Iklan Layanan

Cuplikan

Si Donat Hitam Tubing Kali Kajar

(Sumber gambar: www.media.istockphoto.com)

Cerpen Oleh: Ja'is

 Teringat dalam sebuah ingatan

Goresan-goresan bebatuan di sekujur badan

Sekarang terpuruk dalam tahanan

Tak ada sebuah kepastian semenjak pandemi datang

Kerinduan menusuk tanpa ampunan

Kenangan sapaan bebatuan tiap kali berjalan

Bumiku, lekaslah sembuh

Agar sang tuan segera mengendaraiku kembali


Dunia bukan segalanya tentang yang memiliki nyawa. Tanpa disadari, makhluk tak bernyawa pun memiliki rasa, keinginan, dan juga kebahagiaan. Seperti aku yang terkadang bahagia dan kadang tidak. Aku, si donat hitam Kali Kajar. Ya, setiap hari libur di musim kemarau, aku mengantar tuanku menyusuri Kali Kajar.

Hari mulai terik, sang mentari memancarkan sinarnya. Tuanku sudah mengecek keadaanku serta teman-temanku. Setelahnya, aku berserta teman-temanku menanti pemberangkatan. Seperti biasa, tuanku memberikan arahan dan intruksi kepada peserta. Saatnya telah tiba, aku dan teman-temanku pun diangkat oleh tuanku.

“Hei, teman! Ayo, tunjukkan bahwa kita masih tangguh dan siap untuk berlaga!” Ucapku kepada teman-temanku bersama tuannya masing-masing. 

“Siap, sahabat. Aku pun bersemangat serta riang gembira,” ucapnya. 

Tuanku membawaku dari pos menuju tempat start. Jarak menuju start sekitar 200 meter yang ditempuh dengan berjalan kaki. Sesampainya di tempat start, aku ditempatkan paling depan dan teman-temanku berada di belakang menggandengku.

“Ayo, siap-siap berangkat teman!” seruku.

“Iya, aku siap,” jawab salah seorang temanku. 

Aku juga mendengar teriakan temanku yang berada di ujung belakang. “Siap, komandan,” teriaknya. 

Kami bergandengan dengan tetap menjaga kekompakan. Karena bagaimanapun, kami berempat harus saling melengkapi. 

Saatnya pun telah tiba. Tubuhku tercebur ke dalam air yang dingin. Kemudian tuan mulai duduk di atasku. Dengan riang gembira, aku pun tak sabar untuk memulai perjalanan yang asyik ini. 

“Aduh!” pekik temanku yang berada tepat di belakangku. 

Aku pun bertanya kepadanya, “Kamu kenapa?”

“Tuanku bertubuh besar. Jadi, aku keberatan mengangkatnya,” jawabnya.

“Ini kenapa seperti nggak terasa bebannya, ya?” celetuk temanku yang lain sambil tertawa. 

Aku yang penasaran pun melihatnya, ternyata yang naik adalah seorang remaja dengan tubuh yang ideal. Jadi, mungkin memang tidak terasa bebannya.

“Woy, berisik!” ucap temanku yang berada di baris ketiga.

Aku melihatnya dan ternyata yang naik adalah seorang ibu-ibu. Aku tersenyum sambil menahan tawa karena ibu-ibu itu banyak ngomong. Sedangkan temanku yang berada di ujung belakang merasa nyaman-nyaman saja, karena tuannya seorang instruktur, sama seperti tuanku. Ia merasa nyaman dibawa karena sudah terbiasa dan terlatih.

Start pun dimulai dengan arus yang tenang. Kami beranjak perlahan. Arus masih tenang dan stabil, jalurnya pun masih lurus. Kanan kiri dihiasi pemandangan sawah yang asri serta hembusan angin sepoi-sepoi.

Saat menyusuri sungai, terbentur bebatuan adalah hal yang kerap kami alami. Tapi, orang-orang bilang ‘terbentur terbentur, terbentuk terbentuk’, itulah yang membuat kami terbiasa menghadapinya.  Kami pun tidak merasa kesakitan saat menabrak bebatuan tajam, karena tubuh kami sudah dilengkapi pelindung berwarna merah dan hijau.

