Demokrasi Telah ‘Dibunuh’ di Negaranya Sendiri
(Arini Sa'adah, Crew)
Pergerakan yang
menggebu-nggebu pada masa orde lama dan orde baru, kini terdegradasi oleh
praktik-praktik pihak berkepentingan dalam jantung idealisme mahasiswa. Rezim
otoriter telah melahirkan produk-produk unggulan dengan kapasitas
keintelektualan yang mumpuni. Juga disertai gejolak-gejolak ketertindasan dalam
diri sehingga memuncak pada bentuk-bentuk aksi pemberontakan pada tindakan
brutal rezim otoriter. Begitulah mahasiswa pergerakan tempo dulu, yang menggabungkan
praktik dialektik dengan ungkapan retorik yang akhirnya mampu menumbangkan
rezim berkuasa.
Aktivis ‘98 dan bahkan ‘66,
memperjuangkan demokrasi demi terciptanya negara tanpa penindasan pada
proletarian dan kaum minoritas. Puncak perjuangan demokrasi adalah berhasil
ditumbangkannya rezim Soeharto pada ’98 oleh gerakan serentak mahasiswa.
Prestasi yang dicapai tersebut menjadi spirit mahasiswa untuk bergerak
melanjutkan dan memperjuangkan demokrasi dari segala tindakan yang berusaha
mendekonstruksi benteng pertahanannya.
Ironisnya, sekarang
yang terjadi adalah pembungkaman terhadap perjuangan demokrasi dalam lingkup
miniatur negara yaitu kampus. Demokrasi yang semestinya mengutamakan persamaan
hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua mahasiswa, kini ‘terciderai’
oleh nafsu-nafsu kepentingan menguasai. Demokrasi bukan lagi sebagai spirit
membuka jalan bagi segala golongan, namun hanya sebatas simbol untuk
mempertahankan rezim satu kelompok saja. Dalam hal ini, demokrasi telah
terbungkam. ‘Demokrasi telah mati’ di negaranya sendiri. Demokrasi telah
dibunuh oleh pejuangnya sendiri.
Hal ini membuktikan
bahwa mahasiswa semakin rancu dalam memaknai arti perjuangan. Mereka justru
terperangkap dalam stigma politik licik yang diajarkan dan menurun secara
kultural. Dibalik kursi kedudukan ada kursi-kursi lain yang memberikan garis
instruksi. Bahkan pemilik kursi berusaha memasukkan kursi-kursi yang sama ke
semua bilik pergantian generasi. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan
kursinya tanpa ada yang mampu menumbangkannya. Segala tindak kecurangan tidak
luput dari aktivitas pendistribusian kader-kader ‘mentah’ milik sang kursi.
Mulai dari penjaga
pintu gerbang hingga tingkatan paling atas pun, telah terpenuhi dan dikuasai
secara membabi buta oleh warna yang sama. Pihak yang tidak sewarna dilarang
masuk bahkan hanya menyentuh pintu gerbangnya saja, warna lain itu akan segera
dimusnahkan. Tangan-tangan mereka telah dimonitor dan dikendalikan oleh tetua.
Disadari atau tidak, tindakan kotor rezim telah menjadi rahasia umum yang
semakin lama semakin memuakkan.
Demokrasi yang mereka
gembar-gemborkan telah mereka kotori sendiri dengan tindakan ketidakadilan.
Ironisnya, kelompok berkuasa ternyata masih takut dengan golongan minoritas
tertindas. Tentu dibuktikan dengan ketidakmauan mereka beradu menjalankan
kompetisi. Ah, padahal menonton kontestasi bodoh sangatlah mengasyikkan.
Gambar : immarf.wordpress.com
No comments
Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.