Bukan Lembaga Ghaib
Pinterest.com |
“Mol, aku merasa tidak enak badan.”
Dalam ruang kost yang berantakan dan semrawut, dua orang sahabat saling bercakap-cakap. Kegelisahan terpenjara dalam empat dinding monokrom dengan luasnya tiga kali dua meter. Hanya ditengahi oleh dua cangkir teh hangat yang masih mengepulkan uap-uapnya di udara. Pengap. Hanya ada satu akses untuk udara bisa bebas keluar masuk, yaitu melalui pintu. Itu pun telah dicampuri oleh debu dan polusi akibat kendaraan yang berseliweran di depan bangunan.
Dengan sedikit mengernyit jijik karena bau liur Dul yang belum hilang selepas tidur, Mol memeriksa badan Dul.
“Badan kamu panas. Kamu sudah makan, Dul?” tanya Mol dengan ekspresi wajah yang dilingkupi kekhawatiran. Dengan cekatan, ia menarik selimut hingga hampir menutupi seluruh badan Dul. Seketika, pemuda itu tak ubahnya seperti kepompong.
“Belum Mol, aku lagi nggak ada uang.” Kata Dul dengan raut muka sedihnya. Ia teringat pada penampakan dompetnya yang amat menyedihkan. Kosong mlompong. Penyet tergencet di antara buku-buku perpustakaan dan berlembar makalah. Isinya tak lain hanyalah struk belanja bulanan dan nota fotokopian yang nominalnya bisa ia gunakan untuk makan satu minggu.
Untungnya, Mol masih menyimpan uang saku untuk makan berdua. Mungkin cukup untuk beberapa hari ke depan. Dengan segera Mol membelikan nasi untuk si Dul.
Tidak sampai sepuluh menit, Mol kembali dengan menenteng sekantung nasi bungkus dan lauk. Tak lupa, ia membeli paracetamol di warung dekat kost.
“Nih…dimakan ya Dul! Aku ambil air putih dulu di belakang” “Iya Mol makasih yaa.”
Keesokan harinya ternyata sakit si Dul tak kunjung sembuh, tetapi justru demamnya semakin tinggi.
Di antara kebingungannya, Mol teringat adanya LKK, atau lebih lengkapnya Lembaga Kesehatan Kampus. Ia tak yakin dengan eksistensi lembaga itu, mengingat sepanjang ia kuliah di sana tidak ada yang membicarakannya, kecuali pada waktu PBAK kemarin. Entahlah. Kebimbangannya kalah oleh kekhawatiran akan kesehatan sahabatnya yang kian menurun. Siapa yang tahu, kalau sahabatnya akan mati besok.
Ia hilir mudik mencari informasi tentang lembaga tersebut, meskipun dalam pikirannya ia menganggap usahanya tersebut tak ada bedanya dengan menangkap awan. Pencariannya berujung di Kantor Rektorat yang memiliki informasi lengkap tentang lembaga itu.
“Untunglah. Kupikir lembaga ghaib.” Ucap Mol lega.
Dengan kalang kabut, Mol kembali ke kost. Wajahnya berantakan. Peluhnya menetes di mana-mana. Sekilas ia seperti baru saja dikejar banteng.
“Dul ayo berobat ke LKK! Nggak usah memikirkan biaya. Gratis kok!”
“Ada apa, Mol? Datang macam hantu saja kau.”
Ia mendesah tak sabaran. Ia menarik tangan Dul, menyuruh Dul untuk ikut dengannya. “Udah buruan biar cepat sembuh, Dul.”
“Lha, aku sudah sembuh lho, Mol.” kata Dul dengan wajah polos.
“Duh, sia-sia aku cari info dua hari kemarin sampai ke Kantor Rektorat.” Sesal Mol dengan raut wajah kesal dan sedikit kecewa.
Meskipun sedikit kesal, Mol berujar dalam hati. “Untung si Dul tak sampai meninggal.”
