Iklan Layanan

Cuplikan

Membebaskan Nalar Islam dari Kedunguan Ekslusivisme

 

Sumber gambar: marketingweek.com
 

Esai oleh: Syamsulhadi    

       Islam adalah agama yang penulis yakini sebagai wadah intuitif bagi manusia yang begitu universal. Tidak hanya membahas tentang hubungan mesra antara tuhan dan manusia, tetapi juga harus menjalin romantisme terhadap sesama manusia itu sendiri bahkan terhadap semua makhluk hidup yang ada di muka bumi. Tidak hanya Islam, penulis juga yakin bahwa agama yang lain pun  juga memiliki esensi yang sama yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijalankan oleh pemeluk agama masing-masing.

    Namun banyak kalangan dengan sikap egoismenya yang mengklaim bahwa agamanya lah yang paling benar atau mengkalim madzhab/alirannya lah yang paling benar dan menganggap orang yang berbeda dengan dirinya pun salah. Adanya saling salah menyalahkan tersebut sehingga muncul saling mengkafirkan yang bermuara konflik antaragama maupun konflik sekterian sesama agama itu sendiri. Dengan adanya hal tersebut tentunya nilai dasar agama telah bergeser dari prinsip-prinsip kemanusiaan.

    Hal yang mendasari adanya konflik tersebut adalah perbedaan cara pandang agama, ada juga dikarenakan pandangan politik yang berbeda bahkan sampai keranah akidah dan kepercayaan antar agama. Eropa mengenal konflik agama selama tiga puluh tahun pada abad ke 17 yaitu reformasi Protestan terhadap Khatolik. Kemudian Eropa juga mengenal penindasan atas nama agama yang pada saat itu orang-orang feudal berkongsi dengan gereja-gereja untuk melegitimasi kekuasannya dan menindas rakyat jelata.

    Begitu pun di dunia Islam, tepatnya di Timur Tengah konflik politik yang mengatasnamakan agama pada masa kekhalifahan justru merobek akidah Islam itu sendiri. Bahkan sampai sekarang konflik yang mengatasnamakan Sunni dan Syi’ah masih terus terjadi. Terlebih lagi muncul kelompok ekstrimis ISIS yang menghalalkan darah yang tidak sepaham dengannya, menambahkan rasa geram dan gusar bagi semua orang, tidak hanya orang di luar Islam justru sesama orang Islam yang lain pun juga geram melihat fenomena tersebut.

    Fenomena beragama di Indonesia sendiri juga masih banyak, sikap-sikap yang menyampingkan prinsip kemanusiaan, hal itu didasari cara pandang mereka yang Konservatif Eklusivisme yaitu cara pandang yang tertutup bagi kelompok yang tidak sejalan dengannya, dan menganggap kelompok lain tidak benar, ada pun cara pandang tersebut yang akan menumbuhkan bibit-bibit intoleran dengan dalih bahwa apa yang dilakukan sudah sesuai dengan nash-nash Al-Qur’an, Hadis dan pendapat ulama-ulama terdahulu. 

    Kalau penulis memberikan contoh, banyak sekali contoh yang dikemukakan, seperti konflik keluarga yang bermuara ke konflik sekterian di Sampang Madura yaitu antara Syi’ah dan penduduk setempat yang beraliran Sunni. Adanya konflik tersebut penduduk Syi’ah terusir dari tanahnya sendiri dan diungsikan di Sidoarjo hingga sekarang. Kemudian ada juga kelompok yang sering sweeping atribut natal, ia juga sering melontarkan kata-kata provokatif yang tidak sejalan dengannya, sebut saja FPI yang sekarang organisasinya bubar dengan sendirinya.

    Di kalangan Nahdliyin sendiri juga masih ada beberapa gelintir orang yang berpandangan Konservatif Ekslusifisme yang memfatwakan haram bagi orang yang mengucapkan selamat hari raya bagi agama lain. Kemudian masih saja ada yang berpedoman kepada pemahaman yang diskriminatif terhadap minoritas.

    Menimbang adanya fenomena yang sudah penulis paparkan, penulis sempat mengafirmasi pendapat Richard Dawkins seorang cendekiawan asal Inggris yang masif berdakwah Atheisme. Ia mengatakan dalam bukunya yang berjudul Outgrowing God bahwa “Orang yang beragama adalah orang yang gagal dalam proses pendewasaan.” Atau lebih singkatnya orang yang beragama, cara berfikirnya seperti kanak-kanak. Pernyataan tersebut tidak mengherankan, mungkin Dawkins dan pengikutnya sudah muak dengan konflik-konflik yang mengatasnamakan agama tanpa mengedepankan rasa kemanusiaan.

    Tetapi tidak pas juga kalau mengambil langkah Atheisme sebagai solusi untuk menghindari over dosis agama. Menurut penulis, agama terutama Islam yang harus merekontruksi kembali pemikirannya yang Konsevratif Ekslusivisme atau bahkan lebih parah yaitu Fundamentalis Ekstrimisme. Islam harus membuka kembali dialog keagamaan maupun dialog antarmadzhab yang lebih inklusif dan membentuk suatu kesatuan pemikiran yang lebih humanis. Tidak cukup dengan itu umat beragama harus merubah premis-premis dan dogma yang cenderung mendiskriminasi kelompok ataupun agama tertentu. Telebih lagi Islam yang harus membebaskan pemikiranya dari kepongahan Fanatisme.

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.