Iklan Layanan

Cuplikan

HUJAN DAN AWAN



HUJAN DAN AWAN
Oleh Lohanna Wibbi Assiddi
 
Hujan akan turun sepanjang peradaban umat manusia, sedangkan awan selalu menemani dan mengiringinya sebagai pelengkap. Hujan dan awan bagaikan organisme yang tak terpisahkan, mereka layaknya kekasih yang selalu bersma kemanapun berada.
            Pagi itu awan kembali datang. Awan hitam di iringi angin yang membawanya ke arahku, tepat di atasku. Jika aku tidak salah, dan tentunya tidak akan salah maka sebentar lagi akan turun hujan. Hujan yang kemungkinan besar sangat lebat sekali. Oun kehadiran petir dan angin turut memeriahkan pertemuan hujan dan awan.
            Aku duduk di tepi teras rumahku, sambil membaca sebuah buku kumpulan puisi yang sedang menceritakan hujan, awan, dan percintaan. Aku  masih saja diam tidak memperhatikan hujan yang sesaat lagi akan turun membasahi bumi yang kupijak ini. Aku masih saja diam, walau kutahu hujan akan membasahi diriku dan juga buku yang sedang kubaca.
            Awan datang bergelombang-gelombang bak air laut yang terkena angin sehingga dia menciptakan ombak yang indah. Meski kadang kala ia juga mematikan. Awan datang mendahului hujan, memastikan hujan dapat turun membasahai bumi dengan selamat. Sementara angin dengan segala keperkasaannya memandu awan supaya tidak tersesat di jalan.
            Hujan dan awan atau awan dan hujan, tentu mereka tidak akan bisa bergerak tanpa bantuan angin. Anginlah yang mengawinkan mereka, mempertemukan mereka sehingga mereka bisa menjadi rahmat bagi bumi ini. Aku tidak akan mengomentari masalah angin ini, biarlah dia dengan sendirinya berjalan sesuka hati. Biarlah dia bercumbu dengan air, api, tanah, dan jika aku pikir tentu awan juga sudah bercumbu dengan angin. Alangkah gilanya angin ini, aku tidak akan membicarakannya.
***
            Aku bertanya pada kekasihku, “Sayang! jika kita ibaratkan awan dan hujan kamu akan memilih jadi siapa?” Dia menjawab bahwa jika begitu maka dia akan memilih jadi hujan. Kenapa? karena ketika jadi hujan dia akan bersahabat dengan petir dan petir itulah yang akan menghukum diriku jika aku berbuat mesum dengan angin.
            “Kenapa tidak menjadi awan sayang?” tanyaku lagi padanya, dia malah tersenyum dan mencium keningku. Aku lupa jika tugas awan adalah memastikan keamanan hujan ketika turun ke bumi, maka tugas itulah yang harus kuemban sebagai seorang lelaki. Aku tersenyum dan kemudian berkata padanya, “Ah, tidak takutkah kamu jika aku dan angin bercumbu mesra?” Dia tidak menjawabnya dan hanya tersenyum manis sekali laksana hujan yang murah hati memberikan airnya pada bumi yang kehausan.
***
            Aku masih duduk santai ketika hujan sudah mulai turun. Bukahkah hujan juga ibarat perselingkuhan, bukankah dia turun ke bumi dan dia bercumbu mesra dengan bumi. Sementara awan di biarkan di atas sana. Sehingga ketika hujan jatuh ke bumi, maka perlahan awan akan menghilang, mungkin dengan tangis kekecewaan.
            Gumamku saat hujan mulai deras, bukankah awan juga begitu, saat angin membimbingnya membawa kearah tujuan hujan, pada saat itulah awan bermesraan dengan angin, bahkan mungkin mereka akan bercinta sepuas mereka. Saat hujan kelelahan bercinta dengan bumi maka dia akan terjatuh semuannya. Pada saat itulah awan kembali bercinta dengan angin. Bisa juga awan bercinta dengan petir ketika hujan sedang asik bercinta dengan bumi.
            Hujan masih mengguyur bumi yang aku pijak, tapi aku tetap diam saja, aku diam tak bergerak, aku sedang asik dalam pikiranku. Hujan, awan, serta petir tidak kurasakan. Bahkan angin yang membawa hawa dingin es kutub tidak juga aku rasakan. Aku tenggelam dalam pikiranku yang dalam, sihingga mereka tidak bisa memaksaku pindah dari tempat dudukku. “Jadi di manakah letak per-ibaratan tentang sepasang kekasih”, kataku berfikir. “Bagaimana awan dan hujan ini menjadi sepasang kekasih?” dan aku masih terus berfikir.
