Iklan Layanan

Cuplikan

Samudra Ilmu Cak Nur dengan Pluralismenya

id.wikipedia.org

Oleh: Syamsulhadi 
   Nur Colis Majid yang akrab disapa Cak Nur merupakan salah satu cendekiawan muslim yang dimiliki Indonesia. Mesir memiliki Muhammad Abduh, Nasr Hamid Abu Zayd. Iran memiliki Abdulkarim Soroush. Sudan memiliki Abdullah Ahmed An-Na’im, Mahmoud Taha. India memiliki Insinyur Asghar Ali. Maroko memiliki Mohammed Abed Al-Jabiri. Maka Indonesia patut berbangga memiliki mega intelektual Cak Nur.

    Cak Nur lahir di Mojoanyar, Jombang pada 17 Maret 1939 pada masa Hindia Belanda, kemudian ia meninggal di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 2005. Ia lahir dari golongan orang yang hebat, hidup dengan keluarga santri. Ayahnya merupakan seorang ulama termasyhur dan salah satu tokoh Masyumi yaitu KH. Abdul Majid. Cak Nur memulai pendidikan di Pesantren Rejoso, Jombang. Kemudian melanjutkan studinya ke Pesantren Gontor, setelah lulus dari Gontor ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta hingga pascasarjana. Studi Doktornya ditempuh di Universitas Chicago, Amerika Serikat dengan Disertasi yang berjudul “Ibn Taimiyah pada Kalam dan Filsafat: Masalah Nalar dan Wahyu dalam Islam.”

    Cak Nur ibarat mata air, yang mengalirkan air dari atas bukit, mengarungi tanah yang gersang dan menyegarkan tanaman yang layu, menyusuri lembah dan bermuara di luasnya samudra. Karena kekayaan ilmu dan pemikiranya ia ikut andil memberikan gagasan untuk peradaban Indonesia. Di Kalangan cendkiawan, baik dari akademisi, mahasiswa dan pelajar maupun dari kalangan  lain, Cak Nur dikenal dengan gagasannya yaitu Pluralisme Agama.

    Terkait Relevansi Pluralisme Agama, Indonesia yang sangat heterogen dan majemuk, berbagai suku, bangsa, ras dan agama. Sepanjang dinamika perjalanan bangsa Indonesia, masih banyak fanatisme di kalangan masyarakat terutama dalam hal beragama. Menganggap bahwa agama yang dianut masing-masing itu memiliki kebenaran yang absolute dan menganggap agama yang dianut orang lain itu salah, sesat dan sebagainya. Sehingga menimbulkan polemik di masyarakat dan menimbulkan embrio kebencian dan sentimen agama sehingga memanifestasikan kekerasan.

    Sebagai contoh konflik agama di Indonesia adalah Konflik di Poso antara Islam dan Nasrani terjadi pada tahun 1998 sampai 2000, konflik Ambon antara Islam dan Nasrani terjadi pada tahun 1999 dan masih banyak lagi. Dengan adanya konflik tersebut kemudian banyak spekulasi-spekulasi masyarakat non Islam bahwa Agama Islam merupakan agama yang keras, ekstrim dan menghalalkan kekerasan. Begitupun sebaliknya, Islam menganggap agama lain itu sesat halal darahnya dan sebagainya. Kemudian dalam gagasannya, Cak Nur memberikan paradigma tentang Islam yaitu pluralisme, Islam inklusif, Islam dialogis dan humanis.

Pluralisme
    Pluralitas merupakan sunatullah yang tidak bisa dihindari dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Untuk menyikapi pluralitas yang ada maka harus dibangun sebuah konsep yang bernama Pluralisme. Pluraliseme disini tidak boleh dipahami dengan sudut pandang golongan yang sudah membatasi ilmu dan pikirannya dengan stigma buruk bahwa pluralisme menyamakan semua agama, tentunya tidak, gagasan Cak Nur ini bukan berarti menyama ratakan agama. Karena dalam hal akidah atau keyakinan agama tidak bisa disamakan. Karena setiap agama mempunyai landasan hukum yang berbeda.
   
