Iklan Layanan

Cuplikan

Pungutan Liar atau Pemerataan?


Ilustrator: Chandra
Opini oleh: Chandra Nirwana


Tidak dapat dipungkiri, beasiswa merupakan ‘barang mewah’ yang dimpi-impikan oleh setiap mahasiswa yang menempuh studi. Biaya perkuliahan teratasi dengan adanya beasiswa tersebut. Sebagai contohnya, di IAIN Ponorogo, beasiswa BI (Bank Indonesia) yang diterima  oleh komunitas GENBI (Generasi Baru Indonesia) menjadi kontribusi besar bagi penyelenggaraan pendidikan di kampus tersebut. Namun tak semua mahasiswa IAIN Ponorogo bisa mendapatkannya. Selain dikenakan kewajiban untuk mengikuti tes dan mempertahankan prestasi akademik di setiap semester, jumlah penerimanya pun juga dibatasi yaitu 50 mahasiswa.
Seiring dengan pengadaan beasiswa tersebut, dikeluarkannya SK Rektor IAIN Ponorogo No. 065/In.32.1/PP.00.9/01/2019 yang memutuskan bahwa UKT penerima beasiswa BI dinaikkan menjadi golongan 5. Hal tersebut mengundang pertanyaan. Bagaimana bisa penerima beasiswa tersebut dikenakan UKT yang lebih tinggi. Padahal, sejak pertama kali masuk kuliah, penetapan UKT mereka sudah terlebih dahulu ditentukan oleh KMA. Antara lain, pada 2016 berlaku KMA No. 289 Tahun 2016 dikeluarkan saat kampus masih berstatus sebagai STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) dengan 3 gologan  UKT. Lalu, KMA No. 157 Tahun  2017 keluar dengan 4 golongan UKT. Hal ini jelas bertentangan dengan SK Rektor No. 065/In.32.1/PP.00.9/01/2019.
Naiknya nominal UKT yang harus dipenuhi oleh mahasiswa penerima beasiswa hanya didasari pada ‘asas pemerataan’. Nominal yang diambil dari mahasiswa penerima beasiswa tersebut juga akan dikumpulkan untuk kemudian disalurkan kepada negara sebagai PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dengan ‘berharap’ negara akan mengembalikannya dengan nominalnya yang lebih besar pula, sehingga kampus akan meningkatkan kualitas layanannya. Dengan semakin berkembangnya fasilitas yang ada di kampus sehingga semua mahasiswa (termasuk yang bukan penerima beasiswa) ikut menikmati fasilitas tersebut. Tak lain tak bukan, mereka turut ‘memakan’ hak mahasiswa penerima beasiswa. Kok enak sekali?

Padahal, apabila ditelusuri lebih jauh, atas dasar hukum apa penetapan UKT bagi mahasiswa penerima beasiswa tersebut? SK Rektor tidak cukup dijadikan acuan, karena isinya hanya menerangkan keputusan tentang penetapan UKT bagi mahasiswa penerima beasiswa. Penerapan SK ini tentu bertabrakan dengan KMA yang berlaku di atas.
Setidaknya, pertimbangan mengenai hal tersebut bisa jadi perlu dilakukan untuk menemui titik terang. Bila hanya menggunakan asas ‘pemerataan’, tentu hal tersebut akan konyol sekali. Bagaimana tidak, setiap kebijakan perlu ada landasan hukumnya sehingga mahasiswa-mahasiswa tak perlu ‘koar-koar’ bahkan sampai curiga  alasan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.