            Mereka bebas bercinta dengan siapa saja, dengan angin, dengan bumi, dengan petir bahkan kadang dengan dingin yang memang selalu menggiurkan untuk dicinta. Di mana mereka meletakkan cintanya, bebas bercinta dengan siapa saja tentu bukan yang dinamakan cinta.
            Sejarah telah mengungkapkan jika Cleopatra tidak mengenal cinta, dia adalah ratu yang sakit, dia ratu yang aneh, memelihara pria-pria sebagai pemuas nafsunya. Tapi di sisi lain dialah wanita perkasa, wanita yang tidak bisa dijadikan budak dan pemuas nafsu. Para pria malah dia jadikan sebagai budaknya. Jadi bukankah pria dan wanita itu sederajat bisa jadi budak dan bisa membudak. Cleopatra yang gila karena nafsunya ini apakah benar-benar gila?, atau karena dia wanita sehingga dianggap gila, bukankah Daud juga mempunyai istri tidak terhingga?, bukankah raja-raja jawa juga memiliki lebih dari satu istri, maka di mana letak ke-gila-an Cleopatra ini?
            Aku semakin bingung saja, tidak juga aku menemukan jawaban dari pertanyaanku ini. Hujan dan awan, ke dua-duanya sama-sama gila tentang nafsu. Mereka saling mengumbar nafsunya, mereka juga tahu jika masing-masing memuaskan diri dengan angin, bumi, petir bahkan kadang dengan dingin yang menawan. Lantas kenapa mereka tetap diam saja, tidak memarahi atau saling marah, mereka diam saja. Seribu tahun, tentu lebih dari itu. Saat aku membaca buku sejarah aku mengetahui jika awal pertemuan mereka adalah saat hujan pertama kali turun. Jika aku tidak salah membaca, maka hujan dan awan bertemu sekitar 4 milyar tahun yang lalu, dan selama itu pula mereka bercinta di belakang kekasihnya, juga selama itu mereka diam membiarkan atau malah merestui hubungan gelap mereka masing-masing.
            Hujan semakin deras mengguyur bumi pijakannku, angin meramaikannya. Seoalah mereka bertiga angin, bumi dan hujan bercinta sekaligus. Mereka asik sehingga hujan dan gemuruh angin menakutkan manusia. Hanya aku yang dibawahnya menyaksikan tiga ciptaan Tuhan ini bercinta. Tidak butuh waktu yang lama petir menyusul mereka bertiga, “ah, gila”, pikirku. Empat sekaligus, mereka bercinta tanpa rasa canggung akan keadaan awan yang hanya di atas sana. Memandang kekasihnya jadi rebutan tiga hidung belang. Awan sendirian entah apa yang dia pikirkan, mungkin sama seperti diriku ini, memikirkan tentang cinta dan kesetiaan.
***
            Aku menyeruput kopiku, inilah indahnya kopi, dia akan setia pada gula, dia tidak pernah ikut campur dalam percintaan hujan, dia hanya setia pada satu, yakni gula. Dan hujan walaupun dia menggoda kopi tapi tetap saja kopi tidak tergoyahkan, aku meminumnya lagi, tetap dengan rasanya yang khas, yakni pahit.
            Hujan masih saja asik bercinta dengan tiga mahkluk tadi. Dia memang perkasa, dan mungkin inilah alasan awan tetap setia pada hujan. Hujan adalah yang paling perkasa, tentu awan puas sekali dengan hujan. Aku kembali meminum kopiku.
            “Hai!”, aku kaget setengah mati, sosok wanita cantik tiba-tiba menyapaku, ditengah guyuran hujan yang deras sekali. Kubawa dia masuk ke dalam kamarku, aku kasih dia handuk guna mengeringkan tubuhnya. Bagai tidak ada kesadaran, aku dan dia sudah bercinta entah siapa yang memulai, aku tidak tahu siapa yang memulai.
            “Aku adalah hujan yang tadi kau pikirkan”, katanya kemudian berlalu, aku tidak bisa berkata-kata, aku terdiam. Hujan, dia telah bercinta denganku, dan akankah dia melahirkan anak dariku, “ah tentu tidak”, batinku, dia telah bercinta dengan 3 makluk sebelumku dan buahnya tentu mendahului buahku.
            “Gus bangun!, lihat kamarmu bocor itu, bukumu basah semua”, kata Andi membangunkanku. Sontak aku bangun dan kemudian berfikir lalu tersenyum, ternyata cuma mimpi.
                                                            Ponorogo, 01-03-2017, pukul 11:24

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.