Agama Budha dan Islam di Sodong, Serta Prosesi Pemakaman Jenazah yang Membudaya
lpmalmillah.com – Ponorogo merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terkenal dengan sebutan Kota Reog. Selain itu, Ponorogo terkenal sebagai Kota Santri yang terbukti dengan keberadaan pondok pesantren di setiap penjuru wilayahnya. Tak mengherankan pula bila Ponorogo sarat akan nuansa keislaman. Meski demikian, kabupaten ini turut menyimpan sisi menarik yang tidak hanya melibatkan umat muslim.
Kota
Santri yang menjadikan umat Islam sebagai mayoritas ini, rupanya memiliki daerah
terpencil yang patut disorot kultur masyarakatnya. Tepatnya Dusun Sodong, Desa Gelang
Kulon, Kecamatan Sampung yang memiliki dua penganut agama, yakni Islam dan
Budha. Satu Masjid dan satu Vihara menjadi simbol perkembangannya. Lantas,
apakah keberagaman Sodong menimbulkan perpecahan? Ataukah justru menjadikan persatuan?
Kegiatan
masyarakat tetap berjalan sebagaimana dusun-dusun di Ponorogo lainnya. Kegiatan
keagamaan seperti Waisak dan Idul Fitri tidak didapati gangguan. Pertemanan di
sekolah hingga bermasyarakat dilakukan secara berdampingan. Bahkan, tak jarang ditemukan
satu keluarga dengan dua agama berbeda. Semua itu dapat dijumpai di dusun yang
menjadi perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah ini. Dusun dengan
eksistensi keberagaman penduduknya yang menganut keyakinan Islam dan Budha. Bagaimana
sebenarnya sejarah masuknya agama ke Sodong?
Masuknya Budha dan Islam ke Sodong
Masuknya
Budha dan Islam Sodong bukan semerta-merta masuk tanpa sejarah. Memurut Mulyono
Sodong memiliki 1/3 warga beragama Budha. Jumlah yang bisa dianggap banyak dibandingkan
dusun di Ponorogo pada umumnya. Patut menjadi pertanyaan besar, mana yang lebih
dulu masuk ke Sodong, agama Budha atau Islam?
Menurut Suwandi, tokoh agama Budha di
Dusun Sodong, agama Budha lebih dahulu menjadi keyakinan masyarakat sebelum
Islam datang. Itu diketahuinya dari cerita para pendahulunya. “Setau saya, Budha dulu yang masuk sini,
tapi ya hampir bersamaan”, kata Suwandi.
Senada dengan itu, Saimin sebagai
pembawa ajaran Budha mengakui, tidak sulit menyebarkan ajaran Budha karena di
Sodong saat itu belum ada agama.”Tidak
sulit. Saat itu belum ada agama”, terang Mbah Saimin, panggilan akrabnya.
Di samping itu, Mulyono selaku Kamituwo atau Kepala Dusun Sodong,
membenarkan bahwa dahulu warga yang beragama Budha jumlahnya lebih banyak, sedangkan
untuk umat beragama Islam, meskipun sudah ada namun jumlahnya masih sedikit.”Menurut cerita yang saya tahu ya, dulu yang
Budha lebih banyak. Tapi kemungkinan ada Islamnya sedikit. Islam baru banyak
tahun 90-an”, ujar Mulyono.
Sementara menurut Sunarto selaku
tokoh agama Islam, warga sudah ada yang Islam tapi tidak terlalu mengerti dan
mengamalkan ajarannya. “Setahu saya
mungkin sudah ada yang Islam tapi ndak terlalu mengerti tentang Islam.
Sepertinya tidak jauh jarak masuknya Islam dan Budha”, kata Suratno.
Meninjau
dari pernyataan yang dilontarkan, belum ada data pasti yang menjelaskan mana
keyakinan yang lebih dahulu masuk, apakah Islam atau Budha. Namun bisa ditarik
kesimpulan bahwa antara masuknya Islam dan Budha di Dusun Sodong hampir
bersamaan. Lantas, bagaimana praktek keagamaan Islam dan Budha di Sodong?
