Iklan Layanan

Cuplikan

Menyoal Transparansi Dana Bantuan Sosial Korban Bencana Longsor Banaran 2017


Salah satu rumah yang rusak akibat longsor
Banaran merupakan salah satu desa di Kabupaten Ponorogo yang letak geografisnya rata-rata perbukitan. Umumnya rumahnya mengelompok dan berdekatan, dengan ini membentuk warga yang saling tolong menolong, rukun, dan damai. Mayoritas warganya berkebun dan bertani.
Pada 1 April 2017 silam desa Banaran terkena bencana longsor yang memakan korban sebayak 28 jiwa dimana korban yang ditemukan hanya 9 jiwa. Pun  menimbun lahan perkebunan yang semula dimanfaatkan masyarakat.
Oleh karena bencana tersebut, banyak bantuan dari pemerintah maupun pihak ketiga berdatangan. Pemerintah memberikan bantuan berupa tunjangan uang maupun bangunan rumah untuk rumah yang sudah hilang, rusak-rusak, maupun rumah yang berada di zona merah. Sedangkan pihak ketiga memberikan donasi berupa uang yang disalurkan kepada panitia bantuan sosial.
Pemerintah Kabupaten bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyalurkan bantuan berupa hunian tetap (huntap). Dilansir oleh ponorogo.go.id, sebanyak 40 unit dengan rincian 36 unit didanai APBD Provinsi Jawa Timur dan 4 unit dari APBD Kabupaten Ponorogo. Sementara mengenai tempat, 33 unit dibangun di Desa Banaran, 5 unit di bangun di Desa Singgahan, 2 unit di Desa Bekiring, sehingga 7 anggota keluarga telah menetap di luar Desa Banaran. Untuk pembangunan masing-masing huntap senulai Rp72.000.000,00 (Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah) dengan ukuran rumah tipe 48. Keseluruhan anggaran yang dihabiskan mencapai 2,8 miliar.
Adapun rumah yang diberi tidak diterima jadi oleh masyarakat, akan tetapi dalam bentuk material. "Pemerintah memberikan material bangunan yang pembayaran tenaga kerjanya dari uang bantuan orang ketiga," ujar Jaminem, salah satu nenek yang rumahnya tertimbun.
            Tanah yang digunakan untuk membangun rumah adalah milik pribadi warga. "Memilih untuk pindah di sini karena lahan ini milik keluarga, bila kita ingin pindah ke lahan lain harus membeli lahan tersebut," kata Febi selaku salah satu warga zona merah.
Pihak ketiga memberi bantuan berupa dana bagi warga yang kehilangan anggota keluarganya. Setelah pendataan, masing-masing dibuatkan rekening BNI. Dana ditransfer langsung ke rekening tersebut. "Untuk korban yang meninggal mendapat 50 juta per jiwa. Bisa diambil seluruhnya atau dipergunakan sesuai kebutuhan," jelas Mustaqim selaku bendahara panitia bantuan longsor.
Bantuan sosial sebanyak itu membuat Mustaqim seringkali digunjing mengorupsi sejumlah uang yang diberikan dari pihak donasi melaluinya.
Crew mencoba menanyakan info laporan keuangan dana sosial yang disalurkan pada korban bencana ke Kepala Desa Banaran, Sarnu. Dia menyarankan untuk menanyakannya pada Mustaqim. "Data untuk bansos itu tidak ada di saya, coba tanya ke pak Mustaqim," ungkap Sarnu.
Akan tetapi, Mustaqim mengaku sudah tidak membawa data tersebut dan kembali melemparkan ke Desa. "Data untuk bansos tersebut sudah saya kirim ke kabupaten dan saya sudah tidak ada salinannya lagi, coba tanyakan ke kekelurahan mungkin masih menyimpannya," ujarnya.
Pencarian data dilanjutkan ke Dinas Sosial Ponorogo. Kantor yang satu jalan dengan Universitas Muhammadiyah itu adalah posko gabungan dari daerah Magetan, Madiun, Ngawi dan Ponorogo sendiri. Pihak Dinsos Provinsi menyarankan untuk mendatangi Dinsos Kabupaten Ponorogo yang bertempat di dekat Stadion Batoro Katong.
Crew beranjak menuju Dinsos Kabupaten. Crew menanyakan mengenai arsip dana bantuan namun dari pihak Dinsos tidak mengetahui atau tidak mau memberikan informasinya, karena berkas-berkas yang tertumpuk di gudang terlalu banyak.
Kepala Seksi Perlindungan Korban Bencana Alam dan Sosial, Suyadi mengaku tidak mengetahui. "Saya baru dilantik dan ditempatkan disini. Kantor Dinsos juga baru pindah dari tempat yang lama jadi berkas-berkas tahun kemarin ditaruh di gudang," ujar Suyadi.
Suyadi menyarankan untuk mendatangi rumah Broto yang ia sebut sebagai Kepala Seksi Perlindungan Korban Bencana Alam dan Sosial yang lebih senior. Suyadi berkata, Broto sudah pindah bertugas di Semarang sebagai kontraktor. Akan tetapi saat crew mendatangi alamat tersebut, rumah tertutup rapi dan terkunci.
Tak sampai di situ pencarian data dilakukan kembali ke BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Namun Kepala Bagian Evakuasi, Andi, mengaku bahwa mereka adalah tim pembantu untuk korban yang terluka, tidak menangani soal dana bantuan.
Crew mencoba melakukan penelusuran melalui berbagai web, dan tidak didapati info dana kecuali berita dari detiknews. Data keuangan hasil bantuan yang mengalir kepada korban longsor Banaran Ponorogo dengan total 6 miliar yang terbagi dalam 9 pos bantuan di rekening. Informasi yang didapat dari BPBD Ponorogo yang dilansir dari detiknews, 9 pos rekening bantuan tersebut yakni,
1.      Dinas Sosial: Rp1.099.551.662
2.      PGRI: Rp564.064.277
3.      Bank Jatim: Rp674.381.500
4.      Bank Mandiri: Rp95.478.090
5.      Bank BRI: Rp481.174.314
6.      MDMC Muhammadiyah: Rp667.254.880
7.      Bank BNI: Rp1.099.551.662
8.      BPBD: Rp274.587.000
9.      Desa Banaran: Rp2.467.214.510
Endrik Safudin, Dosen Hukum IAIN Ponorogo menanggapi hal ini. Ia  menjelaskan, pengelolaan dana penanggulangan bencana mengacu pada UU No. 24 Tahun 2007 dan UU No. 21 tahun 2007. Menurutnya, transparansi penting untuk melihat apakah dana sudah tepat sesuai tujuannya. "Transparansi penting untuk diketahui publik, karena menggunakan dana APBD yang sumbernya pajak dari rakyat juga," terangnya.
Ia juga menyampaikan, seharusnya setelah kejadiain itu harus segera diinfokan ke publik. "Seharusnya setelah kejadian langsung diinformasikan. Jika tidak, itu termasuk pelanggaran," kata Endrik.



Reporter: Intan, Zanida, Utami, Anisa

No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.