Iklan Layanan

Cuplikan

Alternatif Untuk Publik

 

 (Gambar: batam.tribunnews.com)

  Cerpen oleh: Helvi

Perlahan udara panas kota berganti menjadi hawa sejuk yang menyegarkan. Pemandangan gedung-gedung yang menjulang berganti menjadi pepohonan hijau dan sawah di sepanjang jalan. Kembali terlihat gerbang desa di depan sana. Ternyata masih sama, warna coklat yang sudah tak terlalu jelas warnanya, terlihat tua dan biasa saja.

Aku melanjutkan perjalanan, kembali menancap gas motor dan melaju masuk wilayah desa. Di sinilah kehidupan sebenarnya. Desaku, desa yang dikenal dengan sapinya. Aku dibesarkan di desa peternak sapi perah. Sebagian besar warga di desaku berprofesi sebagai pemerah susu, termasuk Bapak dan Ibuku. Hidup disini sangatlah menyenangkan, aku bersyukur untuk itu. Namun demi pendidikan, aku merantau ke kota dan itu juga yang menjadi alasan kepulanganku hari ini.

Tiga tahun lebih tak menampakkan diri, aku melepas rindu dengan duniaku. Apapun yang ada di rumahku, mulai setiap sudut kamar, teras depan rumah, hingga bertemu dengan Aming, sapi milik Bapak yang menjadi temanku sewaktu masih sekolah menengah dahulu. Aming sudah besar sekarang, terlihat paling keren diantara sapi Bapak yang lainnya. Asyik memuji si Aming, tetapi fokusku kemudian beralih pada suara Ibu.

“Haduuuh, Ibu sama Bapak ini pusing, Nak. Coba itu lihat kotoran sapi kemana-mana, makin hari makin bertambah, sedangkan tempat membuangnya nggak ada.”

Aku mengamati sekitar, ternyata benar. Kandang Bapak ini sangatlah penuh, dalam artian banyak kotoran sapi di mana-mana. Kandang ini bertambah kotor, tampak kurang untuk dikatakan bersih.

“Kenapa nggak coba kita bikin biogas aja, Buk? Kotoran sapi bisa dijadikan gas untuk masak, lho. Malah nanti endapannya bisa dijadikan pupuk juga,” saranku pada Ibu.

“Emang bisa, ya? Coba Bapak sama Ibu diajari.”

Kujelaskan pada mereka tentang langkah-langkah pembuatannya. Setelah paham, kami mulai pengolahan dengan perlahan. Dimulai dari penyiapan lahan, peralatan, hingga penggarapan fermentasi. Proses fermentasi membutuhkan kesabaran, sebab harus menunggu sekitar dua minggu hingga biogas bisa digunakan. Keluargaku menerima dengan senang hati produk biogas ini, mereka teramat kagum. Akhirnya, kami mulai menggunakannya sebagai pengganti gas sekaligus sebagai alternatif pemanfaatan limbah.

Mendapat respon yang baik, jiwa penyiarku semakin naik. Dengan penuh percaya diri aku mulai mengajak warga lain untuk mengelola limbah menjadi biogas dengan tujuan utama menghindari pencemaran limbah kotoran sapi. Aku menyampaikannya dengan mata berapi-api, semangatku membara untuk meyakinkan penduduk desa agar mau bergerak bersamaku. Namun ternyata, hal baik belum tentu diterima baik juga. Alih-alih mendapatkan persetujuan dan dukungan, yang kudapat malah cacian dari mereka.

“Kamu ini aneh, kalau udah ada yang gampang, kenapa nyari yang susah?”

“Nggak ada kerjaan. Remaja seperti kamu ini harusnya ya sekolah dan bekerja, bukan malah ngajakin orang lain buat ngelakuin hal yang nggak jelas.’’

“Jangan membodohi masyarakat dengan hal nggak berguna, kamu mau nipu ya?”

“Remaja kurang kerjaan.”

Cibiran-cibiran lain terus dilontarkan. Alhasil ajakan yang kulakukan sia-sia. Namun tekadku masih kuat, semangatku belum wafat. Akan kubuktikan pada mereka, bahwa yang kumaksud adalah kebaikan. Perlahan aku mulai menekuni biogas ini dengan dukungan dari keluarga. Mulai dari mengolah, hingga mencoba membuatnya dalam bentuk produk gas. Meskipun sekarang tanpa peminat, aku yakin suatu saat pasti bermanfaat dan dibutuhkan. Walaupun mendapatkan cibiran, tidak apa-apa, aku tetap bersyukur dengan itu.

Seperti halnya paceklik pangan, paceklik minyak dan gas pun ternyata bisa ditemui. Suatu waktu, minyak dan gas elpiji menjadi barang yang langka, pengambilan dari kota juga sangat dibatasi. Persediaan minyak dan gas menurun ditengah kebutuhan untuk tetap memasak sayur dan lauk tiap harinya. Bahkan saking langkanya, untuk sekedar memanaskan air untuk teh hangat di pagi hari saja rasanya sayang, lebih baik dihemat.

Akhirnya, karena kondisi tersebut, masyarakat mulai mau mencoba untuk menggunakan biogas. Awalnya mereka ragu dengan biogas buatanku, namun setelah beberapa kali pemakaian, dampaknya pun terasa. Disitulah titik dimana usahaku selama ini membuahkan hasil. Masyarakat yang awalnya menolak kehadiran biogas mulai menyadari betapa berharganya itu. Selain sebagai pengganti, pencemaran pun bisa teratasi.

PJTD 2022

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.