Setelah Menjadi UIN, What's Next?
Upaya alih status Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Ponorogo menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Ageng Muhammad
Besari telah membuahkan hasil. Di akhir Mei ini, akhirnya dasar hukum
kelembagaan yang dipayungi melalui Peraturan Presiden telah ditandatangani—secara
simbolis telah diserahterimakan pada Senin, 26 Mei 2025 di Jakarta. Namun, apakah alih status hanya sebatas
perubahan nama? Tentu tidak.
Memonten ini sejatinya merupakan mandat baru
dalam meneguhkan pergeseran visi kelembagaan, arah keilmuan, sekaligus tanggung
jawab sosial. Momentum ini pada dimensi yang lain menuntut keseriusan menjawab
tantangan zaman, terutama ketika dunia memasuki era Artificial Intelligence—teknologi
super cerdas yang menggabungkan teknologi mutakhir dengan kerja-kerja manusia.
Sebagai perguruan tinggi Islam yang memiliki
visi menjadi “Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu Keislaman yang Unggul dalam
Rangka Mewujudkan Masyarakat Madani”, IAIN Ponorogo memikul amanah penting:
mengintegrasikan ilmu keislaman dengan sains modern secara proporsional dan
kontekstual. Transformasi menjadi UIN bukan hanya berarti membuka program studi
umum, tetapi membangun jembatan antara ilmu agama dan ilmu dunia yang inklusif
sekaligus berkarakter lokalitas—sebuah agenda besar yang tak bisa dilepaskan dari
urgensi integrasi keilmuan.
Dalam konteks saat ini, alih status IAIN menjadi
UIN memiliki dua tantangan utama. Pertama, tantangan substansial: bagaimana
memperluas cakupan keilmuan tanpa kehilangan identitas keislaman. Kedua,
tantangan kelembagaan: bagaimana membangun sistem tata kelola yang transparan,
profesional, dan inovatif di tengah kompleksitas birokrasi pendidikan tinggi
keagamaan.
Dalam konteks politik kebijakan publik,
transformasi ini dapat dibaca sebagai wujud dari agenda reformasi kelembagaan
negara. Merujuk pada teori new institutionalism yang diusung Walter W. Powell & Paul J. DiMaggio (1983), setiap
perubahan struktur membawa perubahan nilai, norma, dan perilaku. Maka,
keberhasilan transformasi IAIN Ponorogo ke UIN akan sangat ditentukan oleh
kesiapan aktor-aktor internal—dosen, tenaga kependidikan, dan manajemen
kampus—dalam menerima dan mengelola perubahan tersebut.
Perlu ditegaskan bahwa perubahan status
kelembagaan seharusnya diiringi pula dengan penguatan mutu tridharma perguruan
tinggi. Pengembangan riset interdisipliner, hilirisasi hasil penelitian, serta
pengabdian masyarakat berbasis nilai-nilai Islam harus menjadi prioritas. UIN bukan
hanya pusat pengajaran, tetapi juga pusat penelitian, kajian, pemikiran, dan
transformasi sosial.
Dalam aspek hukum, transformasi ini juga harus
tunduk pada mandat konstitusi. Pasal 31 dan 32 UUD 1945 menegaskan peran negara
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Dengan
demikian, UIN sebagai institusi pendidikan tinggi Islam memiliki peran
strategis dalam membangun peradaban yang inklusif, demokratis, dan bermoral.
Namun, yang menjadi tantangan adalah realitas di
lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit perguruan tinggi Islam yang menempuh
jalan alih status justru terjebak pada perluasan administratif, bukan
peningkatan kualitas. Ini menjadi pelajaran penting bagi IAIN Ponorogo agar
tidak sekadar menambah fakultas dan prodi umum, melainkan juga menyiapkan
kurikulum integratif, kapasitas SDM unggul-inovatif, serta infrastruktur
akademik yang memadai.
Lebih dari itu, alih status ini juga harus
berdampak nyata bagi masyarakat sekitar. IAIN Ponorogo, yang berada di daerah
dengan tradisi pesantren kuat dan karakter sosial religius, seharusnya dapat
menjadi model kampus yang membumikan ilmu sekaligus menghujamkan akar pemikiran.
Konsep masyarakat madani (civil society) yang melekat dalam visinya
hanya akan hidup jika kampus hadir dalam dinamika sosial—mendorong toleransi,
memberdayakan ekonomi umat, dan menumbuhkan budaya kritis.
Sebagaimana yang diteladankan Kiai Ageng
Muhammad Besari di masa itu, yang memiliki karakter faqih fi mashalihi
al-khalqi; memahami dan mengenal dengan baik realitas umat, sekaligus
dimensi kemaslahatan publik. Beliau memiliki pemahaman yang baik dalam
ilmu-ilmu agama sekaligus menjadi inspirasi dan motivasi harmoni sosial
keagamaan. Kiai Ageng Muhammad Besari juga memiliki dedikasi yang tinggi dalam
mendidik santri-santrinya menjadi tokoh-tokoh nasionalis dan tokoh-tokoh
religius di masa depan.
Peluang besar juga semakin terbuka ketika UIN
Ponorogo mampu memanfaatkan kekhasan lokal, seperti seni Reyog dan kearifan
pesantren. UIN masa depan dapat menawarkan model Islam yang berakar, moderat,
dan adaptif terhadap zaman.
Namun, semua itu membutuhkan komitmen politik
yang kuat dari Kementerian Agama dan manajemen internal kampus. Alih status
harus diiringi dengan pendanaan yang proporsional, kebijakan afirmatif bagi
penguatan akademik, serta pembinaan SDM secara sistematis. Di sinilah UIN
Ponorogo harus hadir sebagai kampus Islam yang tidak hanya unggul dalam wacana,
tetapi juga transformatif dalam tindak laku dan gerak langkah. Tanpa itu,
perubahan hanya akan berhenti pada papan nama. Semoga!
Editor: Rena
*Penulis adalah Founder Pusat Studi Hukum dan Kebijakan; Pengajar Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.