Bagaimana pula perkembangannya dari waktu ke waktu?
Agama Budha di Sodong
Agama
Budha yang tersebar di Sodong adalah Budha Therevada. Dikutip dari Wikipedia.org, Therevada berarti ‘Ajaran
Sesepuh’ atau ‘Pengajaran Dahulu’. Therevada merupakan madzhab tertua Agama
Budha yang masih bertahan. Therevada merupakan ajaran yang konservatif, dan
secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan Agama Budha pada awalnya.
Aliran
Therevada menjunjung tinggi Kanon Pali atau Tripitaka sebagai koleksi teks yang
paling otoratif pada ajaran Buddha Gautama. Tujuan utama yang ingin dicapai
adalah nirwana. Yakni keadaan dimana api hawa nafsu telah ditiup hingga padam
dan orang tersebut telah dibebaskan dari siklus berulang; kelahiran, penyakit,
penuaan, dan kematian.
Warga
beragama Budha di Sodong sudah terbiasa menjaga kerukunan. Dalam perayaan hari
besarnya, Waisak, panitia terdiri dari umat Islam dan Budha. Ada yang mendapat
bagian memasak, penerima tamu, dan lain-lain. Dalam malam kebersamaannya, grup
karawitan setempat yang terdiri dari warga Islam dan Budha tak lupa ditampilkan,
bahkan nyanyian tombo ati yang
notabene ber-genre islami pun turut
didendangkan. Walaupun sedang membantu acara dari umat Budha, umat Islam tetap
dipersilahkan untuk memakai busana muslim.
Warga
Budha melibatkan warga Islam hanya di perayaan Waisak. Sementara untuk hari
raya yang lain seperti Kathina, Asadha, dan Magha Puja hanya melibatkan warga
yang beragama Budha saja. Terkhusus kegiatan ibu-ibu, setiap Rabu mereka
mengadakan arisan di Vihara.
Suwandi
juga menyatakan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan mengenai umat Budha
dahulu dan sekarang. Dusun Sodong dianggap sudah damai sejak dulu. “Dari dulu ya kayak gini. Nggak penting
agama apa, yang penting kita rukun”, kata Wandi.
Agama Islam di Sodong
Islam
yang berkembang di Sodong adalah ahlus
sunnah wal jamaah. Ahlu sunnah wal
jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah (ajaran Rasul) dan berpegang
teguh dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah dan Sahabatnya berada di
atasnya.
Mereka
menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup mereka. Seluruh ibadah
yang dilakukan dan diamalkan adalah hasil pembelajaran Al-Qur’an dan Hadits.
Permasalahan dalam kehidupakan dilihat dari kacamata Al-Qur’an dan Hadits.
Menurut
Suratno, Islam di Sodong sudah ada sejak lama meski hanya sebatas nama tanpa
aplikasi ajaran-ajarannya. Banyak warga yang sebenarnya berstatus Islam namun
tak mengmalkan ajaran yang ada di Islam.
Suratno
melanjutkan, telah ada bilik untuk umat Islam beribadah. Namun Masjid baru
dibangun sekitar tahun 90-an. Masjid tersebut lalu digunakan untuk shalat berjama’ah
lima waktu, shalat Jumat dan shalat hari raya.
Perkembangan
agama di Sodong dari masa ke masa memberikan banyak sisi menarik yang tak terdapat
di dusun lain. Tidak adanya konflik di antara dua umat beragama yang
berdampingan menunjukkan kultur ke-Indonesiaan yang teramat kental. Warga Dusun
Sodong menunjukkan agama yang berbeda tak menjadi penghalang untuk hidup
berdampingan tanpa perpecahan.
Agama
tak membatasi kerukunan dalam kehidupan sehari-hari. Selain dalam kehidupan, pun
kerukunan patut dijaga dalam kematian. Bab kematian menyangkut prosesi
pengurusan jenazah dan pemakaman. Masyarakat Sodong tak mengabaikan hal ini.
