Iklan Layanan

Cuplikan

MENUJU GENERASI MILENIAL CERDAS LITERASI

MENUJU GENERASI MILENIAL CERDAS LITERASI
Oleh Maulid Robiansyah
(Mahasiswa Tadris Bahasa Inggris IAIN Ponorogo)

            
            “Sebuah bangsa besar tanpa tradisi literasi hanya akan menjadi bangsa kelas teri, perundung, pemaki, mudah diprovokasi, tanpa keluasan hati dan imajinasi”, begitulah tutur Taufik Ismail. Seorang sastrawan yang cukup terkenal di  negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Kata-kata tersebut cukup membuat kita sadar bahwa budaya literasi sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita terutama pada kaum intelektual. Literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan yang tidak hanya sebatas membaca dan menulis, akan tetapi, menurut World Economic Forum mencakup enam literasi dasar yang harus di kuasai  orang dewasa yaitu baca tulis, literasi numerasi, literasi finasial, literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, dan literasi teknologi informasi dan komunikasi atau digital (Nurul Iswari : 2017). Budaya literasi dimaksudkan untuk membangkitkan kebiasaan berfikir yang pada akhirnya bersubtansi pada tujuan menjadikan seseorang berpengetahuan luas dan dapat menghasilkan sebuah karya baru.
               Dalam konteks ini, yang menjadi permasalahan adalah minimnya budaya literasi di berbagai lapisan masyarakat, salah satunya adalah kaum intelektual di Indonesia. Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61) (Satrio Widianto : 2017).  Data dari hasil penelitian tersebut cukup menyesakkan dada, mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar tanpa adanya budaya literasi.
            Budaya literasi merupakan cerminan kemajuan bangsa. Para Antropolog bahasa seperti Lucian Levy-Bruhl, Calude Levi-Strauss, Walter Oug, dan Jack Goody memandang literasi sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dari masyarakat “beradap” (Ma’mur, 2010: 4). Dalam paradigma orang-orang di negara maju, bahwa membaca adalah suatu kebiasaan yang telah menjdi tradisi. Bagi mereka, ketika satu hari saja mereka tidak membaca, berarti ada yang kurang dalam hari-hari yang mereka jalani. Hampir di setiap sela kesibukannya, mereka sempatkan untuk membaca di mana saja mereka berada. Kemudian di berbagai negara-negara maju, aktivitas menulis telah menjadi gaya hidup, dan kebiasaan menulis berbanding lurus dengan kebiasaan membaca. Bahkan tidak hanya kaum terpelajar saja, orang-orang yang tidak terpelajar juga mempunyai kebiasaan membaca. Hal ini menunjukkan bahwa budaya literasi di negara maju sangat tinggi.
            Keadaan ini berbalik dengan negara kita saat ini. Banyak masyarakat menganggap, bahwa buku ataupun kebiasaan membaca dan menulis hanya identik dengan kaum terpelajar saja. Padahal tidak ada aturan bahwa buku itu hanya untuk kaum terpelajar melainkan untuk semua kalangan. Di negara berkembang seperti Indonesia, budaya literasi seakan tidak ada dalam sejarah masyarakat Indonesia. Padahal banyak hal yang menjadi faktor pendukung tradisi literasi di Indonesia berkembang maju. Salah satunya adanya perpustakaan umum di berbagai daerah guna meningkatkan pengetahuan masyarakat. Kemudian adanya perpustakaan keliling guna menjangkau daerah-daerah yang belum terdapat pepustakaan. Bahkan pasti di setiap sekolah terdapat perpustakaan sebagai bahan referensi penunjang akademik.
Kemudian hal yang membuktikan bahwa budaya literasi sangat minim yaitu sepinya pengunjung untuk berkunjung ke perpustakaan. Baik itu perpustakaan daerah, perpustakaan sekolah, perpustakaan keliling, bahkan perpustakaan kampus sepi akan pengunjung. Tidak hanya itu, hilangnya budaya literasi di kalangan kaum intelektual juga dibuktikan adanya tindakan plagiarisme yang marak terjadi belakangan ini. Pemalsuan karya tulis ilmiah dengan cara copy paste oleh kaum intelektual semakin marak terjadi. Hal ini tentunya disebabkan karena kaum terpelajar memiliki kesulitan ketika di suruh menyusun karya tulis ilmiah.
Di tambah lagi, perkembangan informasi seakan tidak terbendungkan lagi. Hari ini orang tidak lagi menunggu tukang koran melemparkan surat kabar untuk mendapatkan informasi, tetapi sumber informasi sepenuhnya sudah ada dalam genggaman, semua orang bebas berselancar melalui jaringan internet. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 menyatakan bahwa pengguna internet Indonesia mencapai 132,7 juta dari 256,2 juta penduduk Indonesia. Ini berarti bisa dikatakan bahwa 51,8% penduduk Indonesia telah menggunakan internet. Lebih lanjut dijelaskan bahwa peminat terbanyak pengguna internet berdasarkan usia berada pada rentang usia 10-44 tahun yang penggunanya mencapai 94 juta pengguna.

