Iklan Layanan

Cuplikan

Dukung Suara USU, Pers Mahasiswa Madiun-Ponorogo Gelar Diskusi dan Bedah Cerpen


Ponorogo (1/4/2019), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Dewan Kota Madiun mengadakan kegiatan diskusi dan bedah cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” karya Pemimpin Umum (PU) Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatra Utara (Persma Suara USU), Yael Stefani Sinaga. Diskusi ini dipantik oleh Endrik Safudin (pengurus LKBH IAIN Ponorogo), Nofika Dian Nugroho (anggota AJI Kediri), dan Rizka Hidayatul Umami (penulis buku Dongeng Rukmini), juga dihadiri segenap anggota PPMI DK Madiun. Lohanna Wibbi Assiddi sebagai moderator acara sekaligus koordinator Badan Pekerja Advokasi PPMI DK Madiun membuka diskusi tersebut pukul 14.15 WIB.
Kronologi diberhentikannya seluruh anggota Persma Suara USU karena mengunggah cerpen yang menimbulkan polemik disampaikan oleh Zaenal Abidin, PU LPM aL-Millah IAIN Ponorogo 2017-2018 sekaligus Koordinator BP Litbang PPMI Nasional. Awalnya, cerpen yang dibuat oleh Yael diposting pada 13 Maret 2019 di situs web suarausu.co. Kemudian pada 18/3, tautan cerpen tersebut disebar melalui media sosial Persma Suara USU. Cerpen tersebut viral dan timbul pro-kontra di kalangan masyarakat akademik USU karena dianggap mengampanyekan LGBT khususnya kelompok lesbian secara eksplisit dan mengandung unsur pornografi.
Widiya selaku Pemred Suara USU dan Yael dipanggil menemui rektorat pada (19/3). Runtung Sitepu selaku rektor USU meminta mereka untuk menghapus cerpen itu dari semua situs medianya. Bahkan rektor mengancam akan mencabut SK kepengurusan mereka. Pada (20/3), situs web tersebut sempat disuspensi oleh Runtung melalui Sanger Production, pihak ketiga sebagai penyedia jasa layanan website, sehingga tidak bisa diakses.
Pada (24/3), pengurus Persma Suara USU sejumlah 18 orang mendapat undangan untuk menemui rektor pada (25/3) guna membahas cerpen yang sedang viral. Semua pengurus sepakat bahwa cerpen itu tidak mengampanyekan LGBT. Bahkan Yael menjelaskan dirinya hanya memberi gambaran bahwa masih ada perilaku diskriminasi terhadap kelompok minoritas, baik karena perbedaan orientasi seksual atau kepercayaan dan lainnya. Akhirnya Runtung mengeluarkan SK pencabutan kepengurusan 18 anggota Persma Suara USU.
Rektor memberikan waktu hingga (28/3) kepada semua anggota Persma Suara USU untuk mengosongkan sekretariat, bahkan rektor berjanji akan merekrut anggota baru menggantikan posisi mereka yang dianggap sesuai dengan visi dan misi kampus serta tidak mencoreng nama baik kampus. Tidak hanya itu, Pemerintahan Mahasiwa (Pema) USU juga mendukung tindakan orang nomor satu  di USU itu.
Nofika Dian Nugroho mengungkapkan bahwa biasanya LPM menyajikan produk jurnalistik, tetapi cerpen itu bersifat fiktif. “Sebenarnya pemberedelan atau penurunan produk LPM (dalam bentuk karya jurnalistik) bukan hal yang baru lagi, tapi kali ini cerpen. Yang jadi masalah mungkin produk itu diterbitkan di media kampus yang seharusnya ilmiah. Tapi AJI mengambil bagian di situ, yang perlu disikapi di sini secara jurnalis, LPM mengambil kebebasan berekspresi di sini. Kemarin saat FAA (Forum Alumni Aktivis), AJI mendukung solid USU dan mendampingi SK pencabutannya atau pemecatannya, bahkan AJI menempatkan persma dalam strukturnya,” ujar wartawan yang pernah menulis untuk Tempo Media ini.
