Iklan Layanan

Cuplikan

URGENSI TRANSFORMASI STAIN KE IAIN



Oleh: Lukman Santoso Az

Sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, merupakan keniscayaan bagi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo dalam turut serta mencerdaskan bangsa. Hal ini tercermin dalam visi STAIN Ponorogo, yakni “Sebagai Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu Keislaman Yang Unggul Dalam Rangka Mewujudkan Masyarakat Madani.” Untuk mewujudkan visi tersebut, bagi STAIN Ponorogo yang kini genap berusia 19 tahun tentunya membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Oleh karena itu, STAIN Ponorogo harus terus berupaya melakukan berbagai langkah strategis dan pengembangan kelembagaan.

Seiring dengan pesatnya akses peningkatan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) menuju world class university. STAIN Ponorogo melalui SDM yang dimiliki dituntut untuk mencetak sarjana yang semakin unggul dan berkarakter. Salah satu momentum yang harus menjadi lompatan kuantum adalah melalui transformasi STAIN Ponorogo ke IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang saat ini telah mendapat ‘ketok palu’ dari Presiden melalui Keppres No 75 Tahun 2016.

Lebih dari itu, transformasi STAIN ke IAIN harus menjadikan STAIN Ponorogo sebagai center of excellent dan kiblat studi keislaman. Mengingat, Indonesia adalah negara Islam terbesar yang memiliki kekhasan dan tidak ditemukan di negara lain. Transformasi ini tentu juga memiliki tanggung jawab, khususnya civitas akademika STAIN Ponorogo untuk berusaha bahu membahu memberikan yang terbaik bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Tri dharma yang menjadi tugas pokok pendidikan tinggi tentunya juga harus terus dikembangkan dan diakselerasikan dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman yang semakin kompleks.

Transformasi STAIN menjadi IAIN merupakan momentum, selain untuk pengembangan fasilitas, tentu terdapat poin penting yang harus menjadi perhatian, yakni untuk pengembangan disiplin keilmuan yang diajarkan. STAIN saat ini hanya mengembangkan kajian keilmuan yang berbasis studi Islam (Islamic studies), maka melalui transformasi ke IAIN akan menjadi keniscayaan dalam pengembangan disiplin rumpun ilmu sosial humaniora. 
Dalam konteks ini, STAIN Ponorogo tentu harus bercermin pada UIN Maliki Malang, UIN Suka Jogja, UIN Jakarta dan UINSA Surabaya yang lebih dahulu bertransformasi. Artinya, transformasi ini tidak hanya merupakan alih status kelembagaan tetapi juga bagaimana karakteristik keilmuan dan kelembagaan tercermin dalam proses transformasi tersebut. Dengan memunculkan karekteristik keilmuan, publik akan semakin tertarik untuk studi di STAIN Ponorogo dalam berbagai bidang keilmuan.

Selanjutnya, sebagai perguruan Tinggi Keagamaan Islam, implikasi transformasi salah satu tantangan besarnya adalah mencetak insan akademik yang mempunyai wawasan keislaman yang berkeindonesiaan. Artinya di sini ada integrasi antara insan akademik yang mempunyai wawasan dan keilmuan dalam bidang agama juga yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia. STAIN Ponorogo harus mampu memberikan warna corak studi Islam di Indonesia, atau setidaknya di Pulau Jawa. Banyak kearifan dan budaya lokal di sekitar Ponorogo yang perlu sentuhan kajian akademik yang lebih mendalam agar menjadi aset dan kekayaan intelektual yang lebih berharga, sehingga mempunyai ‘daya jual’ yang tinggi serta dapat membangun image positif bagi studi keislaman di Indonesia dan dunia.

Transformasi STAIN ke IAIN sangat penting agar kapasitas dan peran STAIN semakin signifikan bagi bangsa. Peran membangun generasi bangsa yang mempunyai keilmuan integratif antara ilmu agama dan ilmu sosial humaniora. Peran membangun masyarakat yang berilmu dan berwawasan, masyarakat yang terdidik (well educated) menuju masyarakat yang sejahtera yang berkeadilan. Peran dalam peningkatan dan pengembangan penelitian ilmiah, pengembangan akademik, kapasitas dosen maupun mahasiswa, penyediaan beasiswa, serta untuk meningkatkan kualitas publikasi ilmiah bertaraf internasional.

Sudah menjadi keharusan bahwa, transformasi ini tidak hanya akan membawa perubahan institusional tetapi juga perubahan paradigma keilmuan. Misalnya reintegrasi ilmu untuk menyatukan ilmu-ilmu, atau interkoneksi ilmu yang mencoba menghubungkan semua ilmu-ilmu pada al-Qur’an dan hadis (Ahmad, 2013).

Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Osman Bakar (1994: 11), bahwa kaum intelektual Muslim dalam mengkaji berbagai permasalahan kehidupan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai keislaman karena ia merupakan bagian integral dari kewajiban keagamaan. Dengan mengintegrasikan dan menginterkoneksikan ilmu-ilmu agama Islam dalam kehidupan manusia berarti telah mengupayakan penerapan ilmu-ilmu agama Islam dalam tataran aplikatif.

Akhirnya, dengan menyadari begitu pentingnya transformasi STAIN menjadi IAIN, maka perlu adanya pembaharuan tekad (renewal of obsession) dari seluruh civitas akademika IAIN Ponorogo untuk menata ulang cara berpikir, berstrategi, bersikap dan bertindak untuk kemajuan lembaga. Mengelola lembaga ini tidak bisa lagi dengan cara biasa (conventional ways), akan tetapi membutuhkan lompatan-lompatan besar untuk keluar dari kotak kebiasaan (out of box). Tentu saja lompatan secara rasional, kontekstual, dan cermat yang mampu melahirkan capaian-capaian dan keunggulan-keunggulan menuju kemajuan.


*Pengajar Hukum STAIN Ponorogo; Pengasuh Klinik Literasi (KliSi).



No comments

Komentar apapun, tanggung jawab pribadi masing-masing komentator, bukan tanggung jawab redaksi.