrie dengan  (Visi Media Asia) salah satu media miliknya TV One dan Viva News, James Riadi dengan Berita Satu-nya, Choirul Tanjung (trans corporation) dan Detik.com, dan Dahlan Iskan dengan Jawa Pos-nya.  

Senada dengan riset Centre for Innofation Policy and Governance (CIPG), dari 1248 stasiun radio, 1707 koran dan majalah,serta 76 stasiun televisi yang ada hanya dimiliki oleh oleh 12 grup media saja. Grup yang dimaksud adalah MNC Group, Jawa Pos Group, Kompas Gramedia Group, Mahaka Media Group, Elang mahkota Teknologi, CT Corp, Visi Media Asia, Media Group, MRA Media, Femina Group, Tempo Inti Media dan Beritasatu Media Holding.

Jadi, meski secara jumlah media berkembang ternyata hanya dikendalikan oleh 12 grup itu saja. Apa yang disampaikan media ini kerapkali bertentangan dengan kepentingan publik, padahal mereka menggunakan frekuensi pemerintah yang diperuntukan untuk publik.

Adanya kuasa media semacam ini berakibat pada lunturnya peran media yang menyampaikan kebenaran, berpaku menjaga obyektifitas, seta memegang teguh keakuratan dalam penyampaian berita (informasi). Media tak lebih dari corong kepentingan politik. Nampak pada kontestasi pemilu 2014 dimana terdapat dua kandididat, yakni Prabowo Subianto dari Gerindra dan Joko Widodo dari PDI, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Jokowi. Hal itu bukan tanpa keterlibatan media. Kumparan.com menayangkan tentang keterlibatan media dalam kontestasi tersebut, dalam tayangan yang berdurasi tiga menit sepuluh detik itu dipaparkan bahwa media televisi Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh  sekaligus ketua umum Nasdem, seringkali memberitakan Surya Paloh  dari segi positif sebelum berkoalisi dengan PDIP. Namun setelah berkoalisi pemberitaan berubah, pemberitaan jokowi melesat menjadi yang terbanyak serta dengan nada yang positif, sedangkan Prabowo diberitakan secara tidak seimbang, baik jumlah maupun nada pemberitaanya. 

Stasiun televisi lain, TV One yang dimiliki oleh Abu Rizal Bakrie yang pada saat itu menjadi ketua umum Golkar. Sebelum berkoalisi dengan Gerindra, pemberitaan terbanyak adalah Jokowi, namun dengan nada negatif. Sebaliknya Bakrie diberitakan terbanyak dengan nada positif, Namun,  setelah berkoalisi pemberitaan atas Prabowo berubah 180 derajat, tak hanya banyak dalam jumlah, namun juga dalam pemberitaan bernada positif juga didominasi oleh Prabowo, yang justru berbanding dengan pemberitaan Jokowi yang diberitakan secara negatif.

Tak hanya oleh Metro TV dan TV One, stasiun televisi lain juga berubah seiring sikap politik pemiliknya. RCTI yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo sebelum berkoalisi dengan Prabowo pemberitaan Jokowi bernada negatif menjadi yang terbanyak, sama halnya Metro dan TV One, RCTI juga tidak memberitakan Prabowo sama sekali. Setelah berkolaisi pemberitaan dikatrol sehingga mengungguli kontestan politik lain. 

Dari pemaparan tersebut menunjukkan bahwa pemberitaan televisi berjalan searah dengan pergerakan politik pemiliknya. Lalu apakah hal seperti ini hanya terjadi ketika kontestasi politik saja? Tentunya tidak. Maka dari itu, sepatutnya kita untuk meragukan kebenaran dan keakuratan pemberitaan yang disampaikan oleh media. Agar tak menjadi korban dari penggiringan opini media, kita sebagai konsumen media haruslah bersikap kritis.

Media saat ini dapat menjadi agen of change, maupun agen of destroy. Menjadi agen of destroy maksudnya adalah media dapat menjadikan kita bias untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, seperti pada masa kontestasi politik. Namun, ketika kita bijak menggunakan media secara kritis media dapat menjadi agen of change. Dengan sikap kritis pula kita mampu  menguak kebohongan demi kebohongan yang disampaikan oleh para elit yang ingin mendistorsi  media demi kepentingan mereka sendiri. 

“Mari membaca, mari bersikap”

1 comment:

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.