Bagaimana warga Dusun Sodong hidup bertoleran dalam hal pemakaman? Apakah
toleransi Sodong menimbulkan perbedaan dengan proses pada umumnya? Bagaimana
proses pemakaman jenazah dalam agama Islam dan Budha?
Pemakaman Jenazah Umat Islam dan Budha
Dalam
setiap ajaran Islam maupun Budha, memiliki ajaran dan aturannya masing-masing.
Ajaran-ajaran tersebut mengatur segala hal, termasuk mengenai pemakamannya.
Setiap agama memiliki ciri khasnya.
Dalam
Agama Islam, penyiaran orang muslim yang meninggal akan diumumkan oleh Modin
melalui Masjid atau Mushola agar masyarakat sekitar mengetahui. Setelah itu,
Modin akan memimpin untuk mengurusi keperluan jenazah. Mulai dari memandikan,
mengkafani, hingga penguburannya. Jenazah akan dimandikan lalu dikafani.
Selanjutnya, jenazah akan didoakan, baru diantarkan dan dikebumikan.
Sementara
itu, Agama Budha pada umumnya memiliki dua cara pemakaman. Pertama, dengan cara
dikremasi yaitu pembakaran jenazah. Kedua, dengan cara pemakaman. Namun menurut
Yudi, salah satu umat Budha di Sodong, untuk perinciannya tidak diatur.
Berbeda
dengan Dusun Sodong yang menampilkan kekompakannya dalam serangkaian prosesi
pengurusan jenazah. Bagaimana prosesi pemakaman umat Budha di Dusun Sodong? Apa
saja perbedaannya dengan pemakaman umat Islam?
Pemakaman Jenazah Umat Budha dan Islam
di Sodong
Di
Sodong, prosesi pengurusan jenazah umat Budha tak berbeda dengan Islam. Meski
berbeda keyakinan, tugas kemanusiaan tetap dilakukan berdampingan. Lantas
bagaimana pengurusan jenazah dipraktekkan di Sodong?
Suratno
yang lebih dikenal dengan Suyut menjelaskan bahwa bila terdapat warga yang
meninggal, akan diumumkan menggunakan pengeras suara di Masjid. Baik yang
meninggal Islam maupun Budha sama-sama diumumkan di Masjid. Bahkan, pengumuman
sama-sama diawali menggunakan kalimat Innaa
lillahi wa inna ilaihi rooji’un yang menjadi ciri umat Islam. “Iya. Masjid di sini fungsinya umum”,
kata Suyut membenarkan.
Seluruh
proses pelaksanaan pengurusan jenazah di Sodong tidak berbeda meski beda agama.
Perbedaan hanya terdapat pada doa yang dipanjatkan. “Sama aja semuanya. Dari mengurus sampai slametan-nya”, terang
Suyut.
Salah
satu pengurus jenazah umat Islam itu memaparkan bahwa dalam prosesi pengurusan
jenazah umat Islam dan Budha memiliki pengurusnya masing-masing. Pengurus
sebagai pihak yang bertanggungjawab untuk memandikan, mengkafani, dan
menguburkan jenazah. Namun di luar hal tersebut, seperti penyediaan air,
penataan tempat, dan sebagainya digarap secara gotong royong.
Proses
pengurusan jenazah di Sodong tidak mencampurkan ajaran agama karena baik yang
beragama Islam maupun Budha sudah membagi tugasnya. Proses yang menyangkut jenazah
ditanggung oleh pengurus inti, sementara pengurusan tempat dilakukan bersama-sama
tanpa pembedaan agama.
Tata
cara tersebut sudah dilakukan sejak dahulu. Mengkafani jenazah bagi penganut
Budha di Sodong bukan lagi hal yang baru. Sebuah prosesi yang sebenarnya
menjadi aturan dari agama Islam sudah dianggap adat oleh masyarakat Sodong. “Mengkafani mayat itu sudah seperti adat.
Sebelum agama Budha ataupun Islam masuk”, jelas Suwandi.
Masyarakat
Sodong melestarikan adat daerahnya. Mereka menerapkan pengurusan jenazah sesuai
dengan yang diajarkan nenek moyangnya. Tanpa menimbang bahwa itu merupakan
ajaran suatu agama. Mengetahui hal tersebut, umat Islam di Sodong pun tetap mendukung
dan turut melestarikannya.