    Konsep pluralisme Cak Nur mengakomodasi keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural, baik dari suku, etnis, budaya, adat istiadat maupun agama.
   
    Dari segi agama, bangsa Indonesia mewakili tumbuh dan berkembangnya agama-agama besar yang ada di dunia. Bagi Cak Nur keyakinan merupakan hak paling mendasar bagi setiap manusia dan tidak bisa dipisahkan. Bahkan Nabi Muhammad Saw pun tidak bisa memaksakan orang lain untuk percaya dan mengikuti beliau. karena menurut Cak Nur tugas dari kenabian ialah menyampaikan berita tentang Islam kepada umatnya.

Islam Inklusif
    Dengan tegas bahwa Islam adalah agama yang terbuka, umat Islam harus tampil dengan percaya diri, arif dan bijaksana dalam menghadapi kemajemukan. Sifat inklusif sangat dianjurkan dalam menjalani hidup di tengah pluralisme agama. Sikap inklusif tersebut tentunya meniscayakan pluralisme dan bisa juga sebaliknya, bahwa pluralisme menuntut adanya sikap inklusivisme.
   
    Secara ekspresif, Cak Nur mengemukakan bahwa pluralisme agama yang substansial adalah paham inklusif yang berarti bahwa seluruh kebenaran ajaran agama lain ada juga di dalam agama kita. Ia menunjukan bahwa tidak ada kebenaran mutlak dan adanya pengakuan kebenaran dari agama lain. Pengakuan ini bukan berati menafikkan kebenaran dan pemahaman agama pada diri sendiri sebagai agama yang dipeluk. Oleh karena itu pluralisme agama hanya ada kalau memanifestasikan sikap keterbukaan, saling menghargai dan toleransi. Ajaran ini menegaskan pengertian dasar bahwa semua pemeluk agama diberi kebebasan untuk hidup.

Islam Dialogis dan Humanis
    Konsep dakwah dialogis dan humanis sangatlah dianjurkan terhadap masyarakat yang heterogen dan umat Islam sendiri secara mendasar akan menjadikan umat yang menjalankan kepatuhan dan kedamaian. Dalam komunitasnya, mampu menyatukan pemahaman terhadap masyarakat, tepo sliro, serta sikap saling menghargai.

    Dialog adalah suatu bentuk aktivitas yang menyerap ide keterbukaan. Sebab dialog tidak akan mungkin terlaksana kalau tidak didasari dengan sikap terbuka. Dialog antar keyakinan itu bukan hanya mungkin namun juga perlu untuk melahirkan pemahaman yang benar terhadap keyakinan beragama. Agama harus menyadari kenyataan tentang pluralisme. Sebab hanya dengan cara itu hubungan dialogis bisa dibangun.

    Islam merupakan agama kemanusiaan. Dalam pandangan mengenai hubungan Islam dan pluralisme sebenarnya berpijak pada humanitas dan universalitas Islam. Universalitas Islam di sini secara teologis diartikan bahwa semua agama yang benar adalah Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan dan perdamaian. Menurut Cak Nur umat Islam sebagai golongan mayoritas harus menjadi golongan yang tampil dengan percaya diri yang tinggi, bersikap sebagai pengayom dan bisa ngemong (menjaga) golongan-golongan laninya, bekerja sama dengan kebaikan tanpa membeda-bedakan.

    Dengan kesimpulan di atas dapat digaris bawahi bahwa ketika berada di dalam masyarakat yang plural terutama dalam beragama, harus mengedepankan rasa Tasamuh (saling menghormati) tanpa melihat apa agamanya dalam menjalankan dinamika sosial. Di dalam Islam sendiri mengenal ayat “Khablun mina Allah wa Hablun mina naas” bahwa sebagai umat harus menjalankan hubungan baik secara vertikal yaitu berhubungan baik kepada Allah dalam beribadah Mahdlloh, dan menjalankan hubungan baik secara horizontal, yaitu berhubungan baik kepada sesama manusia, tanpa melihat latar belakang agamanya.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.