Iklan Layanan

Cuplikan

Setelah Menjadi UIN, What's Next?

Foto: tiktok.com/@zamzam_mustofa

Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli;
Menyesuaikan mengalirnya air, sengaja mengikuti arus tetapi jangan terbawa arus
(Serat Lokajaya, Lor 11: 629)

Upaya alih status Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Ageng Muhammad Besari telah membuahkan hasil. Di akhir Mei ini, akhirnya dasar hukum kelembagaan yang dipayungi melalui Peraturan Presiden telah ditandatangani—secara simbolis telah diserahterimakan pada Senin, 26 Mei 2025 di Jakarta. Namun, apakah alih status hanya sebatas perubahan nama? Tentu tidak.

Memonten ini sejatinya merupakan mandat baru dalam meneguhkan pergeseran visi kelembagaan, arah keilmuan, sekaligus tanggung jawab sosial. Momentum ini pada dimensi yang lain menuntut keseriusan menjawab tantangan zaman, terutama ketika dunia memasuki era Artificial Intelligence—teknologi super cerdas yang menggabungkan teknologi mutakhir dengan kerja-kerja manusia.

Sebagai perguruan tinggi Islam yang memiliki visi menjadi “Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu Keislaman yang Unggul dalam Rangka Mewujudkan Masyarakat Madani”, IAIN Ponorogo memikul amanah penting: mengintegrasikan ilmu keislaman dengan sains modern secara proporsional dan kontekstual. Transformasi menjadi UIN bukan hanya berarti membuka program studi umum, tetapi membangun jembatan antara ilmu agama dan ilmu dunia yang inklusif sekaligus berkarakter lokalitas—sebuah agenda besar yang tak bisa dilepaskan dari urgensi integrasi keilmuan.

Dalam konteks saat ini, alih status IAIN menjadi UIN memiliki dua tantangan utama. Pertama, tantangan substansial: bagaimana memperluas cakupan keilmuan tanpa kehilangan identitas keislaman. Kedua, tantangan kelembagaan: bagaimana membangun sistem tata kelola yang transparan, profesional, dan inovatif di tengah kompleksitas birokrasi pendidikan tinggi keagamaan.

Dalam konteks politik kebijakan publik, transformasi ini dapat dibaca sebagai wujud dari agenda reformasi kelembagaan negara. Merujuk pada teori new institutionalism yang diusung Walter W. Powell & Paul J. DiMaggio (1983),  setiap perubahan struktur membawa perubahan nilai, norma, dan perilaku. Maka, keberhasilan transformasi IAIN Ponorogo ke UIN akan sangat ditentukan oleh kesiapan aktor-aktor internal—dosen, tenaga kependidikan, dan manajemen kampus—dalam menerima dan mengelola perubahan tersebut.

Perlu ditegaskan bahwa perubahan status kelembagaan seharusnya diiringi pula dengan penguatan mutu tridharma perguruan tinggi. Pengembangan riset interdisipliner, hilirisasi hasil penelitian, serta pengabdian masyarakat berbasis nilai-nilai Islam harus menjadi prioritas. UIN bukan hanya pusat pengajaran, tetapi juga pusat penelitian, kajian, pemikiran, dan transformasi sosial.

Dalam aspek hukum, transformasi ini juga harus tunduk pada mandat konstitusi. Pasal 31 dan 32 UUD 1945 menegaskan peran negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Dengan demikian, UIN sebagai institusi pendidikan tinggi Islam memiliki peran strategis dalam membangun peradaban yang inklusif, demokratis, dan bermoral.

Namun, yang menjadi tantangan adalah realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit perguruan tinggi Islam yang menempuh jalan alih status justru terjebak pada perluasan administratif, bukan peningkatan kualitas. Ini menjadi pelajaran penting bagi IAIN Ponorogo agar tidak sekadar menambah fakultas dan prodi umum, melainkan juga menyiapkan kurikulum integratif, kapasitas SDM unggul-inovatif, serta infrastruktur akademik yang memadai.

Lebih dari itu, alih status ini juga harus berdampak nyata bagi masyarakat sekitar. IAIN Ponorogo, yang berada di daerah dengan tradisi pesantren kuat dan karakter sosial religius, seharusnya dapat menjadi model kampus yang membumikan ilmu sekaligus menghujamkan akar pemikiran. Konsep masyarakat madani (civil society) yang melekat dalam visinya hanya akan hidup jika kampus hadir dalam dinamika sosial—mendorong toleransi, memberdayakan ekonomi umat, dan menumbuhkan budaya kritis.

Sebagaimana yang diteladankan Kiai Ageng Muhammad Besari di masa itu, yang memiliki karakter faqih fi mashalihi al-khalqi; memahami dan mengenal dengan baik realitas umat, sekaligus dimensi kemaslahatan publik. Beliau memiliki pemahaman yang baik dalam ilmu-ilmu agama sekaligus menjadi inspirasi dan motivasi harmoni sosial keagamaan. Kiai Ageng Muhammad Besari juga memiliki dedikasi yang tinggi dalam mendidik santri-santrinya menjadi tokoh-tokoh nasionalis dan tokoh-tokoh religius di masa depan.

Peluang besar juga semakin terbuka ketika UIN Ponorogo mampu memanfaatkan kekhasan lokal, seperti seni Reyog dan kearifan pesantren. UIN masa depan dapat menawarkan model Islam yang berakar, moderat, dan adaptif terhadap zaman.

Namun, semua itu membutuhkan komitmen politik yang kuat dari Kementerian Agama dan manajemen internal kampus. Alih status harus diiringi dengan pendanaan yang proporsional, kebijakan afirmatif bagi penguatan akademik, serta pembinaan SDM secara sistematis. Di sinilah UIN Ponorogo harus hadir sebagai kampus Islam yang tidak hanya unggul dalam wacana, tetapi juga transformatif dalam tindak laku dan gerak langkah. Tanpa itu, perubahan hanya akan berhenti pada papan nama. Semoga!


Penulis: Lukman Santoso Az*
Editor: Rena

*Penulis adalah Founder Pusat Studi Hukum dan Kebijakan; Pengajar Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.