Selain
bahwa hal itu sudah merupakan adat, sebab diterapkannya pengkafanan jenazah
menurut Yudi, karena pemakaman menggunakan proses kremasi memakan banyak biaya
dan tidak terdapat tempat yang sesuai untuk pelaksanaannya. Maka, adat pengkafanan
lebih dipilih oleh masyarakat. “Kalau di
sini nggak pernah ada yang kremasi, mbak”, ujar ketua RT 01 RW 01 Dusun
Sodong ini.
Selain
tidak dilakukan kremasi, pemakaman umat Budha di Sodong juga tidak menggunakan
peti. Warga menilai hal itu justru merepotkan keluarga mendiang. “Orang mati kan nurut yang hidup, mas. Udah
sedih ditinggal kok dibuat susah dengan mikir peti yang mahal”, kata
Marsudi, salah satu warga beragama Budha.
Banyak
keluarga di Dusun Sodong yang menganut dua kepercayaan sekaligus. Jika salah
satu anggota keluarga meninggal, maka kerabat diberi kewenangan untuk memilih.
Apakah ingin diurus dan didoakan secara Islam atau Budha. “Terserah dari keluarga maunya gimana”, kata Marsudi.
Umat
Budha di Sodong tidak mempermasalahkan meski pengurusan jenazah dilakukan menyerupai
umat Islam. Doa yang dipanjatkan dan kenyamanan keluarga mendiang lebih dipentingkan.
Umat Islam pun demikian. Meski satu keluarga beda agama, tak menimbulkan pertengkaran
dalam pengurusan jenazah.
Ada
suatu keunikan dalam penggalian liang kubur. Dusun Sodong yang terdiri dari 4
RT bekerja sama dalam penguburan. Apabila jenazah merupakan warga RT 01 dan RT 02,
maka penggalian kubur akan diurus oleh warga RT 03 dan RT 04, begitu pula
sebaliknya. Sedangkan warga yang satu RT dengan jenazah akan membantu proses
pengurusan jenazah.
Hal
itu dibenarkan oleh Soneran, sesepuh yang juga pengurus jenazah umat Budha.
Meski tanpa diintruksikan lebih dahulu, warga otomatis akan bergerak. “Gak ada perintah, sudah menjadi budaya”,
ujar Soneran, pengurus jenazah umat Budha generasi ketiga ini.
Jenazah
dikebumikan di satu-satunya kuburan yang ada di Dusun Sodong, tepatnya berada
di RW 02. Keranda yang dipakai ditutupi menggunakan kain polos. Setelah jenazah
dikubur, diberi tanda berupa batu nisan. Seperti proses-proses sebelumnya, tidak
ada perbedaan walau beda agama. Hanya doa saat pemakaman yang membedakan.
Setelah
proses pemakaman, seperti yang ada di masyarakat pada umumnya, tuan rumah akan
membuka pintu untuk warga sekitar yang ingin mendoakan. Lagi-lagi, agama tak
menjadi halangan untuk saling mendoakan. “Jika
ada yang meninggal, ya kami tetap berziarah walaupun beda agama. Tapi doanya
tetap ikut kerabatnya”, jelas Sugiyatmi, salah satu warga beragama Islam.
Mulyono
membenarkan itu sudah menjadi adat warga setempat. “Ya memang seperti itu dari dulu. Kami ya mengantar sampai kuburan, ya
mendoakan sesuai keyakinan masing-masing”, kata dia.
Prosesi
pengurusan jenazah hingga pemakaman di Sodong menunjukkan ajaran agama telah
menyatu menjadi budaya. Hubungan antar umat kedua agama sangat menunjukkan
keharmonisannya. Agama tak menjadi batasan untuk saling membantu. Kerukunan dan
persatuan yang lebih utama. Mengutip perkataan Suwandi, “Agama pilihan pribadi, namun kerukunan itu kewajiban bersama”.
Penulis : Azka
Reporter : Azka, Fandy, Alwi
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.