Iklan Layanan

Cuplikan

Sebuah Cerpen yang Mempertaruhkan Idealisme

 

(Ilustrasi: AI Ilustration)

Cerpen: Krisna

Aji merupakan seorang mahasiswa jurusan sastra yang berada di salah satu Universitas Negeri. Ia memiliki minat yang besar terhadap politik dan sastra. Ia sering menulis puisi, cerpen, dan esai yang mengkritik kondisi politik di Indonesia. Ia juga sering mengikuti diskusi, seminar, dan demonstrasi yang berkaitan dengan isu-isu politik dan sosial. Dalam jiwanya tumbuh keinginan menjadi seorang penulis dan aktivis yang bisa memberikan perubahan bagi bangsa dan negara.

Suatu hari, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah lomba menulis cerpen nasional yang diselenggarakan oleh sebuah majalah terkenal. Ia sangat bersemangat dan tertantang untuk mengikutinya, karena ia berpikir bahwa ini adalah kesempatan yang baik untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya. Ia berharap bisa menulis cerpen yang bisa menyentuh dan menggugah hati para pembaca dan juri. Ia berharap bisa menang, mendapat penghargaan, juga publikasi.

Di luar itu semua, ia tidak menyangka bahwa akan menghadapi dilema dan konflik yang besar dalam proses menulisnya. Ia merasakan tekanan dan godaan yang kuat dari berbagai pihak. Ia sering mendapat saran dan masukan dari teman-temannya, juga dosen-dosen. Tak jarang, Aji mendapat anjuran dan rayuan dari orang-orang yang berkepentingan untuk menulis cerpen yang mendukung dan memuji mereka. Bahkan, ia pernah mendapat ancaman dan pemerasan dari orang-orang yang tidak suka dengan kegiatan menulis cerpen yang ia lakukan, karena dianggap mencemarkan nama baik mereka.

Salah satu konflik yang ia alami adalah dengan Rina, salah satu temannya yang aktif dalam organisasi mahasiswa. Rina memiliki pandangan politik yang berbeda dengan Aji. Ia lebih pragmatis dan oportunis. Ia lebih memilih untuk menulis cerpen yang bisa menguntungkan dan membesarkan dirinya dan organisasinya. Ia berusaha untuk mempengaruhi Aji untuk menulis cerpen yang sesuai dengan harapannya.

"Aji, kamu mau ikut lomba menulis cerpen itu, kan?" tanya Rina.

"Iya, kenapa?"

"Kamu harus hati-hati, lho. Lomba itu, kan, diselenggarakan oleh majalah yang pro-pemerintah. Mereka pasti punya agenda tertentu. Jangan sampai kamu menulis cerpen yang menjelek-jelekkan pemerintah atau menyanjung-nyanjung oposisi. Nanti kamu bisa kena masalah," saran Rina berniat mempengaruhi.

"Apa maksudmu? Aku, kan, cuma mau menulis cerpen yang sesuai dengan pandanganku. Aku, kan, punya hak untuk menyuarakan pendapatku. Aku tidak takut untuk mengkritik pemerintah yang korup dan gagal dalam memimpin. Aku tidak malu untuk mendukung oposisi yang berani dan bersih. Aku tidak mau diam dan pasrah melihat kondisi politik yang buruk," ujar Aji yang keukeuh dengan pendapatnya.

"Ya, tapi kamu harus realistis, Aji. Kamu mau menang lomba, bukan? Kamu harus tahu selera dan keinginan juri. Kamu harus bisa menulis cerpen yang bisa membuat mereka senang dan terkesan. Kamu harus bisa menulis cerpen yang bisa mendapat penghargaan dan publikasi. Kamu harus bisa menulis cerpen yang bisa membuka jalan dan menunjang karirmu." Rina berargumen dengan segala bujuk rayunya.

"Aku tidak peduli dengan semua itu, Rin. Aku tidak mau menulis cerpen hanya untuk menyenangkan dan mengesankan orang lain. Aku tidak mau menulis cerpen untuk sekadar mendapat penghargaan dan publikasi. Aku mau menulis cerpen yang bisa memberikan perubahan politik negeri ini," jelas Aji tidak terpengaruh pendapat Rina.

"Dasar idealis. Kamu itu terlalu naif dan keras kepala. Kamu itu tidak tahu diri dan situasi. Kamu itu hanya mau menulis cerpen yang bisa membuatmu puas dan bangga. Kamu hanya mau menulis cerpen yang bisa membuatmu bermasalah dan tersingkir. Kamu tidak sadar bahwa cerpen yang akan kamu tulis hanya akan membuatmu gagal dan menyesal," sindir Rina.

"Dasar oportunis. Kamu itu terlalu pragmatis dan pengecut. Bahkan kamu tidak punya idealis, Rin. Kamu hanya mau menulis cerpen yang bisa membuatmu aman dan nyaman. Kamu hanya mau menulis cerpen yang bisa membuatmu populer dan sukses. Pun kamu menulis cerpen hanya untuk kekayaan dan kekuasaan," balas Aji tak kalah sengit.