Dalam ruang kost yang berantakan dan semrawut, dua orang sahabat saling bercakap-cakap. Kegelisahan terpenjara dalam empat dinding monokrom dengan luasnya tiga kali dua meter. Hanya ditengahi oleh dua cangkir teh hangat yang masih mengepulkan uap-uapnya di udara. Pengap. Hanya ada satu akses untuk udara bisa bebas keluar masuk, yaitu melalui pintu. Itu pun telah dicampuri oleh debu dan polusi akibat kendaraan yang berseliweran di depan bangunan.
Dengan sedikit mengernyit jijik karena bau liur Dul yang belum hilang selepas tidur, Mol memeriksa badan Dul.
“Badan kamu panas. Kamu sudah makan, Dul?” tanya Mol dengan ekspresi wajah yang dilingkupi kekhawatiran. Dengan cekatan, ia menarik selimut hingga hampir menutupi seluruh badan Dul. Seketika, pemuda itu tak ubahnya seperti kepompong.
“Belum Mol, aku lagi nggak ada uang.” Kata Dul dengan raut muka sedihnya. Ia teringat pada penampakan dompetnya yang amat menyedihkan. Kosong mlompong. Penyet tergencet di antara buku-buku perpustakaan dan berlembar makalah. Isinya tak lain hanyalah struk belanja bulanan dan nota fotokopian yang nominalnya bisa ia gunakan untuk makan satu minggu.
Untungnya, Mol masih menyimpan uang saku untuk makan berdua. Mungkin cukup untuk beberapa hari ke depan. Dengan segera Mol membelikan nasi untuk si Dul.
Tidak sampai sepuluh menit, Mol kembali dengan menenteng sekantung nasi bungkus dan lauk. Tak lupa, ia membeli paracetamol di warung dekat kost.
“Nih…dimakan ya Dul! Aku ambil air putih dulu di belakang” “Iya Mol makasih yaa.”
Keesokan harinya ternyata sakit si Dul tak kunjung sembuh, tetapi justru demamnya semakin tinggi.
Di antara kebingungannya, Mol teringat adanya LKK, atau lebih lengkapnya Lembaga Kesehatan Kampus. Ia tak yakin dengan eksistensi lembaga itu, mengingat sepanjang ia kuliah di sana tidak ada yang membicarakannya, kecuali pada waktu PBAK kemarin. Entahlah. Kebimbangannya kalah oleh kekhawatiran akan kesehatan sahabatnya yang kian menurun. Siapa yang tahu, kalau sahabatnya akan mati besok.
Ia hilir mudik mencari informasi tentang lembaga tersebut, meskipun dalam pikirannya ia menganggap usahanya tersebut tak ada bedanya dengan menangkap awan. Pencariannya berujung di Kantor Rektorat yang memiliki informasi lengkap tentang lembaga itu.
“Untunglah. Kupikir lembaga ghaib.” Ucap Mol lega.
Dengan kalang kabut, Mol kembali ke kost. Wajahnya berantakan. Peluhnya menetes di mana-mana. Sekilas ia seperti baru saja dikejar banteng.
“Dul ayo berobat ke LKK! Nggak usah memikirkan biaya. Gratis kok!”
“Ada apa, Mol? Datang macam hantu saja kau.”
Ia mendesah tak sabaran. Ia menarik tangan Dul, menyuruh Dul untuk ikut dengannya. “Udah buruan biar cepat sembuh, Dul.”
“Lha, aku sudah sembuh lho, Mol.” kata Dul dengan wajah polos.
“Duh, sia-sia aku cari info dua hari kemarin sampai ke Kantor Rektorat.” Sesal Mol dengan raut wajah kesal dan sedikit kecewa.
Meskipun sedikit kesal, Mol berujar dalam hati. “Untung si Dul tak sampai meninggal.”
Penulis: Wachid Zainal Musthofa Ahmad
Editor: Candra Nirwana H.P.
Mol, nama lengkapnya Parachetamol. Seperti umumnya mahasiswa perantuan yang memang "kurang sehat"...😂
ReplyDeletewkwkwkwkwk,,,,,,
ReplyDelete