Rizka Hidayatul Umami juga menanggapi bahwa sastra sendiri masih tergolong seni, bebas, dan tidak boleh diintervensi oleh apapun. Baginya, ini menyalahi yang sudah ada. Dalam sastra kita kenal dengan kritik sastra. Jika ingin mengkritik sastra harus membaca dari awal, dibedah dengan pisau analisa, mulai dari frase yang dipakai, paragraf dibedah satu persatu. “Kalo mau mengritik sebuah karya harus dengan karya. Tidak bisa diturunkan begitu saja, cerpen itu saya rasa alirannya feminis. Kalau dibandingkan dengan novel-novel Ayu Utami, Jenar, banyak kata-kata fulgar, dan itu bukan pornografi. Bahkan novel-novel itu ada tahun 60-90an,” ungkap Pemred LPM DIMeNSI tahun 2017 itu.
Persepsi pembaca, masih menurut Rizka, tidak bisa disamaratakan karena ideologi dan pandangannya juga berbeda-beda. “Si Yael juga sudah bilang kalo yang dia angkat isu diskriminasi, bukan LGBT. Kalau masalah diksi dicium, dielus-elus, perempuan dan perempuan berpelukan itu bukan hal yang tabu,” ujarnya.
Jika mengenai tulisan, Endrik Safudin memaparkan ada dua pisau analisis, yakni hermeneutika ataupun dengan teori analisis teks versi Michael Foucault. Versi Foucault menganggap ketika sebuah karya tulis telah dipublikasikan maka penafsiran atas teks itu sudah menjadi hak masing-masing pembaca, terlepas dari campur tangan penulis. Sedangkan jika memakai hermeneutika, maka penulis juga dilihat dari ideologi yang ia bawa. Hal itu bisa ditelusuri dari apa yang ia baca, atau pengetahuan yang ia dapatkan, dan bagaimana kondisi sosial lingkungan pergaulannya. Kemudian ketika tulisan itu disebar, maka setiap kepala punya kebebasan penafsiran.
Selanjutnya ia juga menerangkan kebebasan pers yang mengacu pada UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 2 tertulis, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Serta pasal 6: Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut; Pertama, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Kedua, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebinekaan. Ketiga, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Keempat,  melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Kelima,  memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Apabila informasi yang disampaikan di wilayah Indonesia layak, dan demi kepentingan umum maka tidak akan dipermasalahkan.
Endrik juga memberikan pandangan terhadap kasus tersebut dari kacamata hukum. Pola pikir masyarakat dipengaruhi oleh sejarah, ideologi dan pengetahuan yang kemudian itu membentuk nalar. Dari nalar itu akan membentuk norma dari sisi agama, hukum, sosial yang di Indonesia diwujudkan dalam bentuk Pancasila. “Kebenaran yang disuarakan PU Suara USU adalah diskriminasi minoritas LGBT. Itu yang tidak terkandung di Pancasila. Karena itulah ditolak, karena ideologinya berbeda. Kalau penulis itu berada di barat, pakai nalar itu tidak apa-apa, karena di sana suka sama suka dibolehkan. Tapi kalau di sini bertentangan. Pemahaman penulis dengan pembaca berbeda-beda. Coba tanya ke penulis, pasti pemahaman yang diperjuangkan itu yang diiyakan olehnya dan ada dalam dirinya,” kata pegiat forum diskusi Institut Kajian Agama dan Sosial itu.
Atas usulan Intan Fatmawati Sekjend PPMI DK Madiun, Persma Madiun-Ponorogo menyampaikan pernyataan sikap; pertama, menuntut rektor USU untuk mencabut SK pemberhentian terhadap 18 pengurus Persma Suara USU. Kedua, memberikan jaminan kebebasan mimbar akademik terhadap Persma Suara USU dan mahasiswa USU lainnya. Ketiga, menolak tindakan kesewenang-wenangan rektor terhadap Persma Suara USU.

Reporter: Yulia

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.