Mereka pun beradu argumen dan saling menyalahkan. Mereka tidak bisa mencapai kesepakatan dengan baik. Pada akhirnya mereka berpisah dengan perasaan marah yang membara di dada masing-masing.

Selain dengan Rina, Aji juga mengalami konflik dengan Pak Budi, seorang dosen yang juga anggota partai yang sedang berkuasa. Pak Budi memiliki kepentingan politik yang berbeda dengan Aji. Ia lebih pragmatis dan oportunis dari Rina. Ia juga seorang cerpenis. Namun, cerpen yang ia tulis hanya untuk membesarkan nama dan partainya. Pak Budi berusaha untuk mempengaruhi Aji untuk menulis cerpen yang sesuai dengan harapannya.

"Aji, kamu sudah selesai menulis cerpen untuk lomba itu?" tanya Pak Budi.

"Belum, Pak. Saya masih dalam proses revisi,"

"Revisi apa lagi? Kamu, kan, sudah menulis cerpen yang bagus dan menarik. Kamu juga sudah menulis cerpen yang sesuai dengan tema dan kriteria lomba?” ucap Pak Budi mempertanyakan.

"Maaf, Pak. Saya merasa cerpen saya belum sesuai dengan hati dan pikiran saya. Saya merasa cerpen saya belum sesuai dengan idealisme yang saya bangun,” kata Aji sedikit tidak percaya diri.

"Apa maksudmu? Kamu, kan, sudah menulis cerpen yang sesuai tema dan kriteria, yang tentunya juga bisa membuat saya bangga,” ulang Pak Budi coba meyakinkan.

"Maaf, Pak. Saya tidak setuju dengan cerpen yang telah saya tulis. Saya juga tidak setuju dengan tema dan kriteria lomba yang telah ditentukan, pun terhadap keinginan Bapak," ujar Aji.

"Apa yang tidak kamu setujui? Tema dan kriteria lomba itu, kan, sudah jelas dan logis. Harapan dan keinginan saya terhadap cerpen kamu itu, kan, sudah masuk akal dan wajar?" Pak Budi kembali mempertanyakan pendapat mahasiswanya itu.

"Saya tidak setuju dengan tema lomba yang mengharuskan saya menulis cerpen yang mendukung dan memuji pemerintah. Saya tidak setuju dengan kriteria lomba yang mengharuskan saya menulis cerpen yang tidak mengandung kritik dan sindiran terhadap pemerintah yang berkuasa. Apalagi terhadap keinginan Bapak agar saya memuji partai yang Bapak ikuti, saya tidak mengindahkan sama sekali," tegas Aji.

"Dasar anak muda! Sok idealis!" sindir Pak Budi sambil lalu.

Aji merasa bingung dan gelisah dengan semua itu. Ia mulai meragukan tujuan awal menulis cerpen. Ia sadar bahwa menulis cerpen itu tidak sebebas dan sejujur yang ia kira. Kenikmatan menulis cerpen hanya angan belaka. Namun, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia ingat bahwa ia masih punya idealisme yang selalu ia pegang erat.

Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tetap menulis cerpen sesuai keinginan hatinya. Ia berusaha untuk tidak terpengaruh dan terjebak oleh tekanan dan godaan yang ada. Ia berusaha untuk tidak mengikuti dan memenuhi saran dan masukan yang tidak sesuai dengan prinsip dan gayanya. Ia berusaha untuk tidak mendukung dan memuji anjuran dan rayuan yang tidak sejalan dengan nilai dan keyakinannya. Ia berusaha untuk tidak menyerang dan mencemarkan ancaman dan pemerasan yang tidak berdasar dan tidak adil.

Aji menulis cerpen yang bertemakan perubahan politik dalam sudut pandang mahasiswa. Ia menulis tentang bagaimana seorang mahasiswa yang awalnya apatis dan acuh terhadap politik, menjadi sadar dan peduli terhadap politik. Ia menulis tentang bagaimana seorang mahasiswa yang awalnya pasif dan diam terhadap politik, menjadi aktif dan bersuara terhadap politik. Ia menulis tentang bagaimana seorang mahasiswa yang awalnya takut dan ragu terhadap politik, menjadi berani dan yakin terhadap politik.

Dengan cerpen yang ia tulis, ia merasakan kepuasan dan kebanggaan yang besar. Ia merasakan bahwa ia telah menulis cerpen yang sesuai dengan hati dan pikirannya. Ia merasakan bahwa ia telah menulis cerpen yang efektif dan bermanfaat bagi pembaca dan juri. Meski dengan kesadaran penuh, ia telah siap jika bakal dibenci oleh siapa pun, bahkan hilang.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.