Permasalahannya, kita tidak menjamin bahwa media online dapat menyajikan informasi berbasis data yang akurat dan dapat di pertanggungjawabkan. Media online lebih mengandalkan kecepatan dari pada akurasi akibatnya berita dan konten “Hoax” tumbuh subur. Dengan semakin gampangnya berita hoax lalangbuana melintas di ruang maya, semakin rentan pula kalangan generasi muda terjerumus pada buaian berita hoax tersebut. Inilah permasalahan terbesar pada zaman “Now” ini, semakin  tingginya popularitas pengguna internet tidak diimbangi dengan kefasihan literasi teknologi dan komunikasi.  Tidak adanya pembiasaan mengenai budaya literasi menyebabkan lambat laun budaya literasi akan hilang dikalangan kaum intelektual. Lantas, bagaimana bangsa ini akan maju jika kaum terpelajar saja tidak memiliki budaya literasi itu sendiri?
            Salah satu upaya yang realistis adalah menumbuhkan budaya literasi. Budaya literasi harus di tanamkan dari diri individu saat mereka masih kanak-kanak. Membiasakan mereka untuk membaca dan mencintai buku sejak dini merupakan sebuah upaya dalam membangkitkan budaya literasi itu sendiri. Hal yang selama ini terjadi adalah orang tua selalu menuntut anak untuk belajar dalam artian membaca dan menulis. Tetapi mereka pun enggan memberi contoh bagaimana cara mencintai buku. Hal ini cukup memberi gambaran bahwa seharusnya orang tua berperan penting dalam membiasakan anak-anak untuk memiliki kebiasaan membaca dengan cara membeli buku untuk menjadi bahan bacaan di rumah. Karena pada hakikatnya keluarga adalah pendidik utama dalam membentuk karakter anak. Salah satu contoh yang relevan adalah membiasakan anak-anak hidup dalam lingkungan keluarga yang mencintai buku sejak dini.
            Selain itu sebagai kaum intelektual yang digandrungi sebagai Agent of Change sebuah bangsa, Alfi Syahriyani menjelaskan bahwa menggiatkan budaya literasi pada jenjang mahasiswa dapat dilakukan dengan cara aktif membaca, menulis, menjadi opinian leader, menggiatkan penelitian, dan menguasai bahasa Inggris adalah cara yang tepat untuk mengasah daya kritis, membumikan wacana, dan mengatasi permasalahan, baik di dalam negeri maupun di tingkat global. Dalam lingkup kehidupan masyarakat, Jika benar masyarakat telah membiasakan diri memberikan contoh untuk membaca, maka kebiasaan itu akan tetap berlanjut. Selain itu, semua lapisan masyarakat juga diharapkan bijak dalam membudayakan literasi bermedia sosial.  Adapun tindakan sederhana yang bisa kita lakukan agar tidak ikutan menyebar hoax berdasarkan tips dari Septiaji Eko Nugroho adalah 1) hati-hati dengan judul profokatif, 2) cermati alamat situs, 3) periksa data, 4) cek keaslian foto, 5) ikut dalam diskusi anti-hoax. Jika budaya literasi mutlak harus dimiliki suatu kaum intelektual, bukan hal mustahil akan menjadikan kaum intelektual Indonesia menjadi berkualitas maju, dalam artian memiliki pengetahuan yang luas, kritis, dan memiliki kuluasan hati yang tinggi dalam menyikapi berbagai persoalan di negeri ini. Salam Literasi!
                                                             DAFTAR PUSTAKA
Syahriani, Alfi.2010. Optimalisasi Budaya Literasi di Kalangan Mahasiswa Upaya Meretas Komunikasi Global. Depok: Jurnal Untuk Bangsa Seri Sosial dan Humaniora.Vol 1, no.68-78.
Hogg, Michael A. (2004). The Society Identity Prespective: Intergroup Relation, Self-Conception, and Small Group Research: Vol 35 No. 3 June 2004. (sage publication, 2004).
Asmani, Jamal Ma’mur (2010). Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif. Jogjakarta: Diva press.
Widianto, Satrio. Minat Baca, Indonesia Peringkat 60 dari 61 Negara. www.pikiran.rakyat,com/read/2017/03/17.  Di unduh pada tanggal 14 April 2018.
Iswari, Nurul. Mengapa Literasi Indonesia Sangat Terendah .https://student.cnnindonesia.com/read/2017/09/10 . Di unduh pada tanggal 14 April 2018.
Pemuda Cerdas Lawan Hoax. https://jalandamai.org/pemuda-cerdas-lawan-hoax. Di unduh pada tanggal 21 April 2018.
Cara Cerdas Memerangi “Hoax” di Media Sosial, https://nasional.kompas.com. Di unduh pada tanggal 21 April 2018.

Gambar: 
www.inspirasi.co
nl.freepik.com

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.