JARING-JARING MASA DEPAN
transindonesia.co |
Oleh: Hanik A. R.
Bayangan
gerbang kampus semakin terlihat gelap. Banyak jas hijau berlalu lalang semakin
cepat bak prajurit hendak perang.
Hangatnya pagi kini bergilir rasa panas, tiba-tiba ada tubuh tumbang di
sampingku. Sontak aku terkejut dan bingung harus
melakukan apa, tanpa basa basi temanku semasa SMA Eli, langsung memanggil
panitia bagian kesehatan yang berdiri di barisan belakang berlambang palang
merah sambil melambaikan tangan. Panitia berbaju
putih yang tahu terlambainya isyarat langsung memberi aba-aba kawan
seperjuangan untuk segera memberi pertolongan pertama.
Tragedi
pertama telah usai, semua pandangan mata mulai tertuju pada kobaran Suara
Jenderal Aktivis. Detik berganti menit, menit telah mendekati jam. Waktu terus
bergulir, namun upacara tak kunjung selesai. Badan tumbang pun terlihat semakin
berkelanjutan. Perwira kesehatan sampai terseok-seok membawa tandu, karena
alas yang berlubang akibat teriknya mentari.
Sebagian
mahasiswa baru yang melihat ada
yang tertawa terpingkal-pingkal sampai terdengar hingga panggung, akhirnya kami
semua terkena imbas berupa racun semangat dan perpanjangan waktu upacara. Semua
mengeluh seperti waktu jenjang atas dulu, berharap dengan begini hukuman kami
pun di kurangi. Tapi naas,
bukan dispensasi malah hujan hukuman yang didapat, kami pun mengeluh kembali.
Mendengar tingkah kami, Sang Jenderal langsung angkat suara bak singa penuh kemarahan.
Sunyi, Kami semua terdiam tanpa tahu harus berkata. “Ngiiiing.....ngiiiing.....ngiiiing....” tanda
acara akan segera dimulai. Upacara terpaksa di usai kan, padahal jam hukuman
kami masih tersisa 30 menit.
Iringan
nada penggugah semangat bergema membuat langkahku semakin mantap untuk
mengikuti pengenalan budaya ini. Saking bersemangatnya tanpa sengaja aku
menginjak rok hitam Eli yang sedang jongkok di depanku sampai sobek. “Astaga, Roya kalau mau
nginjak tanah itu lihat dululah, tanah apa bukan!. Sobek nih, kotor pula.”
Intonasi kebatakannya pun
semakin beraroma membuat bulu kudukku sampai begidik. Meskipun ini bukan kali pertamanya marah
padaku, namun tetap kemurkaan Eli begitu menakutkan menurutku. “Maaf ya, Eli. Aku tadi
terlalu semangat ingin tahu acaranya kaya
apa. Sampai-sampai rok kamu tu nggak terasa beda sama tanah.” Kulihat padam wajahnya
mulai menyusut, “Oke
aku maafin kamu, tapi lain Kali awas kalau terjadi lagi. Rok sobek pun jadi
jurus kuda-kuda melayang.”
tatapan yang mulai
menghangat.
Tak
heran pula jika ia marah hanya rok yang sobek, Karena memang kolektor rok
julukan tertanam sejak SMA. “Makasih
temen imutku,” kupeluk ia sampai
kehabisan nafas. “Aduh....
Udah dong! Nggak usah peluk-peluk segala kayak anak SMA bae,” semu merah terlihat di
pipinya. “Iya
ibu mahasiswa baru dadakan,” kami terdiam sejenak
seketika tawa pun meledak membuat teman-teman di sekeliling kami menoleh
membuat canda kami tersudahi. Tak terasa kelompok kami akhirnya mendapat bagian
memasuki area acara pengenalan
kebudayaan ini. Tak sabar rasanya hatiku untuk mendengar sambutan dari rektor kampus yang katanya mampu menyalakan
api semangat juang para
mahasiswa.
“Assalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh, anak-anakku sekalian.....,” Suaranya menggebu
membuat semangat kami berpacu menggapai cita. “Kalian merupakan insan hebat penerus bangsa yang telah terpilih
menjadi mahasiswa baru di kampus hijau ini. Maka, berjuanglah demi menggapai cita-cita
kalian masing-masing. Umur bukan pembatas Kita berprestasi, namun semangat dan keinginan kuatlah
penghapus pembatas itu.”
Menyentuh sanubari terngiang di angan. Beliau lanjutkan hingga otak kami penuh
motivasi-motivasi sampai waktu telah habis baginya untuk mengebom fikiran ini.
Kemudian dilanjutkan dengan pengenalan-pengenalan akademik dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Pagi
beranjak siang, alhamdulillah acara usai dengan lancar. Tatkala moderator
menutup kegiatan ini, ia menggemakan semboyan nenek moyang Indonesia yang
legendaris, “Tak
kenal Maka Tak Sayang,”
membuatku berfikir sejenak tentang
persahabatanku. Sejak SMA aku hanya punya sahabat Eli nama yang bagus, dulu
saat kami duduk di bangku kelas X banyak teman yang menjauhiku karena aku terlalu pendiam,
cuek dan malu untuk membangun tali persahabatan.
Sampai
akhirnya Eli lah sahabat yang mengulurkan hubungan persahabatan ini. Kupikir
sebelumnya ia hanya main-main untuk memenangkan taruhan seperti kejadian SMP
ku. Akan tetapi, melihat dari
tatapan matanya terlihat ketulusan persahabatan. Aku terima uluran persahabatan
darinya dan langgeng sampai
sekarang. Bagiku sahabat itu seperti roda yang terus berputar,
sehingga membuat lokomotif itu terus melaju dan hal terindah dari
persahabatanku dengan Eli adalah kami saling memahami dan dipahami, tanpa
pernah memaksa dan ingin menang sendiri. Ialah hadiah terbesar dalam hidupku
dan aku telah mendapatkannya.
Namun bagaimana jadinya bila aku hanya berteman dengan
Eli saja. Sudah pasti kehidupanku akan semakin sulit untuk terjun dalam
masyarakat, apalagi jurusan yang ku ambil adalah dakwah. Seorang pendakwah
sudah pasti harus mampu untuk berinteraksi dengan jamaahnya. Selain itu dalam
hidup ini sudah pasti akan berinteraksi dengan banyak kepribadian manusia jadi
sudah semstinya aku belajar mengenal dan dikenal.
Berawal dari gebrakan semangat Pengenalan Budaya Akademik pagi ini aku mendapat berbagai pengetahuan tentang apa
yang seharusnya dilakukan untuk masa mendatang dan motivasi-motivasi ini
memberikan pandangan baru bagiku. Terima kasih Tuhan.
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.