Lama-lama arus air terasa semakin cepat. Tibalah kami di tikungan pertama. Aku menabrak bebatuan, tapi tidak kurasakan sakit sedikit pun. Justru terasa seperti sebuah pijitan, sebab aku sudah terbiasa menghadapinya.

Setelah sampai di jalur ekstrem, aku berkali-kali menabrak bebatuan. Tapi tidak terjadi apa-apa karena tuanku handal. Berbeda lagi dengan temanku yang tepat berada di belakangku, ia terseok-seok hebat karena bebannya yang berat.

“Bro, tungguin aku,” ucapnya padaku.

“Iya, bro, santai. Aku tungguin kok,” ucapku kepadanya.

“Hei! Kalian enak ya tuannya nggak pada berisik. Lihatlah, tuanku sangat berisik. Membuatku seperti orang tuli saja,” keluh temanku yang berada di baris ketiga. 

“Lah, kenapa kok berisik?”  tanyaku padanya.

“Ini yang aku bawa cerewet banget,” jawabnya.

“Ya udah nikmatin, sabar dan tawakal,” ucapku.

“Hahaha, enak, tuh, dapat radio gratis,” celetuk temanku yang lain sambil menahan tawa.

Perjalanan pun berlanjut melewati hutan bambu. Suasananya begitu sunyi, membuat kami terdiam tanpa kata.

“Oke, lanjut. Yang nggak kuat angkat tangan,” ucapku.

“Lanjut dong!” sahut semua temanku.

Sesampainya di jembatan, kami melihat garis finish. Kami pun semakin riang gembira. Akhirnya finish juga.

“Alhamdulillah, finish,” ucapku merasa lega.

“Iya, teman. Perjalanan yang menyenangkan, ya.”

“Bagiku, ini perjalanan yang membuat badanku kekar,” ucap temanku yang tuannya memiliki badan kekar. Mungkin baginya, tuan yang berbadan kekar membuatnya semakin kuat.

“Besok-besok aku mau pakai headset biar nggak berisik,” ucap temanku yang tuannya ibu-ibu cerewet tadi. Kami pun tertawa menanggapi perkataannya. 

“Saatnya kita kembali ke markas, kawan!” seru temanku yang berada di ujung belakang.

Tugas kami pun selesai. Kami dikembalikan ke gudang tempat kami disimpan. Begitulah bagaimana hari-hari yang menyenangkan kami habiskan di Kali Kajar. Hingga akhirnya, semua berubah setelah pandemi datang. Pandemi memberi dampak yang sangat signifikan pada operasional kami.

Dulu aku harus menanti musim kemarau tiba untuk bisa dikendarai oleh tuanku menyusuri Kali Kajar, itu pun jika ada pengunjung saat hari libur. Sekarang, kami sangat jarang menyusuri sungai, bahkan keadaan kami seperti mati suri. Kami dipenjarakan di gudang, tak kunjung dijemput sang tuan. 

Keadaan kami di sini sangat memprihatinkan dan tak seperti dulu lagi. Beberapa dari kami sudah mengempis tak terawat, ada pula yang lapuk termakan usia. Bahkan, tak jarang tikus pun bersarang di tubuh kami. Lampu yang setiap malam menerangi pun kini terlihat redup, seolah-olah ikut merasakan kepedihan yang kami alami. Sangat miris memang. Dari hari ke hari, malam ke malam, kami lewati tanpa sebuah arti. Hanya berdiam diri merenungi nasib buruk kami.

Sepertinya, waktu pun tak mau ku ajak berkompromi. Ia begitu acuh kepada kami. Aku ingin memintanya berjalan lebih cepat agar penderitaan ini segera berakhir. Namun, itu hanya sebuah angan belaka. Tak banyak yang bisa kami lakukan selain berharap agar pandemi cepat berlalu.

Sungguh sebuah penantian yang terasa begitu panjang, menunggu kami kembali digunakan. Ah, sudahlah. Anggap saja ini sebuah hibernasi atau bahkan mati suri. Semoga bumiku lekas membaik dan semuanya berjalan seperti sedia kala agar kami bisa menikmati canda tawa, suka duka, dan menjadi barang yang berguna hingga tutup usia.


No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.